Oleh: Firdaus Putra A.
Seorang pemeluk Kristen, Islam, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu (lebih) dapat dipastikan ber-orang tua Kristen, Islam, dan seterusnya. Hal ini memang nampak wajar-wajar saja. Dalam artian sering kali pilihan agama kita ditentukan oleh pilihan agama orang tua kita. Benar memang, karena praktis saat kita belum dewasa kita belum dianggap menjadi ‘orang’. Atau memang secara alamiah kita belum mampu membedakan untuk memilih antara satu dengan lainnya.
Namun saya tidak ingin membahas jauh masalah pilihan agama seseorang. Hanya saja, model keberagamaan kultural itu cenderung menjerembabkan kita pada sudut pandang taklid buta (mengekor) dalam memandang persoalan agama. Artinya, karena orang tua saya Islam, Kristen atau lainnya saya menjadi seorang Islam, Kristen secara given (terberi) dan cenderung tidak kritis dengan pilihan ini. Ketika kehidupan agama orang tua kita ‘A’, dengan sendirinya kita akan ‘A’ juga. Dan memang, saya juga tidak sedang membahas tentang pengaruh lingkungan (keluarga) terhadap pendidikan (secara luas) anak.
Saya hanya ingin menunjukan, jangan-jangan keberagamaan kita hari ini masih hanya sebatas pemberian, warisan orang tua kita yang sifatnya given tadi. Atau jangan-jangan hingga hari ini kita masih mengekor, mengekor dan mengekor terhadap persoalan pokok kehidupan manusia, siapa lagi jika bukan pada orang tua kita. Memang kehidupan beragama semacam ini enjoy, fun, nyante, apa adanya, dan seterusnya. Karena kita hanya mengikuti arus yang sedang mengalir. Namun, dengan keberagamaan semacam ini, sebagai manusia kita belumlah mengoptimalkan potensi diri—hati nurani, akal, perasaan—untuk mencari keyakinan yang mendasar pada manusia; agama.
Sudah saatnya kita lebih meningkat dari ‘keberagamaan warisan’ pada ‘keberagamaan penemuan’. ‘Keberagamaan penemuan’ ini tentunya mengandaikan pada sebuah bentuk pencarian. Pencarian keberagamaan. Terkesan seram, menakutkan atau lainnya. Namun sebenarnya kita tidak perlu takut dengan pencarian keberagamaan. Kita tidak perlu takut ‘agama warisan’ kita menjadi ternodai, bahkan hilang ketika melakukan proses itu. Bukankah segala ‘ijtihad’ jika benar mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa sudah saatnya kita memandang agama kita dengan sudut pandang lain. Lain dari sebelumnya. Keluar dari kungkungan teks-teks suci The Holy Scripture. Artinya dalam pencarian ini kita tidak perlu ‘keluar’ dari agama kita dan beralih ke yang lain untuk sementara atau selamanya. Kita hanya perlu menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap keberagamaan kita yang sebelumnya.
Dari memandang segala sesuatu dengan penuh kewajaran, menjadi segala sesuatu patut dipertanyakan. Maaf saja, saya tidak bermaksud memprovokasi Anda agar meragukan keyakinan Anda. Saya hanya tengah berusaha memperlihatkan bahwa masih ada sudut pandang lain, di luar sudut pandang Anda yang mungkin lebih ‘baik, mencukupi, humanis’ terhadap agama Anda. Saya hanya berusaha meyakinkan Anda bahwa ada ‘sesuatu’ di luar diri Anda yang belum Anda sentuh dengan potensi kemanusiaan Anda.
Dahulu saya adalah seorang Muslim yang selalu mengikuti pemahaman orang tua (Ayah) dalam hal agama. Tetapi, sekarang saya lebih sering berdiskusi dengan beliau dalam sudut pandang berbeda. Saya menghormati pendapat beliau, dan sebaliknya. Akhirnya kami sering berdiskusi tentang masalah keagamaan, meskipun pada satu masalah tertentu saya tidak sependapat dengan beliau dan sebaliknya. Bukankah hal semacam ini menyenangkan, mencerahkan dan mencerdaskan? Ketika kita sudah sampai pada ‘agama penemuan’ tadi.[]
Blogger Comment
Facebook Comment