Oleh: Firdos Putra A.
Sebagai sosiolog, aku tidak kekurangan referensi tentang Amerika berikut cerita hitam yang melingkupinya. Mulai dari infansi Amerika ke Irak yang menurutku melanggar cita-cita perdamaian dunia, isu terorisme yang sengaja dihembuskan sebagai bentuk religiofication insecurity dunia, negara adidaya yang interventif terhadap kebijakan dalam negeri negara lain, atau kepongahan yang rapuh ketika WTC ternyata dapat ditabrak oleh pesawat secara sengaja. Dan seringkali aku mengkritik Amerika terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Yang aneh, pernah suatu ketika seorang teman bertanya, "Menurutmu negara mana yang paling hebat?" Jawabku, "Amerika, terlepas dari segala kekurangannya". Sistem jaminan sosial yang mencukupi, lihat saja di film-film Hollywood, jika kita merasa terusik dengan tingkah tetangga sebelah, kita cukup men-dial 911—anehnya saya lebih hafal 911 daripada 110—beberapa menit kemudian, LAPD, NYPD, atau kepolisian negara bagian setempat akan datang.
Lihat juga begitu canggih sistem pemerintahan di sana. Tentunya juga, begitu cerdas masyarakat sipil di sana yang tahu hak-haknya sebagai warga negara. Setiap warga negara berhak menggunakan kebebasannya (terbatas) untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Tidak heran kalau patung Liberty sampai sekarang masih kokoh berdiri.
Suatu tempo kadang aku muak dengan Amerika, dengan Bush, dan CIA. Meskipun aku sendiri belum pernah ke Amerika, bertemu Presiden Bush, atau diciduk dan diinterogasi oleh CIA. Tapi, kalau melihat tingkah polahnya, membuatku gregetan! Bayangkan, sudah ratusan ribu nyawa direnggut di operasi militer di Irak, e... ternyata senjata pemusnah massal yang dituduhkan tidak pernah ada di Irak. Aku yakin, sekaliber Amerika tidak mungkin membuat kekeliruan dalam hal data intelejen.
Gregetan pula setelah aku nonton film Fahrenheit 9/11, sebuah dokumenter setelah Bush menjabat presiden dan beberapa bulan kemudian tragedi WTC terjadi. Di film itu, ada satu dokumen rahasia militer yang menunjukan bahwa Bush memiliki hubungan dengan Osama. Tidak heran jika Pentagon yang par exelence dalam hal ‘mengintip’ tidak tahu dimana persembunyian Osama. Ada jejaring yang mengamankan Osama, karena bin Laden (atau keluarga besar Laden dari Arab Saudi) adalah relasi bisnis besar Amerika (Bush and Jr. Bush).
Sepertinya aku mengalami sindrom mendua, satu sisi aku terpesona dengan Amerika, sisi yang lain aku muak! Semuak-muaknya, aku pernah berimajinasi, sepertinya lebih menarik hidup di sana. Dari pada di Indonesia, anomali, kekacauan, bencana alam, politikus yang rakus, polisi yang preman, pengadilan yang mafia, penipuan di mana-mana, penjambretan, pendidikan kurang berkualitas, korupsi tingkat empat se-Asia dengan ratting 2.2, norma-nilai yang represif namun hipokrit, dan seterusnya.
Ee ... la dha lah, beberapa bulan yang lalu di yahoo.com ada iklan Green Card Lottery (GCL). Sepertinya Tuhan tahu apa isi hatiku. Tanpa berpikir panjang aku register dan mengisi sejumlah aplikasi. Yang jelas aku tidak mengaplikasi agama/religion, karena memang tidak ada kolomnya. Beda dengan di Indonesia, form aplikasi di bank saja masih ada kolom agama. Pikirku, memangnya bank ngurusi agama kita? Tidak kan! Justru hal seperti ini hanya akan melahirkan potensi diskriminasi berdasar agama. Anehnya pula, sampai sekarang ID Card (KTP) kita masih menyisakan kolom untuk agama. Seumpama suatu tempo kita jalan-jalan ke Kalimantan, khususnya daerah konflik, ada pemeriksaan oleh pemuda-pemuda setempat dengan alasan keamanan, lantas KTP kita tunjukan. Beberapa menit kemudian kita diseret dan dianiaya tanpa alasan yang jelas. Setelah selesai, dengan nafas yang tersengal-sengal, kita bertanya, "Apa salahku?". Dengan innocent mereka menjawab, "Lihat KTP-mu, kamu Kristen kan!". Untungnya ketika membuat e-mail, friendster, blog, juga aplikasi GCL aku tidak ditanya tentang agama.
Aplikasi terakhir dari GCL, aku diminta memilih negara bagian mana yang ingin aku singgahi. Aku pilih New York. Menurutku di sanalah jantung Amerika terletak. Sampai sekarang, USAFIS—lembaga pemerintah yang mengelola GCL—masih rutin mengirimiku sejumlah informasi. Ketika ditanya untuk apa aku hidup di Amerika, aku memilih poin opsional; pendidikan dan kerja.
Informasi GCL, dulu aku dapatkan ketika ngobrol santai dengan Hikmat Budiman—penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan—saat di Yogyakarta. Ia menceritakan seorang temannya yang tinggal di Jakarta secara iseng mengikuti GCL, dan ia termasuk yang beruntung. Paska peledakan WTC, bulan September–Oktober, tiba-tiba pintu rumahnya di ketuk oleh beberapa orang dengan stelan jas hitam—aku pernah menyaksikan sendiri performa body guard Kedubes Amerika ketika main ke Utan Kayu Jakarta Timur, saat Duta Besar Amerika menyambangi Goenawan Mohammad dan kawan-kawan KUK, protokol pengamanannya benar-benar seperti yang kita lihat di film-film Hollywood. Intinya, mereka menawarkan pada keluarga teman H. Budiman, untuk diboyong ke Amerika karena kondisi dunia sedang mencekam. Tidak heran, karena setelah menang GCL, ia tercatat sebagai warga negara Amerika. Mungkin GCL adalah politik pemerintah Amerika untuk mengembangkan kuasanya melalui penyebaran warga negaranya di banyak negara lain, tak terkecuali di Indonesia.[]
Blogger Comment
Facebook Comment