Aku dan Black Bibble

Oleh: Firdos Putra A.

Seperti sebagian kos cowok lainnya, sirkulasi compac disk (CD) film biru di kosku juga lumayan marak. Mungkin di kos lah setiap cowok seperti aku menemukan keleluasaan untuk menjelma sebagai bad boy. Tidak seperti di rumah, yang aku kira relatif ketat. Pernah suatu malam di rumah, aku memutar film American Pie 5, kebetulan sampai pada adegan naked miles-nya. Kebetulan juga keponakanku lewat—karena posisi televisi berada di ruang tengah—kontan membuatku kaget, dan kupercepat adeg an itu. Namun, tetap saja malu.

Sedangkan di kos, aku bisa seleluasa mungkin, dengan komputer bututku yang kadang ngadat satu film aku putar. Black Bibble, aku dapatkan dari teman kos ku yang rajin meng-up date perkembangan perbiruan film. Menurutku Black Bibble adalah klimaks dari imajinasi seseorang tentang kesempurnaan telanjangnya tubuh manusia. Tidak ada yang kurang, payudara besar, kuning bahkan semu putih, pubis yang putih kekuning-kuningan, otot kemaluan yang menonjol, tidak ada warna hitam di tubuh selain pada rambut alis dan kepala. Benar-benar sempurna. Berbeda dengan blue film konservatif, payudara besar menonjol yang kentara memakai silikon, kulit yang kadang bercak di sana-sini—mungkin karena herpes, dan warna hitam di beberapa titik tubuh. Black Bibble menyempurnakan apa-apa yang kurang di film konservatif.

Di negara asalnya, Black Bibble ditayangkan secara bebas sebagai film televisi, entah televisi kabel atau televisi swasta seperti di Indonesia. Yang jelas beberapa kali aku mendapatkan tulisan "to be continued", tahun produksi, sutradara, spesial efek dan sebagainya. Tentu jauh berbeda dengan di Indonesia, film sekelas Virgin, Buruan Cium Gue dan sebagainya saja sudah dianggap tabu, dicaci maki dan sebagainya. Alasannya, Indonesia adalah negeri yang berbudaya Timur dan menskralkan seksualitas. Meskipun Timur, aku kira cukup ironis ketika Moammar MK menemukan Jakarta Undercover yang begitu heboh dan melampaui ketimuran.

Black Bibble diputar dalam bahasa Jepang dengan subtitle terjemah bahasa Inggris. Meski sama-sama Timur, nampaknya Jepang mempunyai politik seksualitas tersendiri. Pernah aku baca sebuah buku yang berisi catatan perjalanan seorang jurnalis, bahwa di Jepang, film-film biru—bukan semi—diputar bebas di bioskop. Namun, peminatnya sedikit. Mungkin orang malu untuk menontonnya. Atau karena sebab lain? Ternyata, penyebab utamanya bukan karena malu, namun karena masyarakat Jepang mempunyai sedikit waktu luang. Mereka dikenal sebagai work holic. Sampai-sampai untuk ngeseks pun (dalam rangka reproduksi) mereka tidak sempat; kelelahan, stres dan sebagainya. Dalam teori demografi atau kependudukan, pertumbuhan penduduk di Jepang termasuk dalam kategori piramida terbalik. Dimana angka kelahiran bayi minimal, usia muda relatif tetap, dan tua relatif tetap juga dan dengan peluang harapan hidup tinggi.

Bahkan, kata seorang teman, perkembangan feminisme di Jepang sebegitu rupa. Seorang perempuan yang mau hamil akan di-support habis-habisan oleh negara. Dan satu hal lagi, bila seorang wanita hamil berada di bus, tidak memperoleh tempat duduk, kita harus memberikan kepadanya. Jika tidak, bukan dosa saja yang akan kita terima, melainkan sanksi yang ditetapkan dengan undang-undang akan mengenai kita.

Jika benar demikian, dapat dipahami kalau Black Bibble diputar secara massal, pun film-film biru lainnya. Mungkin pemerintah Jepang ingin merangsang penduduknya untuk ngeseks agar warga negaranya bertambah.

Black Bibble termasuk film yang ngeri, serem, tentunya hot. Aku tidak bisa membayangkan kalau film ini ditonton anak kecil. Beberapa wanita dengan memakai jubah hitam, tanpa bra and panty menghadap altar persembahan. Di atasnya sesosok wanita telanjang terpapar setengah sadar. Seorang wanita nampak merapal mantra yang ia baca dari Black Bibble. Tiba-tiba, ia berteriak, "Tidak, tidak mungkin. Kenapa belum terbuka juga, pasti ada yang kurang". Menit selanjutnya, ia menghunus pedangnya dan memenggal dua wanita penjaga di sampingnya. Darah segar muncrat dari leher yang terpotong mengenai dinding di depannya. Mengakhiri ritual, ia beberapa kali menusuk lambung wanita yang terpapar di altar. Tiba-tiba, dinding di depannya memancarkan cahaya aneh, nampak seperti gerbang. Tanpa disadarinya, ia dipenggal dari belakang oleh wanita yang hendak dijadikan tumbal. Matilah si pemimpin ritual. Dalam keadaan sekarat, wanita itu (tumbal) berdialog dengan iblis. Iblis menawarkan, bilamana ingin tetap hidup, maka bersekutulah dengannya. Ia menerima. Esoknya ia terbangun dengan tubuh moleknya tanpa sedikit luka di atas altar. Ada satu keanehan yang ia rasakan, di area selangkangannya, selain menemukan lubang vagina, ia juga menemukan batang penis laki-laki.
Menonton film ini bagiku adalah sebuah pengalaman dengan sensasi baru tentunya. Selain sebuah film biru yang artifisial, ke-ngeri-an cerita membuatku tidak bosan. Yang jelas, semenjak si wanita mempunyai vagina dan penis sekaligus, adegan seks selalu muncul, dengan gaya dan imajinasi yang melampaui film biru biasa. Dan sekali lagi, yang jelas, film ini tidak cocok untuk anak kecil, meskipun film ini merupakan film kartun.[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment