Oleh: Firdos Putra A.
Banyak perbedaan antara aku dan Tukul. Aku pernah menyaksikan acaranya di salah stasiun televisi swasta. Sedang Tukul belum pernah menyaksikan ketika aku memimpin diskusi atau orasi. Tukul gak ganteng-ganteng amat, minimalnya semua pemirsa Empat Mata setuju. Sedangkan aku, cukup ganteng, minimalnya pacarku setuju. Tukul sok tolol, sok lugu. Sedang aku, sok narsis, sok tahu. Dan bla bla bla ...
Beberapa kali aku tonton Tukul di Empat Mata, aku heran kenapa ratingnya begitu tinggi? Sampai-sampai seorang temanku mengambilnya sebagai bahan skripsi. Apa karena gigi tonggosnya? Padahal lebih tonggos si Boneng di Warkop DKI. Apa mungkin karena ketololan, keluguannya? Kalau iya, mengapa orang banyak begitu terpesona dengan ketololan dan keluguannya? Dengan caci makinya, dengan bahasa tubuhnya? Dan sebagainya.
Seperti Inul Daratista, Tukul meroket hanya dalam hitungan bulan. Inul sempat masuk di pemberitaan TIMES, majalah kaliber internasional. Sedang Tukul pernah unjuk gigi di Melbourne-Australia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ketika dia di Australia, dengan bahasa Inggris dialek Gunung Patinya. Mungkin sangat lucu dan konyol. Orang yang tahu Gunung Pati mungkin akan tersipu, bukan nama daerah di pusat kota, tetapi sebuah daerah pinggiran di kota Semarang. Tukul minimalnya pernah merasakan ‘naik kelas’, meskipun wajahnya tetap saja istiqomah dengan kelas asalnya. Sedang aku tetap istiqomah dengan kelasku, kelas menengah ke bawah.
Jargon-jargon yang ia keluarkan begitu nge-pop; katro, tombo ngantuk, kutu kupret, dan sebagainya. Bahkan si kotak ajaibnya—Laptop—sudah menghipnotis anggota dewan (DPR) kita untuk meminta fasilitas serupa. Meskipun pada akhirnya di urungkan karena banyak kritik pedas dari masyarakat. Itulah si Tukul yang fenomenal dan hipnotif.
Awal-awal menonton Tukul aku bisa tertawa lepas. Apa lagi saat bintang tamu yang seringkali cantik, seksi, dan termasuk selebriti papan atas tampil, membuatku betah berlama-lamaan. Aku tidak tahu Empat Mata sudah memasuki edisi siar yang ke berapa. Yang jelas sekarang aku tidak terlalu tertarik untuk menontonnya. Monoton, itu-itu saja, dengan candaan yang sama, caci maki yang sama, nasihat basi yang sama juga. Anehya, tetap saja ratingnya naik.
Heru Nugroho dari UGM dalam satu kuliah luar biasa pernah mencibir Empat Mata sebagai tontonan yang membodohkan. Biarkan saja, toh cuma satu orang doktor. Sedang orang banyak masih menerimanya sebagai tontonan yang menghibur nan jenaka. Meskipun tontonan itu telah keluar dari pakem yang semestinya. Empat Mata diklaim oleh produsernya sebagai talk show. Sedang aku memandangnya sebagai hiburan yang dikemas dalam bentuk talk show. Talk show yang sebenarnya seperti pada Jakarte Punye Kite, yang dipandu oleh si Ratu Pusing, Peggy Melati Sukma. Pernah ia memperkarakan artis lain yang meniru-niru gaya bicaranya, pusiiing. Benar-benar pusing para artis, soal meniru gaya saja dibikin pusing.
Aku sendiri tidak ambil pusing dengan Tukul juga Empat Mata. Biarkan saja Tukul tetap ndagel dengan gayanya, kalau ia berhenti, keluarganya tidak ternafkahi. Aku mungkin tidak begitu percaya kalau Tukul setolol dan selugu itu. Aku justru percaya kalau Tukul sangat cerdas. Kecerdasannya yang dapat menangkap keinginan para penontonnya. Aku juga tidak percaya kalau Tukul tidak mampu mengoperasikan PDA atau Laptop. Toh untuk membeli Harley Davidson saja ia mampu. Tapi Tukul tahu bahwa kepura-puraannya sangat diminati masyarakat.
Aku justru tidak tahu, kenapa penonton suka ketololannya? Sebenarnya siapa yang tolol, Tukul atau penontonnya? Mau dicaci maki, mau dijelek-jelekkan dan seterusnya. Justru seakan-akan kebanggaan bisa dicaci maki dan disemprot ludah si Tukul. Tukul benar-benar fenomal, sedang penonton juga fenomenal karena mau ditololinya.[]
Blogger Comment
Facebook Comment