Berhala-berhala Baru: Refleksi Makna 1 Syawwal 1426H

Oleh: Firdaus Putra A.

"Apakah kita semua, benar-benar tulus menyembah pada-Nya. Atau mungkin kita hanya takut pada neraka, dan inginkan surga. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepada-Nya. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut nama-Nya. Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati. Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah, memang pantas dipuja".
(Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada: Chrisye)


GEMA takbir membahama di mana-mana, suasana masjid kian ramai. Di penuhi oleh ratusan jama’ah yang hendak melakukan salat Ied pada 1 Syawal 1426 H tahun ini. Orang tua, remaja, serta tidak ketinggalan anak-anak belia memadati sebuah masjid yang masih dalam proses renovasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, salat Ied tahun ini dilaksanakan sekitar pukul 06.00 WIB. Di awali oleh seorang muadzdzin yang menata barisan shof. Dan dilanjutkan dengan salat Ied berjama’ah. Di penghujung ritual, khotib memberikan khutbah tentang urgensi puasa Ramadhan dan penuaian ibadah salat Ied. Dan cerita itu pun dimulai dari sini.

Religiofication of reward and punishmentACAP kali saya mendengarkan khutbah yang cukup ‘menjenuhkan’. Khutbah yang selalu diulang-ulang dalam tiap tahun. Saya rasa kejadian ini bukan hanya di desa ini. Desa yang terkenal cukup religius masyarakatnya, Karanganyar Kec. Tirto Kab. Pekalongan. Namun, saya rasa kejadian ini cukup banyak kita jumpai di berbagai wilayah lainnya. Bukan hanya sebuah prediksi, tetapi beberapa kali saya singgah di beberapa desa dengan kecamatan atau kota yang berbeda, pun demikian adanya.

Ya, bagaimana ketika isi khutbah selalu menyeru pada amar ma’ruf nahy munkar. Karena memang dari perkara inilah agama (baca: Islam) menemukan momentumnya. Salah satu seruan ‘wajib’ ketika mendakwahkan agama. Dan seperti biasanya pula, di penghujung khutbah bagaimana gambaran surga diilustrasikan sedemikian rupa pada jama’ah atas kemenangan dalam melaksanakan ibadah puasa. Dan bagaimana ilustrasi neraka turut menambahkan ‘sakral’nya ibadah tersebut. Namun, apakah pemaknaan 1 Syawwal hanya berhenti pada proses ‘pemberian’ surga-neraka pada umat? Atau jangan-jangan agama yang dipahami oleh para ulama (baca: khotib) adalah sekedar surga dan neraka an sich? Atau alternatif terakhir, mungkin kita belum cukup dewasa untuk menyampaikan agama pada umat secara komprehensif?

Yang sempat saya tangkap adalah 1 Syawwal menjadi sebuah ritual penyematan label, siapa yang pantas masuk surga-dengan berbagai amal ibadah di bulan Ramadhan. Dan menjadi seruan untuk meninggikan derajat keimanan-ketakwaan, jika sebelumnya kita belum optimal di Ramadhan tahun lalu. 1 Syawwal hanya nampak menjadi proses penggantungan ibadah kita terhadap surga-neraka. Artinya surga-neraka menjadi semacam tujuan final manusia beribadah. Tapi, sudah tepatkah pemaknaan 1 Syawwal yang kadung mendarah-daging ini?
Sebenarnya refleksi ini bukan sekedar pada 1 Syawwal sebagai momen terbesar umat Islam. Melainkan sebuah refleksi atas kehidupan religi umat Islam secara luas dan umum. Bagi saya, ada pemaknaan yang dangkal ketika 1 Syawwal (baca: agama) yang hanya dimaknai sebagai proses ‘pemberian’ surga-neraka. Penetapan siapa yang berhak nantinya masuk surga dan sebaliknya. Ujung dari semua nasehat hanya seputar pahala-dosa; surga-neraka. Jangan-jangan pahala-dosa; surga-neraka sudah menjadi semacam agama baru (mengalami religiofication)?
Artinya jangan-jangan pahala-dosa; surga-neraka, menjadi citra ideal; tempat di mana manusia menggantungkan seluruh amal ibadahnya. Jika hal ini benar, maka penggantungan amal ibadah manusia bukan lagi pada Tuhannya melainkan pahala-dosa; surga-neraka, yang lebih menarik dari pada Tuhan itu sendiri. Padahal, surga-neraka hanyalah sebagai tempat yang tidak jauh berbeda dengan hunian kita di Bumi; sama-sama makhluk Tuhan. Jika demikian, ironis bukan?

Proses penggantungan amal ibadah manusia kepada surga-neraka sesungguhnya merupakan proses berhalanisasi ketika pusat ibadah tidak lagi pada Tuhan semata; tetapi pada janji Tuhan tentang tempat yang begitu istimewa; menyejukan, damai, lengkap fasilitasnya, dan berbagai macam bentuk keindahan. Berhalanisasi pada tujuan dasar manusia untuk hidupnya.
Berhalanisasi yang sangat halus, dan seakan-akan benar menurut agama sendiri. Sehingga tidak heran jika Tuhan seringkali berpesan kepada kita; beramal sholehlah kamu dengan hati yang ikhlas. Sesungguhnya Ia sedang menyuruh kita untuk membunuh berhala-berhala yang ada di akal-budi kita. Sepertinya ia ingin berpesan, bukan surga-neraka ‘tuhanmu’; melainkan Aku-Tuhan Penguasa Alam semesta; Tuhan Pencipta Makhluk; dan Tuhan Empunya surga-neraka.

Saya rasa proses penggantungan semacam ini tidak ubahnya dengan kita mendirikan berhala-berhala baru ke dalam hati-pikiran kita. Sebuah berhala yang citranya teramat ‘putih’; berbeda dengan berhala Lata, Uzza, dan Manna yang kelewat ‘hitam’. Pun berhala dalam bentuk kekayaan, kekuasaan, kecerdasan dan seterusnya, yang seringkali dalam pepatah Jawa pun kita ingat sebagai "ojo dadi menungso sing adigang, adigung, adiguna". Berhala dalam bentuk surga-neraka inilah berhala yang sulit untuk dihancurkan. Jangan-jangan hari ini kita sendiri tengah ‘menyembah’ berhala itu. Ketika amal ibadah selalu kita tujukan ‘demi’ sebuah tempat yang konon katanya membahagiakan; surga. Atau jauh, sejauh-jauhnya, dari tempat yang katanya menyeramkan; neraka. Amal ibadah kita menjadi sebatas untuk membeli sebuah tempat wisata di alam lain sana, bukan untuk bertemu si empunya tempat.

Missing step
MENGHANCURKAN berhala jenis ini lebih sulit; karena seringkali ia dihidupkan dari dan oleh diri kita sendiri. Hal ini terjadi ketika kita mengorientasikan diri pada sesuatu yang terbatas. Dan juga seringkali hal ini menjadi penghujung dakwah yang acap kali disampaikan oleh para ulama-ulama (elit-elit agama). Saya sedang tidak bermaksud mengatakan bahwasanya mereka (elit agama) bertanggungjawab atas hidupnya berhala jenis baru ini. Tapi saya sedang berusaha menunjukan ada satu tahap yang masih kurang atau belum tercukupi—untuk tidak mengatakan, sama sekali tidak tercukupi—dalam proses dakwah agama (transformasi agama). Ada satu fase yang terlewat, yang akhirnya keberagamaan umat hanya sampai pada sebatas penyembahan pada berhala (baca: surga-neraka) bukan Tuhan itu sendiri.

Proses transformasi agama atau dakwah menjadi sentral dari Islam. Tidak heran jika Islam digolongkan menjadi salah satu agama misionaristis. Ia mempunyai semangat untuk menyampaikan ‘kebenaran’ pada seluruh umat manusia (dan alam semesta), kapan dan di mana pun. Yang menjadi masalah adalah ketika dalam dakwah, agama sendiri mengalami pendangkalan; yang melahirkan berhala-berhala baru, yang seakan-akan sah untuk disembah.
Masalah dakwah adalah masalah pendidikan umat. Dan hal ini meniscayakan dua kelompok sebagai pemainnya—bukan bermaksud mendikotomikan, hanya untuk mempermudah dalam memetakan. Pertama, yakni ulama atau elit agama yang seringkali menjadi sentral dari segala panutan umat. Ia menjadi sentral karena dalam dirinya ia memiliki kemampuan yang lebih atas yang lain dalam urusan atau pengetahuan tentang agama. Bisa dikatakan ia menjadi guide untuk umatnya.

Kelompok terakhir adalah massa yang jumlahnya relatif banyak, dengan penguasaan pengetahuan tentang agama relatif terbatas. Biasanya kelompok ini disebut dengan umat—ummat. Karakter kelompok ini biasanya tunduk terhadap segala petunjuk, putusan, nasehat yang diberikan oleh ulama (elit agama). Karena ia memposisikan dirinya sebagai orang yang kurang tahu dan mesti harus dibimbing agar selamat. Karakter semacam ini pula yang menempatkan mereka sebagai obyek dari segala jenis aturan-aturan. Padahal belum tentu mereka paham betul akan aturan-aturan yang dimaksud. Hanya saja, mereka sudah kelewat percaya kepada ulama. Sehingga apa yang diperintahkan, dinasehatkan, ditunjukan oleh ulama mereka amini begitu saja tanpa reserve.

Dan di antara dua kelompok itu terdapat kelompok tengah yang berfungsi sebagai jembatan antara massa dengan elit. Jembatan dalam arti corong penafsir atau transmiter serta translater bahasa dari elit ke massa, atau sebaliknya. Kelompok ‘antara’ ini dalam penguasaan pengetahuan agama relatif mencukupi. Hanya saja ia biasanya lebih dekat dengan elit daripada massa itu sendiri. Kedekatan ini lebih bermakna personal dan intim, daripada kedekatan dengan massa yang relatif mengambang. Hal ini lebih disebabkan karena ia sering melakukan charging of religio-knowledge kepada ulama atau elit. Sehingga komunikasi antara mereka lebih intens.

Selanjutnya, dalam proses pendidikan agama inilah pola relasi yang subyek-obyek; kelas atas-bawah; awwam-khos berlaku. Artinya dalam proses pendidikan inilah kelompok (mengacu pada kelas) satu dengan yang lain mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan pemahaman yang berbeda atas semangat atau ajaran agama itu sendiri. Mau tidak mau, dari sananya karakter sebaran pengetahuan agama adalah hirarkis. Ia berasal dari Tuhan, melalui malaikat, diterima oleh nabi, kepada keluarga, sahabat dan terakhir masyarakat umum. Hirarkis dalam arti tidak sembarangan orang memiliki otoritas untuk meyebarkan ajaran agama. Hanya orang-orang tertentu; dari sinilah pengkelasan dalam penguasaan pengetahuan agama bermula.

Elit adalah panutan bagi massa, dan elitlah yang berhak menafsirkan serta memberikan apa-apa yang dirasa mencukupi atau dibutuhkan oleh massa. Selaras dengan derajat ekonomi, sosial-politik, kenyataannya massa masih terbelenggu hanya seputar masalah mencari sesuap nasi untuk hidupnya. Sehingga ia tidak atau jarang berfikir tentang agama secara mendalam. Mereka lebih membutuhkan formula-formula praktis dalam mengatasi masalah hidupnya. Pada titik ini, ulama atau yang sekarang menjadi trend, da’i media menemukan momentumnya. Aa Gym, Jefri Al-Bukhori, Syamsul Arifin dan seterusnya menemukan ‘pangsa pasar’. Melalui bantuan media, mereka mengarahkan agar umat berfikir secara praktis, misal melalui rumus a la Aa Gym dan Jefri. Mereka sekali-kali tidak pernah memberikan formula yang mencapai akar masalah, mengapa kemiskinan atau lebih tepatnya pemiskinan terjadi? Karena adanya mereka merupakan kepentingan media (baca: stasiun televisi). Sehingga apa-apa yang disampaikan ketika mereka mengudara adalah titipan media yang bersangkutan, sedikit sekali semangat yang murni dari diri mereka. Mereka tak ubahnya sebagai robot atas beberapa stasiun televisi, tentunya dengan sejumlah kompensasi.

What we to be done?APA yang harus kita lakukan melihat kenyataan pendidikan agama yang justru mendangkalkan agama itu sendiri? Pertanyaan yang cukup sulit, karena yang jelas berbicara pendidikan atau dakwah agama adalah berbicara suatu sistem yang kompleks dan harus terprogram. Artinya pertama-tama, elit-elit agama harus searif mungkin mensikapi permasalahan umat. Mereka diharapkan tidak sekedar menjadi candu bagi umatnya tetapi harus menjadi obat yang menyembuhkan hingga akar-akar penyakit, masalah kehidupan. Pada sisi ini, kepentingan serta jarak kultural harus diminimalisir. Artinya komunikasi antara elit dengan massa, baik melalui transmiter atau tidak, harus terjalin dengan intens. Hal ini diniscayakan agar elit mengetahui secara mendalam apa-apa yang umat butuhkan. Selain hanya berorientasi pada kebutuhan umat, elit juga harus memiliki visi dari tahapan-tahapan dakwah yang jelas. Secara ilustratif, setelah mereka naik kelas satu, mereka akan diajarkan materi kelas dua, dan seterusnya. Jadi apa-apa yang disampaikan oleh elit tidak melulu materi kelas satu, padahal massa sudah naik kelas dua.

Lalu melihat realitas semacam ini apa yang akan kita perbuat? Apakah akan mengikuti putaran arus, atau akan melawannya?! []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment