Berorganisasi di Usia Dini: Semacam Kritik-Otokritik

Oleh: Firdaus Putra A.
I
Saya masih ingat ketika kita dulu sempat ngobrol santai tentang pilihan organisasi ekstra kampus yang cocok bagimu. Sempat juga saya ‘promosikan’ Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), ketika melihat back ground-mu adalah seorang Nahdliyyin,dan mungkin lebih Nahdliyyin daripada saya sendiri. Paling tidak, saya sempat utarakan, antara kultur Nahdliyyin dengan PMII tidak akan terlalu berbeda jauh. Yasin-tahlil, takzim kepada kyai, kajian kitab kuning dan seterusnya. Mau tidak mau, bisa saya katakan PMII adalah organisasi underbow dari Nahdlatul Ulama (NU). Meskipun hal ini tidak bisa di gebyah uyah dalam konteks pemikiran, pemahaman serta penghayatan pergerakan serta keilmuan. Tentu saja, konteks antara keduanya berbeda jauh; NU sebagai organisasi Islam kemasyarakatan yang cenderung berada di pedesaan—implikasinya, harmonisasi dinomorsatukan, atmosfir feodal sedikit-banyak masih kentara—sedangkan PMII adalah organisasi massa yang berada di lingkungan perguruan tinggi—implikasinya, bukan lagi pelembagaan harmonisasi, melainkan manajmen konflik adalah hal yang niscaya. Saya rasa membicarakan NU dan PMII membutuhkan satu tulisan tersendiri, karena kompleksnya jejaring anasir yang melingkupi keduanya.

Sempat juga saya tawarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya utarakan juga bagaimana logika keterpecahan HMI yang akhirnya menjadi dua saudara kembar, DIPO dan MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Dulu, ketika Orde Baru masih memimpin, proses mono-ideologisasi berjalan dengan massifnya. Mono-ideologisasi yang dilakukan Soeharto dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Jika boleh saya meminjam analisis Althusser ketika itu ISA (Ideological State Aparatus) melalui penyeragaman paradigma dipilih untuk mengontrol state of mind para warganya. Pancasilaisme, menjadi ideologi yang hebat, alih-alih angkuh dan tak terkalahkan. Semua ‘ideologi kecil’ harus menyerahkan kehormatannya pada Pancasila. Soeharto mengklaim dalam Pancasila lah saripati keindonesiaan ditemukan. Mungkin saja benar, tetapi proses politisasi (baca: ideologisasi) yang ada justru mencerabut akar keindonesiaan Pancasila itu sendiri. Dalam konteks kontemporer, Robert N. Bellah memberi pertegasan bahwa substansi Pancasila dapat diparalelkan dengan civil religion yang memiliki visi kemanusiaan, keadaban serta keagamaan publik yang komprehensif.

Mono-ideologisasi yang dipaksakan Soeharto inilah (dipertegas lagi dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus—NKK/BKK) organisasi-organisasi mahasiswa di Indonesia, tentu saja HMI termasuk, harus mengatur ulang bangunan dasarnya. Akhirnya lahir kelompok yang mendukung penerapan Pancasila sebagai azas organisasi, akhirnya disebut sebagai HMI-DIPO. Dan di sisi yang lain, lahir pula kelompok yang konsisten serta jejeg dengan Islam sebagai azas organisasi, yang akhirnya dikenal dengan HMI-MPO. Sebagai apologi, HMI-DIPO ketika itu beragumen langkah yang ditempuhnya hanya sebagai strategi an sich dan mereka tetap committee dengan Islam–nya. Apologi ini nampaknya kurang disenangi HMI-MPO, sebagai bentuk ‘proses mendekati kekuasaan’. Memang benar, dalam kenyataannya HMI-DIPO lah yang secara legal-formal diakui keberadaanya oleh pemerintah. Dari pengakuan itulah mereka mendapat banyak ‘kemudahan’; berbeda dengan HMI-MPO yang diperlakukan seperti anak tiri. Dari perbedaan pensikapan kebijakan mono-ideologi itulah perseturuan antara DIPO dan MPO seperti anak emas dan anak tiri. Lalu, mungkinkah untuk diadakan rekonsiliasi alih-alih unifikasi?

II
Waktu berjalan, pilihan pun jatuh di satu wadah yang konon katanya ‘lebih idealis’ dari saudara-kembarnya. Kalau boleh sedikit memberi komentar, sebenarnya apa yang dikatakan Ayu Utami dalam catatan tentang State of Mind ‘Trust’, sedikit-banyak benar. "Demokrasi tidak akan menjadi sedemikian agung manakala dulu komunisme tidak pernah ada. Kami adalah anti-tesis dari tesis yang menjadi sintesis". Artinya, HMI-MPO tidak akan tampak sedemikian ‘lebih idealis’, manakala dulu HMI-DIPO turut memilih Islam sebagai azas organisasi. Artinya, jangan-jangan klaim ‘lebih idealis’ adalah klaim yang bisa jadi terbentuk dalam sebuah konteks sosio-historis yang sarat akan kepentingan serta belum tentu obyektif.

Terlepas dari itu, pilihan memasuki HMI-MPO adalah sebuah pilihan bebas, dari sebuah kehendak bebas. Meskipun kehendak bebas ini sangat kabur batasnya. Mengapa? Ketika awal proses, seseorang yang masih polos ‘dipaksa’ untuk memilih satu pijakan, maka ia cenderung akan mendekati kemana angin membawanya. Artinya, dalam kerapuhan ideologis, angin (baca: para kader organisasi) akan membawanya untuk dipersiapkan sebagai kader organisasinya. Maka, saya lebih sepakat mengambil jarak sementara waktu ketika di proses awal seseorang, untuk terlebih dulu melihat, memahami kepentingan, konflik dan bla bla bla yang diperjuangkan oleh masing-masing organisasi. Kooptasi di ‘usia dini’, menurut saya adalah kooptasi yang prematur. Meskipun hal ini tidak akan menjadi faktor yang deterministik yang menentukan ‘baik-buruknya’ si calon kader nantinya.

Paling tidak, ketika seseorang menjaga jarak untuk sementara waktu, ia mampu mengerahkan kemampuan analisis, sensitifitasnya untuk membaca keadaan yang sedang terjadi. Berbeda jika kooptasi dilakukan, alih-alih berlindung di balik klaim ‘pencerahan’, sebenarnya yang terjadi adalah proses brain washing. Mencuci otak, dan mengenakan paradigma baru yang dianggap sebagai paradigma yang ‘lebih baik’. Padahal, anggapan ‘lebih baik’ ini berasal dari angin (baca: para kader organisasi), bukan kebutuhan riil orang tersebut.

Mau tidak mau, proses kooptasi atau jika dalam perspektif organisasi; rekruitmen angota, dari awalnya telah memiliki atmosfir collonial mind set (penjajahan atas ide). Artinya, organisasi telah menggariskan bahwa di luar sana banyak ‘gembala-gembala yang harus diselamatkan, agar mereka tidak tersesat’, mungkin begitulah akar mula misionaris dalam tradisi Kristiani, menyelamatkan ‘gembala yang tersesat’. Organisasi sebenarnya kurang mengetahui kebutuhan riil paradigma ‘gembala yang tersesat’ itu, tetapi dengan cukup ‘arogan’ namun bijak, mereka memberinya semacam janji-janji akan keagungan Kerajaan Allah, tentunya, jika ia memilih organisasi itu. Lalu, internalisasi paham misionaris ini akan selalu diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dan jadilah organisasi yang ada mengabdi pada logika misionaris sang pembebas, mungkin dari sinilah perseturuan satu organisasi dengan yang lainnya di mulai. Sebuah perseturuan yang berasal dari keinginan untuk menyelamatkan ‘gembala yang tersesat’. Fenomena ngrayah calon kader adalah indikasi yang dapat dilihat setiap tahunnya. So, apa bedanya organisasi mahasiwa dengan, maaf agama (institusi) yang melakukan usaha serupa? Mungkin juga insting dasariah untuk melestarikan eksistensinya di kancah kehidupan.

Memang, secara fungsional-struktural hal itu menyumbangkan ‘kebaikan’, ketika di usia dini, sebelum mereka terlelap dalam gemerlapnya kehidupan kampus; hedonisme, free sex, dugem, apatisme gerakan, egoisme akademik dan seterusnya, mereka telah dibentengi dengan segenap pijakan untuk memilih ‘berpihak’ pada kemanusiaan, islam (sengaja menggunakan ‘I’ kecil) ataupun visi-visi lainnya. Tetapi, menurut saya akan lebih elok, manakala penginsyafan a la struktural-fungsional tersebut lebih diposisikan sebagai kritik dari mekanisme kooptasi atau rekruitmen. Tentunya, agar semangat misionaris tersebut mampu sedikit-banyak diredam. Karena logika minionaris sesungguhnya menyembunyikan keangkuhan, serta bahaya yang mengancam; truth claim of ideology.

III
Adalah niscaya bahwa setiap organisasi memiliki visi, misi serta kerangka gerak yang jelas. Visi, misi dan seterusnya itu, sebenarnya adalah turunan dari ideologi atau azas yang dianutnya. Mau tidak mau, ketika kita mengikatkan diri pada satu organisasi, kita akan mengenakan atau ‘dipaksa mengenakan’ ideologi arahan organisasi. Dan memang inilah aturan main atau ethic code yang harus kita sepakati. Jika tidak bersepakat, silahkan memilih organisasi yang Anda maui, mungkin itulah pesan tersirat yang dapat kita ambil.

Dalam bagian ini, saya ingin membaca bagaimana kecenderungan ‘penundukan individu’ terjadi dalam logika ideologi arahan atau ethic code tersebut. Dan di bagian ini pula, ideologi lebih saya maknai dalam arti generisnya, yakni sekumpulan atau sistem ide-ide dasariah, tentunya makna generis ini akan lebih luas cakupannya daripada sekedar ideologi bi ma’na ilusi politik. Implikasi dari perluasan ini termasuk di dalamnya, cara berfikir, preferensi pemikiran, sikap (attitude), serta ekspektasi-ekspektasi dan seterusnya.

Saya mengawali bagian ini dengan mengajukan pesimisme, bahwa seringkali individu harus ditundukan pada organisasi. Artinya, ekspektasi sebelum ia masuk dan bergabung, kurang diapresiasi oleh logika sistem. Yang ada justru bagaimana ia menyumbangkan perannya agar sistem tetap berjalan. Kebutuhan individu ditundukan oleh kebutuhan organisasi, lalu individu pun harus mengabdi pada organisasi. Dalam bagian inilah logika social facties a la Durkheim-ian berlaku. Bahwa masyarakat (baca: organisasi) mengatasi individu. Organisasi adalah entitas yang riil, sedangkan individu di dalamnya hanya sekedar entitas imajiner penyokongnya.

Ketika logika Durkheim-ian ini berlaku, maka tidak jarang kekecewaan akan dirasakan individu, ekstremnya mungkin dia akan keluar, dan beralih ke organisasi yang lain atau menjadi post-organization. Di sini juga berlaku bagaimana ketika pemikiran individu dianggap melenceng dari grand naration organisasi, maka individu harus mengalah. Pemikiran individu harus selaras dengan organisasi. Tak ubahnya seperti negara semasa Soeharto, organisasi akan menerapkan ISA-nya dalam wujud yang bisa jadi berbeda, bahkan lebih subtil.

Penundukan atas individu ini sebenarnya memiliki kontradiksi yang nyata. Secara ontologis, keberadaan organisasi adalah untuk mencukupi kebutuhan anggotanya, melayani anggotanya. Bukan sebaliknya, anggota harus melayani organisasi. Kontradiksi ontologis ini paralel dengan pemahaman meanstream keagamaan, bahwa manusia untuk [ber]agama. Akhirnya manusia seringkali atas nama kebenaran agama ditundukan dan menjadi ‘hilang’ dari peredaran keberagamaan. Dari titik inilah alienasi [ber]agama lahir. Dus, jika organisasi menerapkan logika yang sama, maka anggota tak ubahnya sebagai umat yang harus nurut apa kata Teks Suci (The Sacred Text, Quran). Teks yang ada di dalam otak individu adalah teks yang inferior ‘kebenarannya’. Teks Suci akan mengatasinya dengan mengatasnamakan Kebenaran Tuhan yang pasti baik bagi umat manusia. Tapi apakah hal ini tepat? Artinya apakah Kebenaran Tuhan, sebenarnya lebih tepat dengan Kebenaran Agama, akan selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam? Dalam konteks organisasi, klaim Kebenaran Agama ini tersublimasi (dalam makna Freudian) sebagai Kebenaran Ideologi Organisasi. Sehingga hirarki kebenaran akan terbentuk, Kebenaran Ideologi Organisasi yang telah mengalami institutionalized, menjadi kebenaran yang superior mengalahkan serta mengatasi kebenaran yang dimiliki individu atau para anggotanya.

Dalam pembacaan tersebut, seringkali organisasi akan mengalami titik stagnasi. Hal ini wajar, ketika dalam kacamata Weber-ian, individu sebagai the real entity diabaikan begitu saja pemikiran serta sumbangsihnya pada organisasi. Padahal, merekalah yang menghidupkan organisasi. Titik stagnasi tersebut akan diperparah jika kepentingan politis satu individu dilekatkan sedemikian rupa dengan cara mencari legitimasi Kebenaran Ideologi Organisasi. Yang terjadi adalah organisasi telah ter-setting untuk memenuhi keinginan politis oknumnya, [untuk membedkan dengan individu-anggota]. (Sejarah telah membuktikan, bagaimana ‘nasib agama’ harus hancur ketika agama justru dijadikan alat legitimasi untuk kepentingan tertentu; ekonomis, politis). Lalu, tidak menutup kemungkinan, semisal organisasi yang tadinya menerima perubahan dari luar (pemikiran atau ide-ide lainnya) berubah menjadi tertutup bahkan cenderung ‘sewarna’. Mono-colour dalam ranah pemikiran ini tentunya bukan hal produktif bagi dinamisasi organisasi kedepannya.

IV
Lantas apa yang dapat kita lakukan ketika kita sudah include didalamnya. Apakah mengamini logika Durkheim-ian dengan konskuensi logis kita menjadi seperti ‘katak dalam tempurung’ atau melawan yang resikonya tidak kecil. Jika memang sudah terlanjur masuk, serta kebutuhan-keinginan kita (misal aktualisasi ide, apresiasi pemikiran dan seterusnya) kurang ditanggapi organisasi, menurut saya, bukan saatnya bagi kita untuk diam, duduk manis, serta menerima begitu saja petuah-petuha suci organisasi, enath itu atas nama pembebasan, perjuangan kaum mustadlafuun dan sebagainya. Kita harus bersikap secara proporsional dengan cara menerima melalui proses kritik terlebih dulu.

Jika boleh menggunakan analisis ilmu sosial, individu yang masuk dalam frame itu tergolong dalam tradisi Weber-ian. Di mana kebebasan (kebutuhan, kehendak, keinginan dst.) individu adalah realitas yang sesungguhnya. Maka, individu harus melakukan pemberontakan terhadap struktur (baca: sistem). Bahwa entitas yang riil adalah individu, maka organisasi ‘seharusnya’ menghormati keberadannya, bukannya justru menegasikannya.

Tapi, pemberontakan terhadap struktur seringkali berujung pada ekstremitas klimaks. Jika individu ‘menang’, maka organisasi akan berubah sesuai dengan kehendak individu, dan jika ‘kalah’ maka individu akan ‘dipaksa’ atau ‘memaksakan’ diri untuk keluar. Sehingga pemberontakan a la Weber-ian bisa jadi adalah aksi yang ‘heroik’ alih-alih aksi yang nekat dan konyol. Karena, mau tidak mau, proses institutionalized yang terjadi pada [ide]ologi tertentu dengan sendirinya akan melahirkan kelompok pendukungnya. Lalu, Thomas Kuhn mengingatkan kepada kita, bahwa kemenangan paradigma (baca: ideologi) bukan karena kehebatan paradigma tersebut, yang telah teruji secara praktis maupun teoritis, melainkan lebih disebabkan karena adanya jejaring kekuasaan yang menyelimutinya. Jejaring kekuasaan dapat kita sebut sebebagai ‘komunitas pendukung’ atas ideologi tersebut.

Dengan satu kasus (Indonesia masa 70-an) saya akan memberikan gambaran serta analisis tentang cara bekerjanya logika ini. Tahun 70-an adalah masa dimana ide tentang deregulasi pasar (liberalisasi pasar) dilontarkan. Awal-mulanya ide ini ditolak mentah-mentah oleh kabinet Soeharto, mereka menganggap bahwa untuk memasuki liberalisasi pasar, para pengusaha Indonesia belum terlalu siap—karena semasa itu, Soeharto banyak memberikan proteksi, alih-alih usaha kongkalikong terhadap perusahaan tertentu, di antaranya pengusaha Bob Hasan. Tetapi, dengan menguatnya wacana deregulasi pasar yang didukung oleh banyak elemen maka, kebijakan itu pun dikeluarkan juga—implikasinya, beberapa perusahaan yang dulu diproteksi oleh pemerintah mengalami collapse karena belum siap untuk bersaing dengan perusahaan besar lainnya, termasuk perusahaan asing.

Lahirnya kebijakan deregulasi pasar sangat berhubungan dengan pewacanaan dari pada pendukungnya. Meminjam istilah Rizal Mallarangeng, para pewacana tersebut tergabung dalam ‘komunitas epistemis liberal’—komunitas ini terdiri dari para akademisi, praktisi, pengusaha dan sebagainya—termasuk diantaranya; Thee Kian Whee, Goenawan Mohammad, dll. Komunitas inilah yang pada akhirnya dengan sebegitu rupa ‘memaksa’ pemerintah untuk memilih simalakama yang tentu saja dilematis. Dan terbukti, bahwa suatu paradigma (baca: wacana-kebijakan) menang, bukan karena kehebatannya—lihat kondisi paska regulasi, collapse—tetapi karena adanya jejaring kekuasaann yang ikut bermain (baca: ‘komunitas epistemis liberal’).
Apa yang ingin saya sampaikan, adalah bahwa agar pemberontakan dapat berjalan dengan mulus serta optimal, seperti kasus deregulasi pasar era 70-an, maka kita harus memiliki komunitas pendukung. Bukankah kebenaran adalah persekongkolan bersama? Artinya, meminjam analisis Foucault, pengetahuan (baca: kebenaran) memiliki relasi yang erat dengan kekuasaan, atau persekongkolan bersama itu. Komunitas pendukung ide kita ini yang nantinya akan melakukan aksi ‘reideologi’ pada organisasi yang kita klaim mengalami kemandulan.
Atau kedua dengan cara yang lebih elegan serta produktif adalah kita melakukan proses—yang oleh Giddens—sebut sebagai ‘strukturasi’. Artinya, proses dialektik antara state of mind individu dengan state of mind organisasi yang terbakukan. Proses dialektika ini tentu saja mensyaratkan individu untuk aktif, tidak hanya menerima begitu saja, dan seringkali membutuhkan waktu yang lama.

Meskipun proses dialektika ini berlangsung dalam waktu yang lama, tetapi bagi individu sendiri, mungkin juga organisasi, hal ini adalah produktif. Karena dalam rentetan panjang sebenarnya dinamisasi individu-organisasi tengah berlangsung. Dialektika ini akan lebih massif jika dilakukan dalam sebuah kesepemahaman bahwa setiap ide memiliki masa-nya. Marx adalah anak zaman sosialisme Jerman, Althusser, Gramsci dan seterusnya adalah Marxis dari anak zamannya masing-masing. Intinya, apa yang ingin saya katakan, bukanlah hal yang salah jika Marxis seperti Gramsci, Althusser dan lain sebagainya berbeda pendapat dengan Karl Marx. Memang di sinilah keruwetan akan lahir, ketika produk pikir Marx telah menjadi Marxisme. Dan ketika produk konferensi, konggres, dan seterusnya telah menjadi semacam fatwa mati yang tidak dapat diganggu-gugat.

Jika indikasi ‘pembekuan produk pikir’ itu tercium, maka saatnya lah kita bertindak apakah akan menggunakan logika Weber-ian (feat Foucault-ian) atau dengan strukturasi Giddens yang nampak lebih arif dan elegan. Pilihan format perubahan ada di tangan kita. Yang jelas, apa yang kita rubah haruslah substansi ‘produk pikir’, bukan hanya sebatas pada kulitnya an sich. Jika organisasi, apa pun itu, telah banyak mengeluarkan aturan, larangan yang terlalu membelenggu kreatifitas serta pengalam konkret inidividu, maka saatnyalah waspada, jangan-jangan proses mono-colouring sedang dijalankan[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment