Oleh: Firdaus Putra Aditama
Beberapa kali Presiden kita, Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan kebijakan yang nampaknya polpulis di mata rakyat. Pertama, terkait dengan usaha untuk mendekatkan dirinya kepada rakyat, melalui SMS gateway dengan nomor 4949 yang dirilis sebagai nomor terbuka bagi rakyat Indonesia yang ingin mengeluarkan keluh-kesah, saran, kritik, atau uneg-uneg lainnya.
Selain untuk berusaha mendekatkan diri kepada rakyat, SBY paling tidak sedikit-banyak tahu tentang apa yang rakyat pada saat ini harapkan. Meskipun, rakyat dalam nomor 4949 adalah rakyat yang minimalnya memiliki pesawat telepon seluler. Sedangkan yang lainnya, entah dengan mekanisme apa agar dapat ‘berbicara langsung’ pada presiden yang kharismatik ini.
Kali keduanya SBY mengeluarkan lompatan kebijakan yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintahan sebelum-sebelumnya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan menyusul dengan pengurangan subsidi BBM. Hasil olah data LPEM UI menemukan bahwa angka penduduk miskin bisa dikurangi dengan memberi subsidi—untuk sementara waktu—yang bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. BLT ini diberikan sebesar Rp. 300.000 / kepala keluarga miskin atau tak mampu. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang tergolong keluarga miskin atau tak mampu itu. Untuk menjembatani hal ini, BPS melakukan survei data dan lapangan. Dan akhirnya pengucuran tahap satu BLT dapat dilakukan relatif sesuai dengan jadwalnya.
Ketika pengucuran tersebut, masalah menjadi semakin kentara. Alih-alih BLT ditujukan agar masalah daya beli masyarakat dapat sementara waktu terbantu, yang terjadi justru anomali sosial. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Seorang tetangga tega-teganya membunuh petugas BPS—selaku surveyr di lapangan—yang sebenarnya adalah tetangganya sendiri. Hal ini disulut karena namanya tidak tercantum dalam daftar keluarga miskin itu.
Kerusakan fisik juga dapat terlihat dari hasil amukan massa yang sempat merusak beberapa sarana desa. Balai desa, kantor kepala desa atau kelurahan menjadi sasaran empuk untuk menyalurkan kekecewaanya terhadap kebijakan pemerintah itu. Anomali sosial yang mengiringi pengucuran BLT tahap satu itu sempat terekam di beberapa mas media, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, terjadi reaksi yang sama di beberapa daerah, petugas survei mengundurkan diri lantaran mereka dituduh sebagai biang keladi masalahnya. Tuduhan ini cukup beralasan, pasalnya mereka adalah penentu tentang kelaikan tidaknya satu keluarga untuk menerima BLT.
Sedangkan di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa anomali sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi meraih keuntungan tertentu. Hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden, Jussuf Kalla ketika dikonfirmasi oleh mass media. Pemerintah masih tetap mengelak bahwa kebijakan yang dikeluarkannya sebenarnya tidaklah populis. Kebijakan tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kebijakan yang gegabah dan mentah.
Bagaimana naifnya pemerintah bahwa masalah uang—apalagi cuma-cuma dan cash—adalah masalah yang riskan serta sensitif. Selain itu, naif juga ketika dengan kepercayaan diri yang dalam, pemerintah menugaskan BPS untuk mendapatkan data keluarga miskin secara akurat dan tepat. Pasalnya, setiap daerah ketika dilakukan survei yang implikasinya adalah pemberian sumbangan, maka berbondong-bondong orang akan mengaku sebagai keluarga miskin. Atau lebih sistematis lagi, seorang lurah-kades tidak akan memberikan data desanya serta menolak pengucuran BLT bilamana seluruh warganya tidak terdaftar. Ia berujar, jika satu tidak kebagian, dan yang lain kebagian pasti akan timbul rasa saling iri, saling curiga. Dan munculnya perasaan semacam ini tentu saja dapat berakibat buruk, yakni lahirnya konflik horizontal antarwarga.
Namun, pemerintah berasumsi lain dan berbeda. Jika asumsi mereka dengan mengucurkan BLT maka masyarakat akan simpatik terhadap pemrintahan SBY-JK, maka lapangan telah menjawabnya dengan nada minor. Apa yang diharapkan SBY-JK tidak sesuai dan terlaksana. Bahkan mereka harus menanggung dosa sosial atas anomali-anomali yang terjadi seiring dengan pengucuran BLT.
Ternyata, SBY-JK harus menebus kebijakan gegabah serta mentah itu denagn social cost yang cukup besar. Mau tidak mau mereka harus memformulasikan ulang kebijakan berkenaan dengan subsidi langsung ini.
Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan Langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT dilakukan dan diselenggarakan oleh perang desa dan/atau petugas BPS. Maka pada SLT, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat—dulunya di balai desa atau kantor kelurahan—pengambil SLT harus mempunyai surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial pada BLT tahap satu tidak terjadi, relatif berkurang, pada pengucuran keduanya. Tapi, apakah masalah sudah selesai ketika BLT/SLT tidak bermasalah di masyarakat?
Sedikitnya ada tiga masalah mendasar berkenaan dengan kebijakan tersebut. Pertama, dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat. Jadi, sifat bantuan yang tunai serta langsung itu hanya kan menjadi batu sandungan atau titik balik pembangunan. Dulu, ketika masa Orde Baru pembangunan a la top down dikritik karena melahirkan ketergantungan antara pemerintah dengan warganya, dan hari ini, kebijakan tersebut kembali terulang dalam bentuknya yang lain.
Kedua, sepertinya pemerintah tutup mata terhadap sikap mental mayoritas masyarakat kita. Artinya, fakta di lapangan bahwa sikap mental masyarakat kita belum lah terlalu jujur mau mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Bisa jadi karena ternyata menjadi orang miskin di negara kita cukup menguntungkan. Dari sikap mental yang belum jujur apa adanya ini lahirlah gejala kelas baru di tengah-tengah masyarakat, the small bourgueis al-mustahiq (orang yang relatif mampu, tetapi masih mau menerima zakat/sumbangan).
Ketiga, tentunya anggaran yang digunakan untuk memberi sumbangan tunai itu tidak cukup dalam hitungan milyaran rupiah. Artinya, jika kita asumsikan terdapat 10 juta keluarga miskin saja, maka satu kali pengucuran akan membutuhkan anggaran sebesar Rp. 3.000.000.000.000 (tiga trilyun rupiah). Padahal dengan anggaran sebesar itu pemerintah seharusnya mampu membuat kebijakan yang lebih cerdas serta memberdayakan. Bukan sebatas pada pemberian ‘umpan’ an sich, seharusnya pemerintah bisa memberikan ‘kail’ dalam bentuk pembangunan infrastruktur masyarakat. Dalam ranah ini, proyek padat karya dapat dipilih, atau mengalihkannya kepada sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Dengan mengantongi anggaran sebesar lebih dari tiga trilyun, kebijakan yang lebih dari sekedar BLT/SLT seharusnya mampu pemerintah telorkan. Seharusnya! []
Blogger Comment
Facebook Comment