Ada bahaya yang lebih besar lagi, yaitu Islam telah digunakan sebagian orang sebagai kendaraan mencapai tujuan-tujuan dan harapan mereka, baik dalam bidang politik atau pun pribadi. Sangatlah berbahaya jika masyarakat memandang tindakan mereka yang tidak sesuai dengan etika Islam adalah seorang Muslim. (Bahkan kalau mau jujur) bentuk pemerintahan Islam itu tidak ditemukan. Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad Saw sudah meninggal, beliau tidak meninggalkan pesan apapun mengenai bagaimana memilih kepala negara .... Jadi, mengenai pilihan bentuk negara dan banyak hal lagi mengenai kenegaraan tidaklah ditentukan, dan umat Islam tidak terikat untuk menganut satu sistem. Semua sistem daoat dilakukan oleh masyarakat Islam pada setiap tempat.
[Hasyim Asy’ari dalam Nur Kholik Ridwan: 2002]
SUDAH menjadi ritual pada setiap Pemilu dari satu waktu ke waktu yang lain, isu Jakarta Carter timbul sarat dengan kepentingan kelompok atau partai tertentu. Paling tidak perdebatan Jakarta Carter sedikit mengingatkan kepada kita tentang bagaimana relasi antara agama dan negara. Atau dalam bahasa Islam kita sebut sebagai relasi antara ulama dengan umara.
Fenomena di setiap pemilu juga sedikit-banyak membuat masyarakat jengah, bagaimana ketika seorang ulama (baca: kyai) turun ke gelanggang politik. Alhasil, ia berkali-kali menggunakan teks agama (Qur an) dan juga simbol-simbol agama untuk memobilisasi massa atau umat pengikutnya. Minimalnya, di tingkat elit peran mereka adalah ‘tukang stempel’ dari para politikus yang hendak memainkan siasatnya.
Kejengahan masyarakat melihat fenomena ‘tukang stempel’ itu diperparah dengan munculnya jargon-jargon yang berbau sok Islami. Kita ingat, sampai saat ini masih ada organisasi Islam yang mengusung konsep negara Islam. Nampaknya mereka tidak pernah mau dan mampu menginsyafi bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan tidak memungkinkan untuk menggunakan sistem itu.
Dan keinginan untuk menerapkan sistem Islam itu seringkali diselimuti dengan berbagai klaim kebenaran. Adanya klaim kebenaran di sini menyiratkan ‘klaim penyalahan’ pada sistem yang lain. Minimalnya kelompok penyuara negara Islam itu akan berteriak tentang Indonesia yang sekuler. Memang, paling tidak membicarakan relasi antara ulama dengan umara, kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah sekulerisme. Tentu saja kita tidak akan mengambil dari dua ekstrem yang ada, negara Islam atau negara skuler, lalu masih adakah jalan ketiga?
Islam dan Negara; Telisik Konseptual
PALING tidak sedikitnya ada dua golongan yang memandang bahwa secara konseptual Islam menyediakan rambu-rambu bagaimana membangun relasi dengan negara. Golongan pertama berpendapat bahwa negara adalah alat dari agama guna menciptakan apa yang namanya khairu ummah. Pendapat yang demikian ini biasanya dilandaskan pada pratik pemerintahan Nabi di Madinah. Golongan ini berpendapat pula bahwa tidak ada sistem yang tepat di dunia ini kecuali sistem Islam. Islam dimaknai bukan hanya sebatas sebagai agama, tetapi juga sebagai ideologi politik.
Di golongan pertama kita akan menemuka bagaimana kekuasaan yang sah hanyalah milik Tuhan. Hal ini berimplikasi bahwa hukum, atau aturan-aturan yang sah, dan boleh diterapkan di masyarakat adalah aturan-aturan milik Tuhan, bukan hukum ciptaan manusia. Untuk hal ini Khomeini (dalam Eatwell, 2004: 368), mencatat perbedaan mendasar antara pemerintah Islam, di stau sisi, dan monarki konstitusional dan republik, di sisi lain; jika dalam rezim semacam itu wakil rakyat atau raja yang menentukan undang-undang, maka dalam Islam kekuasaan dan kemampuan untuk merumuskan undang-undang hanya milik Allah Yang Maha Kuasa.
Lebih jauh, Khomeini menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta; hukum yang mengatur manusia tidak berbeda dengan hukum yang mengatur alam semesta. Tuhan adalah Pencipta alam semesta dan manusia ... Ia-lah yang menciptakan alam semetsa dan manusia serta membuat manusia patuh pada hukum yang mengatru alam semesta, Ia juga yang menetapkan syariah bagi tindakan manusia. Jika manusia mematuhi hukum ini, kehidupannya akan selaras dengan alam(dalam Eatwell, 2004: 368). Melihat pernyataan Khomeini ini kita dapat membaca bahwa golongan pertama mempunyai pendapat yang bulat tentang Islam yang sudah mengatur segala hal, termasuk di dalamnya adalah pilihan sistem pemerintahan. Hal inilah yang berimplikasi pada lahirnya klaim kebenaran pada kelompok tertentu. Ketika suatu hal sudah dilekatkan dengan agama, maka proses justifikasi benar-salah akan mengikuti hal tersebut.
Golongan ini berpendapat bahwa untuk menyelenggarakan pemerintahan kita harus meniru Nabi Muhammad ketika beliau hidup di Madinah. Mereka melihat bahwa Madinah adalah cetak-biru dari bentuk negara Islam itu sendiri. Cetak-biru yang dialamatkan kepada negara Madinah dapat kita maklumi karena untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, sebuah dokumen memuat tentang prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak dikenal umat manusia (dalam Majid, 1995: 590).
Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa apa yang diwariskan oleh Islam dalam sistem pemerintahan hanyalah semangat atau tujuan akhirnya saja. Berkenaan dengan pilihan cara diberikan ruang yang luas untuk memilihnya. Barisan yang ada padsa golongan pertama ini biasanya diklaim oleh golongan pertama sebagai barisan yang pro-sekulerisme. Karena golongan ini berpendapat bahwa memandang tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi Muhammad wafat adalah suatu dispensasi khusus dari Allah dan menyebutnya sebagai khilafah an-nubuwwah. Kekhalifahan ini juga memiliki suatu sifat yang sui generis dan tidak dapat terulang lagi di dalam sejarah karena Nabi telah menyatakan bahwa; Kekhalifahan ini, hanya bertahan selama 30 tahun dan setelah itu hanyalah tata politik dalam pengertian umum, demikian menurut Ibnu Taymiyyah (dalam, Khan 1971: 184).
Artinya, bahwa dengan sendirinya pilihan negara Madinah sebagai cetak-biru negara Islam adalah kurang tepat. Karena Nabi sendiri menggariskan bahwa cetak-biru itu tidak akan terulang kembali pada sejarah manusia. Meskipun khalifah dari dinasti-dinasti Ummayah, Abbasiyah menamakan diri mereka sebagai kulafa, tetapi kaum Muslim terpaksa menerima hal itu karena mereka memiliki kekuatan otoritas yang nyata, sebagai raja (dalam, Khan 1971: 184). Bahkan jika kita perluas, dalam penyelenggaraannya konsep tentang khilafah pada masa Bani Ummayyah telah mengalami distorsi. Yatim (2000: 42) mengungkapkan bahwa memasuki masa Bani Umayyah, pemeritahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Untuk melanggengkan kekuasaannya, Yazib bin Muawiyah bahkan tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari istilah itu menjadi "khalifah Allah", dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Golongan kedua ini berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang dipilih oelh masyarakat Islam diserahkan pada masyarakt setempat dengan mempertimbangkan konsteks sosial-politik, sosial-ekonomi dan setrusnya. Bahkan hal ini diperkuat dengan argumen bahwa Piagam Madinah yang modern itu, di dalamnya sama sekali tidak sekalipun terdapat kata Qur an atau pun Hadist. Yang ada adalah kata kesepakatan, kesatuan dan kebebasan mengamalkan agama (Aqiel Siradj dalam Mastuki, 1999: 205).
Negara Islam dan Masa DepannyaGENCARNYA modernisasi yang mewujud menjadi demokrasi pada struktur pemerintahan sedikit-banyak akan berpengaruh pada masa depan perjuangan negara Islam. Dampak lain dari modernisasi yang tidak bisa kita lepaskan dari diskursus negara Islam adalah sekulerisme. Modernisasi dengan rasionalismenya sudah sedikit-banyak melakukan desakralisasi pada teks-teks agama. Agama tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, tetapi oleh rasionalisme ‘dipermainkan’ sebegitu rupa sebagai bentuk dialektika pengetahuan. Maka, membiacarakan masa depan negara Islam akan lebih kentara dengan membenturkannya pada sekulerisme akibat dari modernisasi itu sendiri.
Di Indonesia yang memiliki tradisi historis tersendiri, konsep negara sekuler sulit diterapkan. Dari segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi 'negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara sekuler.
Begitu pula dari segi separation of state and religion dalam pengertian, agama dan negara berfungsi di wilayah yang berbeda dan bahwa negara tidak berfungsi mengembangkan, meregulasi, mengarahkan atau mencampuri agama, Indonesia juga tidak memenuhi prinsip ini, karena sejak dulu hingga kini ada relasi interdependence antara negara dan agama. Negara mengembangkan agama - membangun tempat-tempat ibadah, sementara agama memberi, mendukung, dan membantu negara. Agama memberikan legitimasi pada negara dan sebaliknya (mutual legitimatization) . Dalam negara sekuler, tidak ada departemen agama dan semua agama tersubordinasi di bawah negara. Agama dan lembaga-lembaga agama bersifat otonom.. Di Indonesia, ada departemen agama yang mengatur administrasi agama (lihat, www.kompas.com).
Sebenarnya jika kelompok penyeru negara Islam memanfaatkan isu negara sekuler untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, hal itu terbukti kurang tepat. Seperti kita lihat, dari batasan-batasan negara sekuler yang disampaikan oleh Muhammad Ali di atas, bahwa Indonesia bukan termasuk negara sekuler. Meskipun hal tersebut cukup efektif pada negara-negara lain. Dalam pemetaan sosial, kelompki penyeru negara Islam ini dapat kita identifikasikan juga pada kelompok fundamentalisme Islam.
Choueiri (dalam Eatwell, 2004: 351), menyebut fundamentalisme Islam sebagai ideologi yang berusaha membangun kembali agama Islam sebagi sistem politik dalam dunia modern. Ideologi ini melakukannya dengan menginterpretasi unsur-unsur penting dalam Islam, atau menemukan kategori-kategori baru yang terbukti dengan sendirinya dan dengan konfigurasi yang khas. Dalam pandangan mereka, Islam adalah sistem yang organik utuh yang kelengkapan dan cakupannya menyaingi ideologi-ideologi dan sistem negara lain. Masih menurutnya (dalam Eatwell, 2004: 352), sebagai suatu gerakan politik dan sistem pemikiran, fundamentalisme Islam muncul sebagai tanggapan terhadap tantangan modern yang bersifat internal dan eksternal.
Jika benar bahwa Indonesia adalah bukan negara sekuler, maka sebenarnya secara konseptual ide tentang negara Islam tidak akan terlalu menemukan momentumnya. Ide itu hanya akan selalu melangit, dan timbul-tenggelam sebelum dan setelah pemilu. Yang jelas, konstelasi sosial-politik Indonesia sendiri secara faktual tidak membenarkan lahirnya sistem yang monoton, yakni Islam. Meskipun seringkali oleh para penyeru negara Islam, bahwa nasib pemeluk agama lain akan tetap dijaga oleh pemerintahan Islam. Tetapi, paling tidak kita bisa merefleksikan dari sejarah, bagaimana agama menjadi ternodai ketika politik menjamahnya.
Lalu apa yang akan kita pilih? Tentunya menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler sama tidak bijaknya dengan menjadikannya sebagai negara Islam. Sehingga pilihan yang memungkinkan adalah bagaimana meletakan konsepsi Islam yang kaya itu secara substansial. Seperti apa yang ditegaskan oleh Sahal Mahfudz (1994: 212), dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian, dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.
Masih menurutnya, nilai-nilai Islam sebagai sukber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor yang menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semunya bernafaskan nilai-nilai yang Islami. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Abdurrahman Wahid (1995: 585), bahwa ideologi Pancasila telah didudukan secara tepat oleh kaum muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam sebagai akidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya, dan tidak diperlakukan sebagai agama.
Masih menurutnya, dengan demikian secara teoritik, tidak akan mungkin diberlakukan undang-undang atau peraturan lainnya yang bertentangan dengan ajaran agama di negara ini. Akhirnya, secara keseluruhan, Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuknya; pertama, adalah sebagai akhlak masyarakat (etika sosial) warga masyarakat. Kedua, adalah partikel-partikel dirinya yang diundnagkan melalui proses konsensus (seperti UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama) dan semacamnya. Atau dalam istilah kekinian hal tersebut lebih dikenal dengan sebutan kompilasi hukum Islam.
Pancasila sebagai Civil ReligionSEPERTI kita lihat di atas, bahwa dengan Pancasila ternyata nilai-nilai ajaran Islam dapat juga dibumikan tanpa harus mengadakan konflik yang menjurus pada perpecahan. Pada titik ini, kita dapat melihat bahwa dengan sendirinya Pancasila telah mampu menggugat keberadaan ide negara Islam di negara ini. Bisa dikatakan pula, dengan adanya Pancasila, negara Islam menjadi ‘barang dagangan yang tidak lagi marketable’ untu dijual kepada umat Muslim.
Lalu, bagaimana formulasi Pancasila sehingga ia mampu mendamaikan konflik yang selalu timbu-tenggelam di tengah-tengah masyarakat kita? Adalah Robert N Bellah yang mengemukakan bahwa civil religion bisa menjadi model pengembangan masyarakat plural di masa depan. Kata religion di sini tidak menunjukkan pada pengertian agama sebagai sistem kepercayaan atau super-agama dari agama-agama yang ada di negara itu. Namun, menjadi indikator perekat perbedaan dan titik temu (common platform) multiagama. Tegasnya, konstruksi civil religion dapat menjadi paradigma dan acuan terciptanya tatanan masyarakat dunia yang beradab (Iskandar dalam, www.kompas.com).
Dalam sejarah Islam yang hakiki (baca: zaman nabi dan khulafat ur rosidin) konstruksi civil religion ini pernah diterapkan secara ideal dalam bingkai Piagam Madinah (Mitsaq al Madinah). Perjanjian Madinah yang menjadi landasan gerak seluruh masyarakat saat itu merumuskan prinsip-prinsip kesepakatan hidup bersama secara sosial-politik antara kaum Muslimin dan kelompok-kelompok lain. Perjanjian multiagama dan etnis yang diprakarsai Nabi itu mengandung dua prinsip yaitu kesetaraan (equality) dan keterbukaan atau inklusivitas (Arkoun dalam Madjid, 1995: 590). Penyebutan Piagam Madinah sebagai dasar negara karena tidak jauh bedanya dengan aktivitas dan kreativitas sosial-kemasyarakatan dalam struktur negara modern. Hal ini mengilhami apresiasi Bellah kepada keberhasilan pemerintahan Nabi Muhammad. Sejarah Islam masa Nabi dan khalifah yang empat, kata Bellah, merupakan model pertama sebuah negara nasional (nation state) yang demokratis karena berdiri di atas prinsip partisipasi, persamaan, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
Dalam ruang keindonesiaan, Pancasila bisa disebut sebagai civil religion. Sama halnya dengan kata religion pada usulan Bellah, sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menunjukkan pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa. Terbukti dengan dihapusnya tujuh kata "kontroversial" dalam Piagam Jakarta yang merupakan bahan mentah Pancasila (Iskandar dalam, www.kompas.com). Artinya, sejarah telah memperlihatkan kepada kita, bahwa ide tentang negara Islam dari awal terbentuknya negara ini adalah tidak tepat, penuh kontroversi dan konflik yang sensitif.
Proses diterimanya Pancasila sebagai falsafah negara oleh the founding fathers negara ini dapat menjadi titik picunya sebab melalui perdebatan panjang dan melelahkan antara kelompok nasionalis Muslim yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kubu nasionalis sekuler yang menolaknya. Kesepakatan itu menandakan Pancasila sebagai perangkum heteroginitas dan pesinergis kemajemukan sehingga multipluralisme yang ada menjadi khazanah dan kekayaan yang tak ternilai. Senada dengan hal di atas, Muhammad Ali (lihat, www.kompas.com), mencatat, bahwa dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Posisi Pancasila semacam ini mirip dengan civil religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui secara resmi. Selain itu, Pancasila juga mirip, meski tidak sama, dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) di masa Nabi Muhammad SAW, dalam pengertian memiliki butir-butir kesepakatan dari beragam unsur agama dan suku untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran bersama.
Dalam negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme, multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi, dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara (Ali dalam, www.kompas.com).
Clossing StattementPERBINCANGAN tentang negara Islam akan selalu menghangat ketika Jakarta Carter disinggung. Dan biasanya hal ini akan terjadi ketika pemili dilangsungkan. Pada titik ini saja, secara sepintas kita dapat melihat bahwa perincangan tentang Jakarta Carter hanyalah sebatas komoditi politik kelompok tertentu. Namun, terlepas dari komoditas politik, perbincangan tentang negara Islam menemukan momentumnya ketika Indonesia sudah sedemikian moderennya. Relevansinya dapat kita lihat ketika modernisasi selalu membawa dampak sekulerisme atau deskralisasi terhadap agama.
Pada atmosfir yang demikian, fundamentalisme Islam akan memetik hasilnya. Fundamentalisme Islam akan semakin tegas dan kuat posisinya dalam melawan sekulerisme yang akut. Namun, apakah tepat jika menggunakan isu sekulerisme negara untuk mewujudkan negara Islam. Hal ini seusai dengan uraian di atas ternyata tidak tepat sama sekali, karena negara kita bukan termasuk negara sekuler dan dengan adanya Pancasila, negara kita justru sudah mendekati cetak-biru negara Madinah ketika Nabi Muhammad memimpin.
Yang menjadi masalah ketika para penyeru negara Islam memaksakan klaimnya kepada kelompok yang lain, khususnya yang berbeda pandangan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena sebelum meninggalnya Nabi, beliau sama sekali tidak berpesan tentang bagaimana pilihan sistem pemerintahan dan sebagainya. Artinya pilihan sistem pemerintahan dalam masyarakat Islam termasuk masalah ijtihadiyyah yang boleh beragam hasilnya. Selain itu, hal ini tidak perlu terjadi ketika kita menginsyafi sabda Nabi tentang umur sistem khalifah hanya akan bertahan selama 30 tahun. Dan selebihnya adalah sistem politik dalam makna umumnya.[]
ReferensiEatwell, Roger dan Anthony Wright (ed.). 2004. Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS.
Khan, Qimarudin. 1971. Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah. Bandung: Penerbit Pustaka.
Mustaki (ed.). 2000. Kiai Menggugat; Mengadili Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur.
Rachman, Budhy Munawar (ed.). 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Ridwan, Nur Kholik. 2002. Islam Borjuis dan Islam Proletar; Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia. Yogyakarta: Galang Press.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.
Sumber lain:
Dudi Sabil Iskandar, ""Civil Religion", Piagam Madinah, dan Pancasila"
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0105/31/opini/civi04.htm
Muhamad Ali, "Indonesia Negara Sekuler?" dalam
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0208/02/opini/indo04.htm
Blogger Comment
Facebook Comment