"Mas … mampir moci dulu sini… !
Nanti sekalian ta’ temani ngobrol"
(Mbak ‘Poci’)
Moci di alun-alun itu …
Umumnya kita mengenal minuman teh poci di kedai-kedai, di pinggir jalan. Entah itu jalan besar (perkotaan) lebih-lebih jalan kecil (pedesaan). Sembari menyeruput teh poci, kita disuguhi berbagai macam jajan pasar; dari pisang goreng sampai roti sumbu atau singkong goreng. Bercanda atau sekedar mengobrol dengan teman akan mengisi waktu malam kita, dengan sedikit tiupan angin yang manambah pesona dunia semakin terasa. Suasana itu tidak akan ditemukan jika kita moci (minum teh poci) di alun-alun Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Moci, di alun-alun tidak akan menemukan bangku panjang atau lincak untuk duduk. Kita akan disuguhi banyak tenda kecil, memanjang di tepian trotoar alun-alun. Alih-alih kita temukan pisang goreng atau singkong goreng, kita akan menemukan perempuan-perempuan berpakaian press full body dengan dandanan mencolok yang akan membawakan, melayani dan menemani obrolan santai kita. Saya hanya menduga, mungkin hal ini sebagai salah satu taktik bisnis, untuk memikat pengunjung—terutama laki-laki—dengan, maaf, memajang perempuan-perempuan seksi bak sebuah pajangan di etalase pertokoan.
Bertambah menggigit ketika di tenda-tenda itu kita lihat spanduk minuman suplemen untuk laki-laki dewasa. Di antaranya kita juga akan melihat sekawanan mahasiswa yang membuka pos tentang penanggulangan AIDS. Semakin larut, semakin ramailah pengunjung. Parkir motor, mobil berjajar di pinggir jalan, mengitari alun-alun yang melingkar itu. Selang sebentar, salah satu perempuan akan pergi diajak seorang laki-laki berboncengan dengan motor. Angin yang dingin tidak membuat perempuan penjaga mengenakan jaket atau sweater-nya. Ia malah mengenakan pakaian yang serba mini, bahkan tank-top. Di sela-sela keramaian, kita akan mendengar tawa cekikikan si perempuan. Kadang kala juga terbahak-bahak. Sedangkan si lelaki dengan asap rokoknya sedikit mencolek tubuh seksi perempuan itu. Sesekali tenda dari terpal itu tertiup angin, dan suasana akan semakin menghangat, memanas.
Memang zaman sudah berubah, dan tradisi moci yang berangkat dari kota Tegal pun sudah banyak mengalami metamorfosis. Memang, banyak cara menarik pengunjung, salah satunya dengan menggunakan daya tarik perempuan dengan trik-triknya tersendiri. Entah itu ngobrol santai, colak-colek tubuh atau mengajak jalan ke suatu tempat. Dan bisa jadi, rasa teh adalah bukan lagi daya tarik yang menentukan bagi laku-tidaknya teh poci yang ditawarkan. Rasa teh mungkin menjadi nomor kesekian dari banyak cara untuk menarik pengunjung.
Alun-alun sebagai ruang publik
Alun-alun kota merupakan tempat yang penuh akan kesukacitaan, keriangan. Memang konsep awal dari adanya alun-alun kota adalah sebagai tempat rekreasi masyarakat sekitar. Selain itu alun-alun juga dapat digunakan sebagai tempat rendevouz atau tempat untuk pertemuan. Alun-alaun juga sebagai taman kota yang akan menambah estetis tata ruang perkotaan, biasanya juga banyak pohon rindang ditanam di pinggiran sebagai penyerap polusi udara. Tak ketinggalan, alun-alun juga berfungsi sebagai media ekspresi publik. Entah sekedar mejeng, tebar pesona atau orasi politik, aksi sosial. Yang jelas sekelumit fungsi alun-alun selain sebatas ajang rekreasi atau hiburan, ia adalah ruang publik. Artinya, sebuah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengembangkan, mengaktualisasikan dirinya. Entah itu dengan berjualan, bermain, sekedar melepas lelah dan mencari udara segar atau menyampaikan orasi politik kepada Pemerintah Daerah Kota Semarang.
Alun-alun boleh saja merupakan tempat yang selalu penuh dengan keramaian dan kegembiraan. Dan memang, salah satu indikasi berfungsinya alun-alun ketika masyarakat setempat memenuhi dengan berbagai jenis aktivitas. Tetapi, dalam keramaian itu, alun-alun tetap tidak boleh meninggalkan fungsi keberadaanya. Ia tidak boleh disalahgunakan, atau disimpangkan untuk melakukan aktivitas yang tidak semestinya. Memanfaatkan alun-alun sebagai ruang publik adalah hak setiap individu anggota masyarakat. Meskipun hak tersebut bukanlah hak yang tertulis dan tercatat sebagai kontrak antara Pemda dengan warganya.
Moci dan bias ekonomi-politik
Jujur saja, pertama kalinya menyaksikan moci yang berada di tenda-tenda kecil, di penuhi oleh laki-laki dewasa dan perempuan separuh baya, saya merasa risih. Risih karena pemandangan itu bukan saya lihat di dalam sebuah warung dengan cahaya yang temaram, tetapi di sebuah kawasan yang merupakan jantung atau pusat kota. Sebuah kawasan yang seperti tergambar di atas merupakan sebuah ruang publik. Ruang bagi semua warga masyarakat tanpa diskriminasi baik berdasar jenis kelamin, usia, atau agama, untuk melakukan aktivitas yang mendukung dirinya.
Tetapi lihat, sekarang alun-alun bak tempat lokalisasi. Di mana-mana kita temukan perempuan dengan pakaian dengan dandanan mencolok serta tingkah lakunya yang genit. Alun-alun bukan lagi tempat mejeng bagi remaja ABG tetapi tempat mejeng perempuan dan laki-laki dewasa. Jika perempuan dan laki-laki dewasa mejeng, tentunya tidak hanya sekedar mejeng. Tetapi ada sesuatu yang lebih jauh dari itu. Kencan, makan malam dan bisa jadi aktivitas seks. Saya sendiri tidak terlalu paham ketika pengunjung (laki-laki) datang dan minum teh, setelahnya mengajak pergi salah satu pelayan yang seksi itu. Hanya berfikir positif saja, mungkin sebatas jalan-jalan berkeliling kota. Tapi sepertinya tidak, masalahnya seringkali laki-laki yang datang juga bertingkah genit, tidak jarang berperawakan kebapak-bapakan, alih-alih om-om kesepian.
Memang di satu sisi dengan adanya tenda-tenda teh poci, ekonomi masyarakat dapat sedikit-banyak terbantu. Perempuan-perempuan muda dan mungkin lajang memiliki pendapatan sendiri. Yang akan membantu membiayai kehidupan keluarga, oarangtua bahkan adik-adiknya. Paling tidak, minimalnya ekonomi informal tumbuh secara dinamis dan menampakkan greget-nya.
Di sisi lain, pemanfaatan perempuan sebagai salah satu cara dalam menarik pengunjung sedikit akan mengurangi citra alun-alun sebagai ruang publik yang berkonotasi positif. Citra alun-alun, tentunya akan berimbas juga pada citra kota yang bersangkutan. Alun-alun kota tampak sebagai ruang ‘lokalisasi’ publik, bukan ruang publik itu sendiri. Di tingkatan estetis, tentu saja merusak pemandangan kota dengan berbagai kegenitan laki-laki dan perempuan yang masih beraktivitas hingga dini hari. Sedangkan di tingkatan etika, penodaan etika publik terjadi. Ia tidak mengindahkan fungsi semestinya ruang publik dan proporsionalitas keruangan. Coba banyangkan, bagaimana putra-putri Anda, yang masih belia ketika menyaksikan pemandangan itu? Apa reaksinya? Jika ia mengatakan hal itu sebagai kewajaran, maka ini adalah salah satu tanda dari permisifnya masyarakat kita. Nilai, norma, tata kesusilaan tak lagi berharga, tak lagi manjadi struktur yang mengarahkan tindak-tanduk kita.
Estetika kota menjadi tereduksi sekedar penghias di siang hari. Ketika malam menjemput, pemandangan berubah. Dari keramaian lalu-lalang orang bekerja, menjadi keramaian lalu-lalang laki-laki-perempuan berduaan entah hendak ke mana dan apa? Etika kota menjadi tergugat dan tidak lagi mapan. Nilai, norma, tata kesusilaan hanya sebatas pelengkap ketika kita pergi ke rumah calon mertua, wali kota, gubernur. Sedangkan di ruang publik di mana berbagai usia, latar belakang keyakinan-kepercayaan, pendidikan, bertemu menyaksikan pemandangan menggairahkan itu.
Lantas kita menanya, di mana kewenangan Pemda Kota Semarang dalam mengatur aktivitas warganya yang ‘ugal-ugalan’ di ruang publik itu? Apakah Pemda dengan Linmas serta Trantibnya tidak mengetahui aktivitas malam apa yang terjadi di alun-alun kota? Atau jangan-jangan Pemda tahu, karena banyak memiliki telinga, tetapi pura-pura tidak tahu karena secara tidak langsung memberi masukan bagi pendapatan daerah. Skeptisisme semacam ini menurut saya pantas diajukan, karena jelas-jelas alun-alun adalah kawasan yang strategis dan mudah untuk mengaksesnya. Atau jangan-jangan juga Pemda pura-pura tidak tahu bahkan ‘memberdayakannya?’
Jika demikian, saya rasa terlalu gegabah dan dangkal. Bukan hanya persoalan estetis atau etika saja yang terlanggar. Tetapi ada persoalan yang lebih serius sekedar itu. Adanya tenda-tenda usaha yang dipenuhi dengan perempuan muda mengundang tindak premanisme. Entah dengan alasan uang keamanan atau sekedar meminta uang rokok. Selain itu, kerawanan sosial akan semakin meningkat. Bukan hanya pada perempuan yang dimaksud, bisa saja perempuan yang hanya melintas atau sekedar ingin tahu Simpang Lima menjadi obyek pelecehan seksual. Dan terakhir, yang paling ironis adalah kita disuguhi dengan tindak kekerasan perempuan di ruang publik setiap malam dan tidak ada satu pun pihak yang iba. Jangan-jangan kekerasan perempuan sudah sedemikian biasanya di masyarakat kita dan menjadi tidak terasakan lagi?
Semacam penutupSebagai bentuk bias politik, Pemda kurang apresiatif dan tanggap atas dis-fungsi ruang publik tadi. Paling tidak dengan berbagai ekses negatif di balik moci di alun-alun Semarang, Pemda mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak, tidak hanya pada sektor ekonomi masyarakat, tetapi juga pada penghargaan perempuan serta keteladanan bagi generasi muda Semarang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.
Tercorengnya citra alun-alun kota sekali lagi akan berdampak pada kota itu sendiri. Apalagi jika kita ingat bahwa Semarang adalah Ibu Kota Propinsi, yang artinya sebagai tolak ukur bagi kota-kota lain di Jawa Tengah. Semoga hanya saya saja yang kebetulan singgah semalam di Semarang, berjalan sembari mencari pengganjal perut dan berfikir tentang dis-fungsi ruang publik itu! Semoga[]
Blogger Comment
Facebook Comment