Dua Skenario Pengamanan Kunjungan Bush

Oleh: Firdaus Putra A.

Kunjungan presiden Amerika Serikat, George W. Bush yang direncanakan pada tanggal 20 November mendatang, disambut oleh sebagian masyarakat di tanah air dengan nada minor. Tak ayal, tragedi percobaan bom bunuh diri pun sempat mewarnai, tepatnya pada tangal 11 November di A&W, restoran siap saji waralaba milik Amerika di bilangan Mal Kramatjati Indah Jakarta. Untungnya percobaan bom bunuh diri itu sedikit gagal, dan kerugian material, lebih-lebih immaterial (citra buruk) tidak sempat menghantui pemerintah Indonesia. Selain itu, gelombang penolakan juga datang dari elemen mahasiswa, baik di wilayah Jawa Barat khususnya atau Jawa pada umumnya, dan tidak ketinggalan mahasiswa luar Jawa lainnya. Berbeda dengan yang pertama, cara-cara yang dipakai elemen mahasiswa masih tergolong lazim dan sesuai dengan prosedur demokrasi.

Lebih jauh, beberapa organisasi sosial-keagamaan juga melakukan penolakan terhadap kedatangan orang nomor satu Amerika Serikat tersebut. Mereka tidak hanya menolak kunjungan Bush, tetapi juga mengkritik sikap pemerintah yang dipandang berlebihan dalam mempersiapkan ubo rampe guna menyambut kedatangannya. Beberapa hal yang dinilai berlebihan seperti, penon-aktifan semua jaringan telepon seluler di wilayah Bogor selama kunjungan (minimalnya 10 jam), peliburan sekolah di wilayah Bogor dan persiapan-persiapan lainnya yang over protection. Selain suara dari mereka, pengamanan yang berlebihan juga dinilai kurang pantas oleh sebagian pejabat pemerintah, baik dari elit yang berada di Jakarta (anggota DPR RI) atau pejabat yang berada di daerah. Yang jelas, nampaknya pengamanan yang serba over itu dinilai dengan nada minor oleh semua lapisan masyarakat.

Skenario PertamaMenurut hemat saya, sedikitnya ada dua sekenario yang memungkinkan pengamanan di seputar kunjungan Bush sedemikian ketat. Pertama, hal tersebut merupakan permintaan langsung dari Gedung Putih. Bila mana hal ini benar, maka Gedung Putih atau Bush sendiri sejatinya sedang mengalami kompleks inferioritas. Sebuah perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap aksi-aksi teror yang berada di luar negaranya (di luar kontrolnya). Hal ini sebenarnya bersifat konsekuensial sebagai bentuk reaksi terhadap politik luar negeri Gedung Putih yang seringkali intervensif, ekspansif dan terakhir invansif.

Tidak bisa dilupakan dalam ingatan, invansi militer Amerika terhadap Irak beberapa tahun yang lalu mengendap dalam kesadaran publik, di mana Amerika lebih nampak menjalankan logika terrorcracy—ketika negara menjalankan kekuasaannya disertai dengan aksi-aksi teror—daripada kampium demokrasi yang turut menjaga perdamaian dunia. Endapan kesadaran ini makin dipertajam dengan kasus Israel-Palestina di mana publik juga menilai posisi Amerika yang berat sebelah.

Sedangkan dampak dari sekenario di atas bagi Indonesia, bahwa sebenarnya saat ini, meminjam istilah Daniel Dhakidae [1997], sedang terjadi apa yang dinamakan perpetuation of the sense of insecurity, yakni memupuk secara terus-menerus rasa ketidakamanan. Dengan pendekatan yang demikian, sebenarnya citra Indonesia menjadi semakin kental sebagai negara yang tingkat keamanannya rendah. Akhirnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemulihan keamanan, jauh-jauh hari sebelum kunjungan itu dijadwalkan sedikit dipertanyakan tentang laik-tidaknya (seperti kebijakan registrasi kartu pra-bayar melalui Kepmen No. 23/ tahun 2005 sebagai reaksi terhadap maraknya aksi teror melalui telepon seluler).

Skenario Kedua
Kedua, bilamana pengamanan kunjungan yang dinilai berlebihan ini merupakan inisiatif pemerintah Indonesia, maka menurut hemat saya hal tersebut akan cenderung kontra-produktif terhadap politik dalam negeri Indonesia. Kita harus ingat secara ideologis-politis, sebagian besar masyarakat kita berseberangan dengan Amerika Serikat. Minimalnya, dapat kita lihat sedikit opini dari publik yang menilai dengan nada positif tentang kunjungan Presiden Bush itu, yang ada justru sebaliknya. Kondisi yang demikian akan memposisikan pemerintah bersebarangan dengan kemauan publik yang merupakan aspirasi grass root.

Posisi berseberangan ini diperkuat dengan beberapa cara pengamanan yang tidak hanya berlebihan tetapi sedikit-banyak merugikan publik. Seperti instruksi peliburan sekolah khususnya di wilayah Bogor, jelas cara seperti ini kurang populer, karena kurang memperhatikan agenda masyarakat tentang pendidikan bagi putra-putrinya.

Selain itu, posisi berseberangan akan semakin tajam dengan penon-aktifan sementara waktu jaringan telepon selular di wilayah Bogor. Bagi pelaku ekonomi, baik pelaku ekonomi kecil lebih-lebih besar, instruksi ini tentu saja merugikan kegiatan ekonomi, di mana komunikasi adalah salah satu elan vital kegiatan perekonomian. Belum lagi, terhambatnya saluran komunikasi massal untuk beberapa jam itu akan berdampak pada tergencetnya dinamisasi kegiatan sosial-politik masyarakat Bogor pada khususnya.

Posisi berseberangan ini pada gilirannya akan menguatkan citra pemerintah Indonesia yang selalu tunduk pada kedigdayaan Gedung Putih. Publik pasti akan membaca perbedaan perlakuan penyambutan kunjungan presiden satu dengan presiden negara lainnya. Dan tercatat, keamanan yang paling over jatuh pada kunjungan Presiden Bush, presiden Amerika. Perbedaan perlakuan penyambutan ini tentu saja akan dibaca secara kritis oleh publik.

Belajar dari SejarahSeharusnya kita kembali kepada adagium lama yang mungkin usang, "Sikap berlebih-lebihan dalam hal apapun cenderung akan buruk dampaknya". Tercatat (Kedaulatan Rakyat, 13/11/2006), di saat Bill Clinton berkunjung ke Cina selama sembilan hari pertengahan tahun 1998, tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Cina sebelumnya, selain membawa 60 ton peralatan komunikasi, 10 limousin tahan peluru, rombongan pendahulu presiden juga membawa ribuan galon air untuk keperluan mandi Presiden dan Ibu Negara. Hal tersebut dilakukan dengan alasan tidak bersedia mengambil resiko akan kemungkinan adanya orang jahat yang mengucurkan bahan kimia ke kran bak mandi presiden. Tentu saja, persiapan yang over ini sempat menyinggung perasaan dan kehormatan tuan rumah, yakni pemerintah Cina.

Jika kita mau sedikit menilik sejarah, seharusnya sikap over di seputar pengamanan kunjungan Bush ke Indonesia juga tidak perlu terjadi. Over protection meskipun nantinya benar-benar menjamin keamanan Sang Presiden, juga akan melahirkan kesan yang lain, yakni citra negara tuan rumah yang nampak kurang persiapan, khususnya pada bidang keamanan.

Terlepas dari itu, kita semua berharap agar selama Bush berkunjung ke Indonesia atmosfir dalam negeri tetap terjaga dan terkendali. Saya yakin semua sepakat bahwa aksi teror dari siapa dan dengan maksud apa pun, hanya akan memperburuk citra Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Lebih-lebih bila aksi teror tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kunjungan kepresidenan.

Terakhir, ke depan, semoga pemerintah dapat bersikap proporsional dalam kebijakan politiknya. Tentunya tidak hanya berfikir tentang suksesnya politik luar negeri, karena tanpa kesuksesan politik dalam negeri, pemerintahan pun akan goyah dan ditinggalkan publik. Dan tidak kalah pentingnya, semoga masyarakat makin cerdas memilih dan memanfaatkan media untuk menyatakan sikapnya dalam bingkai sistem demokrasi modern. Semoga.[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment