Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi


Oleh: Firdaus Putra A.



Jika pers nasional hendak diposisikan sebagai agent of reform (karena sebagian besar media massa nasional selalu menyuarakan gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa) maka lembaga masyarakat ini pantas pula memiliki kedudukan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate). Artinya, kedudukan pers sejajar dengan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
[A. Muis, 2000: 56]

Pendahuluan
PERNYATAAN Muis di atas dapat kita artikan sebagai pentingnya kedudukan pers dalam sebuah negara. Meskipun urgensi pers ini pada kenyataannya tidak sampai yang seperti apa Muis kehendaki. Tapi, yang jelas dalam negara yang mengusung demokrasi sebagai panglima pemerintahan, pers harus tetap ada meskipun peran-perannya untuk eberapa saat dikebiri.

Urgensi pers pada titik ini justru terlihat, bagaimana sebuah pemerintahan mengebiri fungsi pers atas nama keamanan atau alasan lainnya. Artinya, secara potensial pers memiliki posisi tawar yang tidak sedikit. Hal tersebut juga dipertegas dengan konsepsi Riswandha (1998: 101), bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelktual atau pers. Kelompok inilah yang memainkan peran sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.

Di Indonesia sendiri, melihat urgensi pers kita bisa mengambil dua rentang waktu yang sama sekali berbeda. Orde Baru seperti kita ketahui adalah sebuah rezim yang otoriter yang sempat memberangus kebebasan pers atas nama keamanan dan ketertiban masyarakat. Sedang rentang waktu terkhir digambarkan sebagai masa ketika kran-kran kebebasan terbuka. Terbukanya kran kebebasan ini ada juga yang melihatnya sebagai keterbukaan yang kebablasan.

Yang jelas dengan mengambil dua skuel waktu itu kita akan dapat membedakan bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh masing-masing rezim. Karena stiap rezim pati memiliki sebuah gaya kepemimpinan untuk mensukseskan jalannya pemerintahan; otoriter, demokratis atau bahkan laizes feire.

Pers yang Mandul pada Orde BaruDI MASA Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah air.

Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo, Eitor dan DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.

Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya.

Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.

Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abar berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembaga pers.

Jika kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus menengok bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan a la militer. Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Pada titik inilah Abdul Gafur (1988: 179), melihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.

Sayangnya, model kepemimpinan a la militer itu tetap Soeharto pakai hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya. Model kepemimpinan ini banyak sekali mendapat kritikan dari berbagai pihak, karena secara esensial apa yang diklaim Soeharto dengan demokrasi Pancasilanya tak lain adalah proyek hegemoni dan dominasi besar-besaran atas kesadaran masyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu, Soeharto menggunakan militer sebagai alat yang efektif untuk mengawal setiap kebijakan yang ia keluarkan.

Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan Soeharto akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.

Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa ketidakamanan. Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama. Dakhidae (1997: 28), mencatat bahwa kemanan yang dihubungkan dengan pers itu bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi kemanan di sana sudah menjadi suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi suatu ideologisasi keamanan, dan bahkan lebih jauh menjadi suatu religiofication of security.

Keamanan menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan warga negaranya.
Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena pers harus bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk tautologi represif. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab (dalam Dakhidae, 1997: 31).

Masalah Pers di Seputar Orde ReformasiTERTUTUPNYA kran kebebasan pers ternyata pada gilirannya turut mendorong insan-insan jurnalis untuk meneriakan reformasi. Lebih-kurang 30 tahun lamanya masyarakat kita berada di bawah rezim yang otoriter, memberangus kebebasan dan meniadakan penghormatan kepada hak-hak azasi manusia. Pemrintah beranggapan bahwa rakyatlah yang harus menurut, bahwa pemerintahlah yang benar dan harus diturut. Dan mereka yang mencoba-coba memberikan kritiknya pada kekuasaan, yang mencoba memberikan alternatif yang lebih baik kepada kekuasaan akan dianggap ‘menyerang kehormatan’ kekuasaan, ‘merongrong kewibawaan’ kekuasaan dan sebab itu harus dimusuhi, mereka ditindas, ditangkap, diajukan ke pengadilan, dihukum penjara, disiksa atau ditembak sebagi ‘pengacau keamanan’ negara dan ‘pengganggu stabilitas’ nasional (dalam Pamungkas, 2003: 24).

Keotoriteran Orde Baru akhirnya disambut oleh masyarakat dengan teriakan reformasi. Perubahan pemerintahan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Pada titik inilah, pers kembali memainkan perannya setelah lama dibungkam, dipaksa untuk tutup mulut. Selanjutnya, pers tampil dengan wajah baru; demokratis, akomodatif, transformatif, sekaligus konsolidatif terhadap semua kepentingan kemanusiaan dalam dimensi kewarganegaraannya. I’tikad baik pemerintah di masa Orde Reformasi ini terlihat dari lahirnya UU No. 40 Tahun 1999, UU ini juga sekligus mencabut UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dijadikan legitimasi hukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya.

Masalah baru muncul ketika kebebasan pers dikhawatirkan kebablasan. Hal ini terlihat dari pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakt dan kepentingan pers (tingkat oplah). Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang kurang obyektif, sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kekhawatiran masyarakt terhadap kebebasan pers, juga muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).

Emilianus (2005: 134), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal), yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang hanya sensional dan komersil belaka dalam menyajikan informasi.

Peran pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya hal yang wajar jika masyarakat gagap hendak menggunakan model komunikasi semacam apa ketika reformasi telah membuka kran kebebasan sebebas mungkin, pasalnya masyarakt sudah terbiasa dengan pola komunikasi top-down selama 30 tahun lamanya. Di sinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik yang terjadi tidak melulu berkesan top-down, tetapi pada titik tertentu menjadi bottom-up. Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi politik bottom-up melalui media massa tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi, setiap komunikator politik memainkan perannya lebih maksimal. Muis (2000: 166), mencatat bahwa hampir semua opini publik yang bernuansa kritik sosial yang konstruktif melalui pers hampir selalu memperoleh bantahan dari para komunikator elit, yang ada justru pers menjadi media yang memungkinkan terjadinya krisis informasi.

Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129), mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.

Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dan kurang optimal karena atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akan posisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-masyarakat-modal. Di masa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.

Penutup
DI MASA Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan kebebasan yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter. Tetapi, nasibnya juga belum kunjung baik ketika Orde Reformasi. Pada masa ini, nasib pers justru melampui yang seharusnya, untuk itu ia harus berhadap-hadapan dengan pemerintah, lebih-lebih masyarakat.

Maka untuk mengamankan relasional pers-pemerintah-masyarakat-modal, haruslah ada cyrcle of control; dari masyarakat kepada pers, pers kepada pemerintah dan modal. Pada titik inilah, komunikasi dua arah dengan sendirinya akan terbangun. Kontrol melingkar ini tentu saja mensyarakat kesadaran politik masyarakat yang tinggi. Kesadaran politik ini bisa sedikit-banyak berkembang dengan mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan pembangunan ekonomi seperti pola yang digunakan oleh Orde Baru masa 70-80an. Jika hal ini lahir, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan keotoriteran seperti Orde Baru atau kebebasan yang kebablasan di Orde Reformasi, akan terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini. Semoga![]

ReferensiAbar, Ahmad Zaini. 1994. "Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers". Prisma. Jakarta: LP3ES.
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara; Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan Kebebasan. Jakarta: PBHI.
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Bulkin, Farchan (Peng). 1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia; Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2003. Setelah hari "H". Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Simanjutak, Togi (ed.). 1998. Wartawan Terpasung; Intervensi Negara di Tubuh PWI. Jakarta: ISAI.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment