Semacam Imaji
Oleh: Firdaus Putra Aditama
Seperti biasa, sehabis bercumbu rayu, di antara kenikmatan-kenikmatan ragawi yang mengalir deras pada lidah, bibir, mulut, telinga, dagu, leher, payudara, perut, selangkangan dan seterusnya, tubuh kita bergetar ketika sampai pada orgasme ragawi. Entah itu sebatas cumbu rayu, atau lebih dari itu. Yang jelas sebatas atau lebih tadi adalah masalah pilihan. Pilihan ketika hasrat biologis kita menginginkan semacam sublimasi. Apakah akal kita masih cukup mendapat asupan gizi dari nurani ketika cumbu rayu itu terjadi. Atau pilihan akan gugur menjadi sebatas logika yang mengalir, ketika akal sehat kita beristirahat dan melakukan interupsi, "Tuan, aku juga ingin menikmati energi sensasional ini. Biarkan aku beristirahat, dan Tuan akan menikmatinya, selaras dengan itu, aku juga akan kecipratan bagian yang nikmat itu. Sekali lagi biarkan aku beristirahat sebentar, aku sudah lelah ketika harus bekerja di dunia ide, yang menghasilkan imajinasi, dan di dunia riil, mengontrol tindak-tanduk Tuan".
Proses pertautan ragawi yang cukup lekat, antara satu laki-laki dengan satu perempuan, menghasilkan, sebentuk energi kenyamanan temporer. Kenikmatan paripurna terasa ketika tubuh kita menyentak dan berakhir pada orgasme. Peregangan otot di sekujur tubuh menandai relaksasinya tubuh kita. Dan saat itulah, kita merasakan untuk sementara waktu tentang ‘terbang ke awan’ itu. Tubuh kita terasa ringan. Keringat menetes seperti dosa yang luntur karena siraman air suci. Sedangkan paska itu, akal akan bangun dari istirahatnya. Dan harus kembali bekerja, setelah ini, Tuannya harus berbuat apa.
Dalam tempo beberapa menit kita akan terdiam. Sembari memandang kita berbisik pada pasangan masing-masing; tentang cinta, tentang komitmen, tentang kepuasan, tentang satu ronde lagi. Atau jika tak sempat berkata-kata, kita akan tidur dalam pelukan masing-masing. Dalam kehangatan tubuh pasangan kita. Kehangatan tubuh yang memancarkan energi kasihnya, cintanya, seksualnya. Sampai akhirnya kita tertidur, bersama dan berdua.
Ketika bangun, kita akan menyaksikan tubuh pasagan kita menggelayut erat. Nafasnya teratur, tidak seperti beberapa jam sebelumnya, memburu dan panas, saat ini, nafas itu, adalah nafas kepolosan. Kepolosan akan ketelanjangan, ketika ia tidur, dan ketika ia telanjang. Benar-benar polos. Ketakhati-hatian kita, menyebabkannya terjaga dari mimpinya. Matanya terbuka, tangannya meraba ke kanan-ke kiri, mencari sesuatu. Dan kita akan minta maaf, sembari membelai, mengecup keningnya, dan berbisik, "Kalau masih lelah, tidur saja". Dan ia pun lantas melanjutkan tidurnya.
Namun, dalam kesendirian, hanya ditemani rangkulan tangan pasangan, kita akan berfikir, merasakan dan memawaskan diri. Kepada nurani kita akan bertanya, "Kenapa kejadian seperti ini terulang lagi?". Nurani dengan bijaknya menjawab, "Coba tanyakan pada kemaluan itu, apakah dia selalu seperti ini. Tidak pernah merasa puas dan selalu meminta lebih, lebih dan lebih". Sedangkan di balik serpihan tubuh yang lain, insting dasar menimpali, "Tenang saja, itu hal yang lumrah, manusiawi dan tidak perlu dirisaukan. Jika tidak dilepaskan, energi itu akan menyumbat pipa-pipa asa Tuan. Bukankah Tuan menghendaki hal ini dari pasangan Tuan, dan sebaliknya. Pasangan Tuan juga akan berfikir sama". Nurani geram, "Diam kau insting dasar, kau memang selalu mengajak pada pemuasan, pemuasan apa pun itu". "Hei, siapa kau? Berani menyuruhku diam. Apakah kau Tuhan yang selalu berada di menara kesucian? Bukankah beberapa jam yang lalu, kau tunduk padaku, diam dan gagu!". "Insting, aku diam dan sempat tertunduk karena aku ingin memberi pelajaran riil pada Tuan kita. Bagaimana setelah ia meneguk kenikmatan ragawi, apakah ia akan terpuaskan?!". Akal yang sedari tadi diam menyaksikan debat antara nurani dengan isnting dasar, kini ikut bicara. "Aku hanya ingin menengah-nengahi kalian. Kalian semuanya benar. Tidak ada yang salah. Nurani, memang kau diadakan untuk menjadi sosok yang bijak lagi arif. Dan kau insting, tidak ada yang salah padamu. Kau telah bekerja sesuai dengan amanat yang kau emban. Aku ingin mengutip perkataanmu, memang benar hasrat harus disalurkan, tapi benar juga apa kata nurani. Apakah harus selalu dislaurkan, ketika setiap penyaluran mensyaratkan penyaluran, penyaluran lainnya. Aku berharap semoga debat ini menjadi masukan bagi Tuan kita. Biarkan ia yang memilihnya. Semunya telah kita singkapkan. Apakah ia akan sepakat dengan nurani, atau lebih bersepakat dengan engkau, insting".
Sembari menarik nafas panjang,, kita dibuat bingung oleh debat para praktisi tadi. Memang pilihan sadar ada di tangan kita. Tapi, dengan memberikan tanggungjawab atas pilihan itu, tambah membuat kita bingung. Memilih antara yang baik dan yang baik.
Untuk kali keduanya pasangan kita terjaga. Ia pun bertanya tentang masalah apa yang menjadikan kita tetap terjaga. Padahal, keadaan fisik kita begitu kepayahan. Ia pun bertutur, "Kenapa belum tidur, apakah ada yang perlu kita diskusikan?". Sembari melepas nafas panjang, kita pun menjawab, "Ya, tapi biarlah kita dikusikan besok hari saja. Ayo kita kembali tidur". Selimut pun kita tarik. Tubuh polos itu kita peluk, dan tidurlah kita.[]
Blogger Comment
Facebook Comment