Kehancuran Kapitalisme: Ramalan yang Gagal


Oleh: Firdaus Putra A.

Dalam merumuskan persoalan-persoalan kritis sejarah adalah salah jika kita memahami diskusi ilmiah bukan sebagai suatu proses peradilan di mana terdapat terdakwa dan penuntut umum yang tugasnya adalah membuktikan bahwa terdakwa tersebut bersalah dan harus dihukum. Dalam diskusi ilmiah…orang yang paling ‘istimewa’ adalah orang yang menerima sudut pandang lawannya dan memasukan ke dalam bangunan pemikirannya. Memahami dan menilai pendapat lawan secara realistik…berarti menerima sudut pandang ‘kritis’ yang untuk tujuan ilmiah merupakan satu-satunya hal penting (Quardeni: 343-344).


Ramalan itu …
Dalam pergulatan pemikiran Marxisme sudah sering kita dengar bagaimana dahulu kala Karl Marx memprediksikan bahwa sistem kapitalisme akan hancur dengan sendirinya. Kapitalisme akan hancur karena penghisapan yang dilakukan atas kaum proletar. Prediksi ini bukan semata-mata prediksi atau ramalan yang tanpa dasar. Pencetusnya, menggambarkan bahwa dengan karakter kapitalisme yang menghisap kaum proletar, sedang pada sisi lain memperkaya kaum borjuis, akan dengan sendirinya menggali liang kubur bagi dirinya sendiri. Tentu saja hal ini rasional dan logis, mengingat penghisapan yang ada melahirkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin (atau antara borjuis dan proletar) semakin jauh.

Kesenjangan yang dihasilkan dari penghisapan, eksploitasi, ‘pencurian’ nilai lebih kerja buruh, dan seterusnya akan melahirkan benturan atau konflik antara pemilik modal, pemilik perusahaan dengan si papa yang tidak memiliki alat-alat produksi, si buruh yang gajinya tidak pernah mencukupi untuk sekedar membeli makan anak, istrinya. Atau dalam bahasa lain Roger Simon membaca bahwa kapitalisme dipandang sebagai perkembangan krisis dan kehacuran ekonomi karena pertentangan antara berbagai kekuatan dan berbagai hubungan produksi menjadi semakin besar . Pertentangan antara kaum borjuis dan kaum proletar inilah yang akan melahirkan bentuk kesadaran alih-alih proses penyadaran bagi kaum proletar untuk membebaskan diri dari belenggu sistem yang a-manusiawi.

Proses menjadi sadar inilah yang akan diiringi proses pembebasan diri dari sistem yang telah lama mengukungnya. Praksisnya, menurut Marx, kaum proletar akan mengadakan revolusi sosial untuk mengambil kembali hak-haknya yang selama ini mereka rampas darinya. Hak-hak inilah yang dalam perkembangan kontemporer menjadi beraneka macam; kenaikan gaji, kesejahteraan buruh, kesehatan, jaminan sosial, dana pensiun, jam kerja yang manusiawi dan seperangkat tunjangan sosial lainnya.

Artinya, dengan semakin banyaknya hak-hak kaum buruh (baca: buruh, pekerja, karyawan atau istilah lain yang sebanding), seharusnya konflik antara pemilik modal, pemilik perusahaan dengan buruh semakin nyata. Konflik perjuangan hak-hak dasar pekerja ini seharusnya menjadi penyulut layaknya bara dalam sekam. Namun kenyataanya, konflik yang semakin meruncing—dengan semakin banyaknya hak yang buruh tuntut—tidak kunjung melahirkan apa yang diprediksikan Marx beberapa abad yang lalu.

Jangan-jangan Marx tidak melihat kemungkinan kondisi yang berbeda ini. Bahwa konflik yang berangkat dari pemilikan faktor produksi, yang berakhir pada kelas satu menguasai kelas lain (kaum borjuis menguasai kaum proletar), tidak serta merta (atau dengan tegasnya Marx menggariskan sebagai keniscayaan sejarah manusia) melahirkan apa yang disebut ‘revolusi kaum pekerja’.

Berangkat pada titik ini, pantaslah kebenaran ramalan Marx tentang akhir hayat kapitalisme yang akan tumbang dengan sendirinya melalui ‘revolusi kaum pekerja’ kita telaah ulang. Hal ini tentunya bukan dalam rangka mengadili pemikiran Marx, menyalahkan dan seterusnya. Namun apa yang Gramsci sampaikan sebuah usaha untuk melakukan pengembangan lebih lanjut dengan mengintrodusir analisis kritis tersebut dalam kerangka pemikran kita. Tepatnya dalam konteks ini, bagaimana prediksi ilmiah tersebut dapat keluar dari ‘garis yang telah Marx tetapkan’?

Gramsci sang revisionisAntonio Gramsci, seorang pemikir kelahiran Sardinia – Italia di tengah-tengah kungkungan kemiskinan hidup. Ia dilahirkan sebagai tokoh besar yang dengan konsep besarnya kita mengetahui celah dari pemikiran Marx. Benar memang dengan pergulatan historisnya, sebagai aktifis partai, terpidana yang mendekam dalam penjara, dan berbagai macam kenyataan sejarah yang tidak menyenangkan, yang akhirnya ‘membaiatnya’ sebagai revisionis Marxisme. Melalui pergulatan dengan realitas konkret di masanya, Italia dibawah kibaran fasisme Musollini ia melahirkan karya monumentalnya; The Prison Notebooks atau Quaderni. Melalui ‘buku babon’ inilah pemikir-pemikir selanjutnya mencoba merangkai pemikiran besar Gramsci tentang hegemoni yang tersebar dan terkesan fragmentaris di banyak tulisannya.

Revisi atas pemikiran Marx nyata pada konsep hegemoni yang ia kembangkan. Bahwa prediksi Marx tentang hancurnya kapitalisme dengan sendirinya, yang tidak terbukti hingga sekarang mampu dijelaskan dengan baik oleh Gramsci melalui hegemoni-nya. Sehingga konsep hegemoni merupakan konsep besar dari tokoh besar ini, meskipun sebenarnya ia banyak melahirkan banyak gagasan berikut istilahnya.

Gramsci mengemukakan bahwa ada semacam tendensi berkembangnya intervensi negera dalam masyarakat sipil dalam ruang lingkup budaya dan pendidikan. Serta dengan serta merta pemerintah sering memobilisasikan dukungan-dukungan massa dan sarana-sarana ideologi lainnya. Kerja-kerja pemerintah seperti inilah yang mengakibatkan kapitalisme tidak kunjung menutup buku dan tergantikan oleh sistem lainnya (sosialisme dalam pandangan Marx, atau sistem lainnya).

Melalui proses intervensi itulah kapitalisme mampu memapankan ideologinya dan meninabobokan para buruh agar tidak lagi berteriak tentang sakitnya menahan lapar, sulitnya membeli susu untuk si bayi, mahalnya pengobatan yang nampak sebagai kewajaran, puncaknya buruh atau masyarakat sipil tidak akan merasakan kondisi menindas sebagai betuk penindasan. Ironi imi terjadi karena daya kritis mereka telah dikebiri oleh pemerintah dengan media-media yang ada di masyarakat; lembaga-lembaga masyarakat, sekolah, keluarga dan sebagainya.

Hegemoni; sebuah pendekatan lainHegemoni Gramsci munculkan sebagai jembatan yang menghubungkan antara ketakmampuan prediksi Marx dengan pergulatan historis yang terus menampakan kapitalisme sebagai sosok yang bersahabat. Hegemoni a la Gramsci mampu mengungkap bagaimana kapitalisme yang nampak bersahabat ini dalam kerangka besar sosial, budaya serta melalui ideologi-ideologi yang negara kembangkan.

Gramsci memandang hegemoni sebagai bentuk kekuasaan yang merupakan ‘kontrol moral’ dalam setiap masyarakat setelah zaman feodal. Lebih terang, Gramsci berpendapat bahwa supremasi kelompok atau kelas sosial tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau penindasan (coercion) dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan yang terakhir inilah yang merupakan hegemoni. Kepemimpinan intelektual dan moral inilah yang melahirkan perjanjian sukarela (consenso), bahwa seharusnya masyarakat sipil ‘tidak memusuhi kapitalisme’. Dan ironisnya kapitalisme ditampilkan sebagai sosok yang bersahabat (dalam bahasa lain Gramsci menyebutnya sebagai; integrasi budaya) dengan masyarakat sipil, tanpanya masyarakat tidak akan eksis.

Akhirnya tuntutan-tuntutan buruh atas hak-hak dasar mereka yang dirampas oleh kapitalis dapat dinetralisir. Ia menekankan bahwa pertentangan kelas itu secara efektif dinetralisirkan dalam masyarakat kapitalis lanjut. Sebab dengan pengawasan yang ketat kaum borjuis, pertentangan itu melemah dan menjadi keinginan akan haji atau upah yang lebih baik. Pertentangan tinggalah ilusi. Ini yang menurut Grasmci merupakan ‘konsensus’ terselubung dan hanya memperkuat hegemoni borjuis dengan mengaburkan sifat-sifat yang sesungguhnya.

Dalam konteks makro (negara), hegemoni pemerintah kepada rakyatnya nampak pada intervensi pandangan pemerintah agar rakyat mengetahui apa yang pantas dilakukan, dan apa yang tidak. Rakyat pun dengan sendirinya menjadi semacam terdikotomi dalam kerangka besar kepentingan pemerintah.

Memang proses hegemoni selalu dilaksanakan serapi, sehalus, selembut mungkin. Sehingga obyek hegemoni menerima kesadaran impornya seakan-akan sebuah kesadaran obyektif. Obyektifitas kesadaran akan keadaan, di mana keadaan itu ada tanpa ada yang mengintervensi, mengganggu bahkan mengarahkannya. Dalam konteks keindonesiaan, proses hegemoni yang dilakukan pemerintah dapat terlihat bagaimana rezim despotik Soeharto menjejalkan P4 kepada masyarakat secara menyeluruh.

Lebih jauh, dalam tulisan-tulisannya Gramsci lebih menitikberatkan kepada aspek budaya, intelektualitas, seni dalam relasinya dengan politik-kekuasaan. Berbeda dengan Marx tentunya yang lebih mendekati fenomena dalam kacamata ekonomistik (determinisme ekonomi). Tidak heran manakala ia menyatakan bahwa, budaya, pendidikan, seni adalah lebih merupakan pencerminan ideologi rezim yang tengah berkuasa. Bahwa seni tidaklah senetral seperti yang kita bayangkan. Dengan pendekatan seperti ini Gramsci telah ‘murtad’ dari pandangan Marxisme ortodok tentang determinisme ekonomi. Artinya ia telah beralih pada pandangan lain, yakni gagasan nondeterministik. Pada titik ini ia serupa dengan Aliran Frankfurt, tentang hubungan antara struktur dengan super struktur.

Seni, birokrasi, lembaga-lembaga masyarakat, civil society (dalam konteks negara), sekolah adalah media-media di mana melalui itu negara melakukan hegemoni terhadap rakyatnya. Dengan hegemoni itu, diharapkan rakyat akan tunduk secara sukarela terhadap kehendak negara. Melalui proses yang panjang, seperti melalui sekolah, sebenarnya rakyat sedang dididik untuk bersikap menerima secara ‘baik’ kebijakan negara.

Aparatus negara ideologisMeminjam pisau analisis Althusser, untuk membedah bagaimana proses hegemoni pemerintah menyeruak semenjak kita masih berada di play group hingga kita duduk dibangku kuliah. Althusser mengungkapkan, sekolah merebut kanak-kanak dari setiap kelas sosial, mulai TK. Kemudian selama beberapa tahun, yang merupakan masa di mana seorang anak sangat sedemikian ‘rapuh’, mereka terjepit anatar aparatus negara keluarga dan aparatus negara pendidikan, dan sekolah mempompakan sejumlah ‘know-how ke dalam diri mereka, dengan metode lama ataupun baru, yang dikemas dalam ideologi penguasa (bahasa Perancis, ilmu pengetahuan alam, pelbagai kesusastraan, sains) atau sekedar ideologi penguasa yang bersifat teori (etika, kewarganegaraan, filsafat). Pada umur enam belasan, sejumlah anak dihamburkan ‘ke dalam produksi’: mereka inilah buruh atau para petani kecil.

Pandangan nondeterministik a la Althusser ini mampu mempertajam pandangan hegemoni yang Gramsci ungkapkan. Bahwa kita (baca: masyarakat sipil) sedang dipersiapkan untuk menjadi alat produksi menggantikan generasi sebelumnya. Melalui mekanisme semacam inilah eksistensi, status quo dalam negara, sistem kapitalisme (korporatisme) tetap terjaga. Kita telah dilatih semenjak dini untuk bertindak agar kemapanan negara, sistem kapitalisme dapat senantiasa terjaga, lestari hingga suatu saat nanti kita sadar bahwa negara, kapitalisme tengah bermain sesuatu di belakang kita, namun kita terlambat mengetahuinya. Althusser berkenaan dengan pandangan hegemoni atas masyarakat sipil, menyimpulkan dengan teramat baik, "Sepengetahuan saya, tak satu pun kelas yang mampu memegang kuasa negara dalam periode yang lama tanpa sekaligus menjalankan hegemoninya, di sekeliling dan di dalam aparatus negara ideologis".

Secara fungsional negara mempertahankan eksistensinya. Dengan hegemonilah negara melakukan proses tersebut. Bahkan menurut Mao Ze Dong, negara tidak hanya memanfaatkan saluran-saluran resmi yang ada dalam masyarakat. Ia pun memanfaatkan saluran-saluran yang secara sporadis berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Seni atau budaya, adalah salah satu saluran yang mungkin negara, kapitalisme memanfaatkannya untuk menyemai benih-benih penghambaan masyarakat sipil.

Penutup;
Pendidikan yang membebaskan
Selanjutnya bagaimana membebaskan pengaruh hegemoni negara dengan berbagai kepentingannya, ketika kita, anak-cucu kita setiap harinya dijejali berbagai macam doktrin tentang ‘kebaikan’ negara. Sejalan dengan itu, pendidikan yang ada hanya mempersiapkan kita menjadi buruh dari perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri. Pendidikan hanya mengarahkan kita agar kita menjadi sekrup-sekrup yang dapat menggerakan mesin-mesin kapitalisme. Pada titik ini, Gramsci sebenarnya telah menyumbangkan pemikiran besarnya dalam rangka memperingatkan umat manusia akan bahaya hegemoni yang dimainkan negara sebagai representasi sistem yang kapitalis.

Mansour Fakih memuji Gramsci dalam hal pengaruh dan sumbangan besarnya berupa kritiknya terhadap pendidikan sebagai politik indoktrinasi dan pendidikan sebagai penindasan. Pemikiran Gramsci berpengaruh besar terhadap filsafat dan metodologi pendidikan dialogis dan pendidikan untuk penyadaran kritis dan penelitian partisipatoris. Beberapa pemikirannya mengenai civil society, counter hegemony, war opposition, dan war of manuver telah memberikan inspirasi bagi para pencetus ‘popular education’ di mana pendidikan massa diletakan sebagai gerakan ‘tandingan terhadap hegemoni dominan’. Pendidikan dalam konteks tersebut merupakan ‘aksi kultural’ bagi civil society untuk membangkitkan kesadaran kritis (critical conciousness) rakyat terhadap sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan, eksploitasi, dan berbagai sistem sosial yang tidak adil lainnya.

Ungkapan Mansour Fakih tentang pendidikan yang membebaskan sejatinya merupakan kristalisasi dari kritik Gramsci atas ramalan Marx yang tidak kunjung terbukti. Benang merah yang dapat ditarik adalah dengan adanya hegemoni yang dilakukan negara critical conciousness masyarakat sipil menjadi tereduksi. Critical conciousness yang mereka miliki menjadi terninabobokan, mengingat mereka telah digempur dari berbagai arah oleh berbagai aparatus negara ideologis—ISA pendidikan, keluarga, agama, politik, seni, dan seterusnya (a la Althusser). Gempuran berbagai ISA inilah yang dalam konsepsi Gramsci dapat dibendung dengan counter hegemony.

Berkenaan dengan counter hegemony Gramsci mengungkapkan bahwa untuk menundukan satu demi satu agen-agen masyarakat sipil seperti sekolah, media massa, peraturan-peraturan dagang dan sebagainya kita harus mengeluarkan ‘hegemoni tandingan’. Masalahnya tidak sesederhana mengganti satu hegemoni dengan hegemoni lain. Prinsip hegemoni harus ditansformasikan dari suatu prinsip yang mengagungkan situasi sosial pada prinsip yang menunjukan eksploitasi dan menggantikannya.

Hal ini berarti meniscayakan adanya media untuk melakukan transformasi tentang prinsip-prinsip yang sebenarnya eksploitatif, a-manusiawi, inequality dan seterusnya. Media yang bisa diharapkan pada saat ini adalah pendidikan yang membebaskan-transformatif. Selain pendidikan liberatif-transforrmatif terdapat juga saluran-saluran lain yang merupakan ‘aksi-aksi kultural’ individu atau kelompok individu. ‘Aksi-aksi kultural’ ini sering terejawantah dalam komunitas punk, under ground, vandalism yang memiliki soliditas dan solidaritas yang relatif tinggi antaranggota.

Pendidikan berparadigma liberatif-transformatif merupakan praksis untuk memastikan bahwa pada gilirannya kapitalisme akan tumbang. Tumbang searah dengan meningkatnya kesadaran kritis masyarakat sipil bahwa sistem yang ada bukanlah sistem yang par execellence dalam dirinya. Dalam kerangka dialektika, pendidikan liberatif-transformatif merupakan sintesa dari dialektika Marx (dengan prediksinya tentang kehancuran kapitalisme); dan Gramsci (dengan counterhegemoni-nya). Dengan kerja keras, sintesa ini akan menjawab ramalan Marx tentang tumbangnya kapitalisme. Semoga.[]

Referensi
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra.
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Insist Press.
Hendarto, Heru. 1996. Diskursus Kemanusiaan dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT. Gramedia.
Liftschitz, Mikhail dan Leonardo Salamini. 2004. Praksis Seni: Marx dan Gramsci. Yogyakarta: Alinea.
Simon, Roger. 2001. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment