Ketika BEM FE Yasinan: Kritik Kebijakan dan Otokritik Keislaman

Ketika BEM Yaasinan
Ketika BEM Yaasinan: Kritik atas Kebijakan dan Otokritik atas Keislaman[1]
Oleh: Firdos Putra Aditama[2]

I
Tulisan ini berawal dari cerita teman kos saya yang kebetulan seorang aktivis kampus. Dan kebetulan juga, dia adalah seorang Nahdliyyin dan muslim yang taat. Tidak seperti saya yang sedikit nakal dan liberal. Suatu malam dia bercerita—atau tepatnya berkeluh kesah—tentang perdebatan yang terjadi di lembaganya.

Perdebatan yang terjadi dalam sebuah "forum silaturrahmi" antarlembaga kampus. Tepatnya forum yang difasilitasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi. Keluar dari kebiasaan, forum malam itu tidak sedang mendikusikan tentang sistem BHP sebagai representasi atas komersialisasi pendidikan. Melainkan sedang menggugat format kegiatan silaturrahmi itu sendiri. Format kegiatan yang dimaksud adalah pembacaan Yaasin dan Tahlil.

Cerita teman saya, pembacaan Yaasin dan Tahlil sebagai pembuka kegiatan silaturrahmi malam itu digugat oleh beberapa aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Pertama, seorang aktivis Islam dari Unit Kerohanian Islam (UKI) yang mempertanyakan hukum pembacaan Yaasin dan Tahlil. Ia berpendapat bahwa menurutnya, hukum pembacaan Yaasin dan Tahlil adalah salah karena termasuk bid’ah. Untuk itu, ia menawarkan pembacaan Yaasin dan Tahlil diganti dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran, yang jelas-jelas hukumnya. Respon yang senada juga datang dari seorang aktivis FOSEI—ruang kajian untuk ekonomi Islam. Dan pendapat teman saya—yang sekali lagi kebetulan seorang Nahdliyyin—ternyata kurang populis untuk tetap mempertahankan pembacaan Yaasin dan Tahlil dalam silaturrahmi itu. Selang berapa lama, Presiden BEM pun sebagai si empunya forum akhirnya memutuskan untuk mengganti format pembacaan Yaasin dan Tahlil dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran sebelum temu antarlembaga dimulai.

II
Sebenarnya saya enggan untuk ikut dalam perdebatan itu. Pertama, bahwa ruang perdebatan itu di luar jangkauan saya sebagai mahasiswa di luar Fakultas Ekonomi, lembaga mahasiswanya dan seterusnya. Kedua, secara esensial perdebatan itu—menurut saya—adalah langkah mundur dalam perdebatan keislaman. Perdebatan Yaasin dan Tahlil sudah terlalu usang sejak perseteruan antara NU dan Muhammadiyyah tentang bid’ah, khurafat dan takhayul. Jadi, perdebatan itu hanya akan membuka konflik panjang, yang telah lama terlupakan.

Namun, saya memberanikan diri untuk ikut urun rembug dalam perdebatan itu karena, pertama bahwa Yaasin dan Tahlil yang tengah diperdebatkan berada dalam konteks kelembagaan. Kedua, saya rasa perlu adanya diskusi yang lebih mendalam tentang hukum pembacaan Yaasin dan Tahlil itu sendiri dalam pandangan I[i]slam ketika beberapa mahasiswa yang lain menghukuminya ‘salah’. Dan ketiga, penghukuman ‘salah’ yang dilontarkan oleh beberapa mahasiswa di atas saya rasa perlu dikaji agar kita tidak terjebak pada eksklusifisme pandangan Islam yang akan mengkerdilkan keislaman itu sendiri.

Sebelum memasuki diskusi ini, saya ingin menerangkan posisi saya terlebih dahulu. Memang benar saya dibesarkan oleh tradisi Nahdliyyin yang cukup kental. Sehingga saya sedikit tahu tentang seluk-beluk Yaasin dan Tahlil. Tetapi, jangan sampai hal ini membuat Anda apriori terhadap saya. Pandangan yang saya lontarkan mungkin tidak akan berpihak pada teman saya yang Nahdliyyin, pun juga pandangan dari teman UKI atau FOSEI.

III
Saya akan mengawali diskusi ini pada persoalan mendasar dari perdebatan di atas, yakni kedudukan forum di mana pembacaan Yaasin dan Tahlil itu berlangsung. Hal ini penting, karena saya rasa perdebatan tidak akan terjadi ketika Yaasin dan Tahlil dibaca di musola-musola pedesaan. Saya melihat kedudukan forum yang difasilitasi oleh BEM FE sebagai media komunikasi antarlembaga mahasiswa di lingkungan FE tidaklah paralel dengan musola di pedesaan. Bukan karena ‘desanya’ atau ‘kotanya’, melainkan forum yang pertama adalah forum keagamaan dan yang terakhir adalah forum kelembagaan yang sifatnya formal. Artinya kita perlu membedakan ruang (forum) untuk menyebut seseorang dalam kapasitasnya sebagai warga negara, mahasiswa, anggota organisasi dan pada sisi lain sebagai umat dari agama tertentu.

Saya yakin lahirnya pembacaan Yaasin dan Tahlil atau Al-Quran—sebagai mana usul teman UKI dan FOSEI—dalam forum itu karena sebagian besar aktivis lembaga beragama Islam, mungkin juga Nahdliyyin. Akan tetapi hal ini cukup mengganjal ketika kita ingat bahwa di dalam forum itu, tidak hanya mahasiswa Islam saja yang menghadirinya. Sebut saja Persekutuan Mahasiswa Katholik (PMK) yang harus menghadirinya karena tuntutan-tekanan strukural-organisasional.

Saya tidak tahu, rasionalisasi apa yang mencukupi untuk memilih Yaasin dan Tahlil atau Al-Quran sebagai pembuka kegiatan silaturrahmi di atas. Perlu sebenarnya bagi kita untuk berempati pada posisi lain, misalnya pada posisi PMK. Mari kita imajinasikan bersama, bilamana kita (Islam) adalah minoritas, dan forum silaturrahmi tersebut dikreasi sedemikian rupa dengan warna Kristiani, misal dengan senandung lagu-lagu gerejani, apakah kita akan menerima? Saya yakin, bila kita menerima pun, penerimaan ini hanyalah karena keterpaksaan dari kungkungan kesekatan mayoritas. Dalam hati yang paling dalam, saya yakin kita akan menolak dan bertanya, "Apakah tidak ada format kegiatan yang netral dari bias agama?".

Pun, bila kita mendatangi forum yang beraroma Kristiani tersebut, kita akan datang sehabis senandung lagu gerejani berakhir. Jika ini yang terjadi, sebenarnya kita tidak sedang bertoleransi (tepaselira) dengan senandung gerejani. Lebih tepat jika dibaca bahwa kita sedang dikungkung oleh diktator mayoritas atas minoritas. Bukankah begitu? Karena saya rasa, sikap toleransi adalah bagaimana kita (mayoritas) menghargai dan menghormati keberadaan dari mereka yang minoritas. Bukan sebaliknya.

Kita saat ini tidak sedang belajar PPKn tentang tenggang rasa, toleransi dan istilah sejenisnya. Tetapi, saat ini kita sedang dituntut untuk merealisasikan sikap-sikap itu dalam kehidupan yang interelasional ini. Dan kehidupan yang interelasional ini seharusnya dapat kreasi seegaliter mungkin. Tidak ada hak-hak kelompok atau orang lain yang terpinggirkan. Apakah atas nama mayoritas kita lantas berhak meminggirkan hak-hak minoritas? Saya rasa tidak.

Perlu digarisbawahi, saya tidak akan keberatan bilamana pembacaan Yaasin dan Tahlil atau Al-Quran diselenggarakan di dalam forum atau lembaga Islam, entah UKI atau FOSEI atau lainnya. Tetapi, sangat bermasalah ketika hal itu diselenggarakan di dalam forum bersama yang merupakan ruang publik. Ruang yang bebas dari diskriminasi SARA, gender dan sebagainya. Ruang kita semua untuk mengartikulasikan, mendayagunakan segenap kemampuan kita.

Saya ingat, ada satu kaidah Fiqih yang berbunyi, "Dar ul mafaasid muqoddamu ‘a laa jalbil mashoolih"[3]. Yang artinya bahwa, "Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kebaikan". Menolak kerusakan akibat kurang tenggangrasanya kita terhadap pemeluk agama lain, lebih diutamakan daripada menarik kebaikan dengan beramal soleh dalam logika agama kita. Saya yakin "forum silaturrahmi" itu bertujuan baik dan mulia, hanya saja mungkin ‘kemasan’ forum itu perlu kita kreasi sedemikian rupa agar tujuan baik dan mulia itu terganjal oleh baju yang membungkusnya.

IV
Masalah kedua, menyangkut hukum pembacaan Yaasin dan Tahlil itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, mari kita rujuk sejarah lahirnya tradisi ini. Menurut sejarah, lahirnya tradisi Yaasin dan Tahlil berangkat dari akulturasi budaya Islam dengan Jawa yang bernuansa Hindu-Budha. Islam ketika masuk ke tanah Jawa, pada masa awal penyebarannya dilakukan melalui dakwah kultural. Hal ini dimotori oleh Sunan Kalijaga yang juga seorang budayawan.

Pada saat itu, kebiasaan lek-lekan (kumpul malam hari) sepeninggalnya seseorang dulunya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kurang Islami, main kartu, minum-minuman, dan sebagainya. Kemudian sedikit demi sedikit tradisi lek-lekan itu dikawinkan dengan nilai-nilai Islam melalui ritual Yaasin dan Tahlil. Akhirnya, mitong dino, matang puluh dino, mendhak sepisan dan seterusnya sampai saat ini dapat kita saksikan dalam ritual Yaasin dan Tahlil. Dan dakwah semacam itu cukup efektif yang menjadikan Islam besar di tanah Jawa.

Pada sisi lain, seperti tradisi Halal bi Halal sendiri, tradisi Yaasin dan Tahlil hanya di kenal di Indonesia. Tidak salah jika beberapa intelektual muslim berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah unik, memiliki rasa dan tidak gersang seperti di Timur Tengah atau negara lainnya. Sehingga ada yang lebih suka menyebutnya dengan ‘Islam Indonesia’, bukan Islam di Indonesia.

Sedangkan mengapa sampai saat ini NU masih tetap melestarikan tradisi Yaasin dan Tahlil, bukan hanya karena kegiatan Yaasin dan Tahlil adalah salah satu modal sosial, tetapi juga karena secara hukum adalah sah. Tidak ada dalam teks Al-Quran pun Hadist yang secara qoth’iy (pasti) mengharamkan atau melarangnya. Sedangkan, kelompok modernis Islam yang dulu dimotori oleh Muhammadiyyah menghukumi tradisi Yaasin dan Tahlil sebagai bid’ah yang didasarkan pada Hadist yang berbunyi, "Kullu bid’atun dlolaalatun". Sayangnya Hadist tersebut salah dipahami dengan memaknainya sebagai "Setiap bid’ah adalah buruk". Yang semestinya lafadl (kata) ‘kullu’ pada Hadist di atas dimaknai ‘sebagian’ (bi ma’na ba’dli). Artinya, memang benar ada bid’ah yang dlolaalah (buruk) dan pada sisi lain ada juga bid’ah yang hasanah (baik). Sayangnya, pada term yang terakhir kita jarang menyebutnya dengan bid’ah hasanah tetapi lebih sering dengan sebutan ijtihad.

Saya akan menawarkan beberapa fakta yang mungkin akan membuat Anda berfikir ulang tentang bid’ah. Mungkin sampai saat ini Anda masih mendefinisikan bid’ah sebagai tata cara ibadah atau ibadah (‘ubudiyyah) yang sebenarnya tidak pernah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Hadist. Singkatnya tata cara ibadah atau ibadah yang mengada-ada. Jika Anda tahu, sampai ini pemerintah Saudi Arabia telah melakukan perombakan-perombakan syariah haji (tata cara); seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter[4]. Hal tersebut dilakukan karena semakin membludaknya jamaah haji pertahunnya.

Jika Anda masih konsisten dengan definisi bid’ah di atas, maka apakah Anda bisa mengatakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang mengkreasi sedemikian rupa syariah haji akan Anda sebut juga sebagai bid’ah (dlolaalah)? Saya yakin, pada fakta di atas Anda akan cenderung menyebutnya sebagai proses ijtihad dalam rangka mengurangi kecelakaan yang terjadi akibat penumpukan jemaah. Nah, logika semacam itu juga berlangsung dalam tradisi Yaasin dan Tahlil, sebagai bentuk ijtihad dalam rangka dakwah kultural. Hanya saja kita—sekali lagi—alergi untuk menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Karena term ‘bid’ah’ sudah kadung peyoratif dalam katalog kata kita.

Saya membaca bahwa Yaasin dan Tahlil sebagai bentuk ijtihad dalam rangka melakukan kodifikasi (pengumpulan-pelembagaan) dari bacaan surat Yaasin, dzikir dan do’a yang kemudian diritualkan. Hal ini saya pandang sejajar dengan kumpulan do’a-do’a, dzikir yang dikeluarkan oleh Ulama tertentu untuk pengikutnya. Seperti kumpulan do’a, dzikir dan sebagainya dalam Majmu’ Assyarif atau majmu’-majmu’ lainnya.

Saya kembali ingat, ada kaidah Fiqih yang berbunyi, "Al ‘adaatul muhakkamah"[5]. Artinya, "Adat atau kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum". Kontekstualisasi dari kaidah ini, bahwa kebiasaan atau tradisi yang secara esensial berisi nilai-nilai Islami dapat ditetapkan hukumnya menjadi sah atau boleh. Hal semacam ini dilakukan tidak semata-mata sebagai strategi an sich melainkan juga dalam kerangka penghormatan terhadap budaya tradisi yang nota benenya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Mujamil Qomar dalam disertasinya menulis, bahwa penghormatan pada tradisi yang baik ini pada akhirnya memuncak dengan memosisikannya sebagai hukum. Kalangan NU mengikuti kaidah Al ‘adaatul muhakkamah. Penetapan ini tidak sekedar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural, tetapi juga memiliki sandaran teologis, baik Al-Quran maupun Hadist yang mendasari bangunan kaidah tersebut sehingga merasa haqqul yaqiin dalam menerapkannya[6]. Sandaran teologis yang dimaksud tepatnya adalah Hadist yang berbunyi, "Maa roohul muslimuuna hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun". Yang artinya, "Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah"[7].

V
Masalah ketiga, terkait dengan sikap penghukuman ‘salah’ saya kira perlu kita telaah secara kritis. Saya rasa untuk mengukumi sesuatu boleh-tidaknya dalam Islam tidak hanya bisa dilakukan dengan bermodalkan satu dua ayat atau hadist saja. Melainkan melalui proses ijtihad yang cukup panjang. Dalam kerangka ijtihad ini, salah atau benar bukanlah masalah. Akan tetapi pada prinsipnya bahwa hasil satu ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad lainnya. Prinsip ini mengikuti kaidah Fiqih yang berbunyi, "Al ijtihaadu laa yunqodlu bil ijtihaadi"[8].

Jika demikian sangat mungkin hukum (ijtihadiyyah) satu masalah lebih dari satu. Dan satu hukum (ijtihadiyyah) tidak bisa diubah atau dibatalkan dengan hukum (ijtihadiyyah) lainnya. Sehingga relevanlah Hadist Nabi yang berbunyi bahwa, "Perbedaan di kalangan ulama adalah rahmah". Oleh karena itu, menurut kaidah di atas, bagi teman-teman yang berijtihad dengan menghukumi ‘salah’ Yaasin dan Tahlil adalah sah bagi diri atau kelompoknya. Lalu teman saya yang Nahdliyyin ketika meyakini Yaasin dan Tahlil adalah ‘benar’ adalah sah bagi dirinya. Masing-masing memiliki alasan, pertimbangan, dalil tersendiri. Sehingga dalam kehidupan beragama yang multiperspektif ini, kita tidak perlu lagi untuk menghukumi ‘salah’ orang atau kelompok lain. Yang kita perlukan adalah sikap saling terbuka, toleran dan dan menghargai keragaman pandangan atau pendapat. Serta kita tidak seyogyanya membenarkan adanya "klaim kebenaran" yang hanya akan menutup kemungkinan ijtihad baru lainnya bagi cakrawala keislaman.

Bukan waktunya lagi kita saling menyalahkan, menyesatkan dan seterusnya. Toh, kita di dunia ini sama-sama sedang mendekati kebenaran-Nya. Untuk itu, dalam keegaliteran bersikap, tidak perlu satu di antara kita menjadi juris hukum bagi yang lain. Sikap semacam ini hanya akan menyulut konflik. Padahal kulminasi hukumnya—apalagi persoalan ibadah—berada di tangan-Nya, bukan kita.

Dalam konteks itulah pentingnya kaum muslim melihat doktrin Islam tentang keragaman dan kebebasan artikulasi beragama. Al-Quran secara tegas mengritik sikap arogan dan intoleran terhadap tafsir (pendapat) orang lain dalam ayat berikut, "Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, ke sanalah ia mengarahkannya, maka berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya". (Q.S. Al-Baqarah:148). "Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di bumi seluruhnya, apakah engkau akan memaksa manusia hingga semuanya beriman?" (Q.S. Yunus: 99).

Perlu kiranya saya kutip paragraf dari Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa, "Para ulama salaf tidak pernah berkata haram kecuali kepada sesuatu yang diketahuinya sebagai haram secara qath’iy. Adapun kepada selain itu, mereka berkata, "Kami membencinya", atau "Kami tidak menyukainya"[9]. Demikian kerendahhatian seorang Mufthi Mesir. Tidak gegabah dalam menghakimi sesuatu dengan salah atau benar an sich.

VI
Ke depan saya rasa kita perlu saling belajar memahami, bertukar pengalaman terkait dengan perbedaan dalam artikulasi beragama. Dan yang lebih penting, jangan sampai kita mengklaim diri atau pandangan kita yang paling benar. Apalagi mengklaim pandangan itu adalah pandangan [I]slam. Yang ada hanyalah pandangan [i]slam kita.

Selain itu, kasus Yaasinan BEM merupakan cerminan arogansi kita atas kemayoritasan kita. Untuk itu, perlu kiranya kita kembali melatih rasa empati kita, bilamana kita berada pada posisi pemeluk agama lain. Dan yang tidak kalah pentingnya, kita harus tahu saat kapan dan di mana kita memandang publik sebagai anggota organisasi dan di sisi lain sebagai umat beragama. Menurut saya, kasus Yaasinan BEM bermula dari hal mendasar tersebut, yakni kekurangtepatan dalam memandang pola relasi antara ritual komunal dengan logika lembaga publik.

Semoga tulisan ini bisa memberi masukan pada BEM FE untuk dapat mengambil sikap secara proporsional dan profesional. Dan semoga tulisan ini juga bisa menjadi otokritik bagi penghayatan kehidupan keislaman kita semua. Tulisan ini berangkat dari sudut pandang subyektif. Untuk itu kiranya tepat bagi saya untuk mengakhirinya dengan satu maqolah dari Imam Syafi’i, "Pendapatku benar namun mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat selainku salah namun mengandung kemungkinan benar". Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshowaab. Salam hangat. []

Note:
1. Surat Terbuka untuk teman muslim
2. Mahasiswa Sosiologi 2003, FISIP UNSOED Purwokerto. Saat ini aktif sebagai Kadiv. Jaringan Lembaga LS-Profetika.
3. Hal. 24 Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Tahun 1977.
4. Luthfi Assyaukanie dalam, "Perlunya Merombak Teologi Haji" tahun 2007.
5. Hal 1. Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh tahun 1977.
6. Mujamil Qomar dalam NU "Liberal" . Hal 97 tahun 2002.
7. Hal. 24 Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Tahun 1977.
8. Hal. 29 Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Tahun 1977.9. Dalam "Pengantar" untuk Halal Haram dalam Islam Hal. 15 tahun 2003.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment