Ketika Kepentingan Dipertanyakan

Oleh: Firdaus Putra Aditama

I
Berangkat dari sebuah pertanyaan, apakah mesti kepentingan selalu berkonotasi negatif? Dan apakah selalu “kepentingan individu” bertolak belakang dengan “kepentingan sosial”? Pertama, saya mendefinisikan “kepentingan individu” sebagai kepentingan yang dimiliki oleh setiap individu atau manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Termasuk pada jenis kepentingan ini adalah kepentingan dalam kerangka ekonomi, politik, sosial-budaya dan ideologi atau sistem kepercayaan-keyakinan. Saya kira tidak terlalu jauh ketika saya mendefinisikan “kepentingan individu” paralel dengan logika kebutuhan yang dicetuskan oleh Maslow. Ia memetakan bahwa setiap individu minimalnya mempunyai lima jenjang kebutuhan pokok [hierarchi of needs]. Pertama adalah kebutuhan sandang-pangan-papan; kedua adalah kebutuhan rasa keamanan; ketiga adalah kebutuhan untuk bersosialisasi; keempat adalah kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial; dan kelima kebutuhan untuk beraktualisasi diri. Dengan definisi “kepentingan individu” per definisi kebutuhan individu cukup komprehensif untuk membaca aktivitas individu dalam kehidupan.

Kedua, saya mendefinisikan “kepentingan sosial” sebagai kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat atau keinginan bersama antaranggota masyarakat untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. “Kepentingan sosial” ini sebenarnya tumbuh dari “kepentingan individu” sebagai basis massa penyusunnya. Dalam kepentingan ini tersurat tentang konsensus bersama, sebuah kesepakatan tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berlangsungnya atau lestarinya masyarakat, misal kepentingan untuk menjaga nilai, norma yang ada di masyarakat. Kepentingan untuk menjaga nilai, norma berangkat dari asumsi bahwa dengan perangkat nilai, norma itulah masyarakat mampu tetap bertahan dan eksis. Dalam perjumpaan kekinian, tidak heran golongan tua adalah kelompok yang berperan sebagai ‘penjaga gawang’ nilai, norma yang ada. Karena ketatnya dalam menjaga perangkat nilai, norma tersebut, tidak jarang golongan tua diklaim sebagai golongan yang konservatif dan ortodoks.

Deskripsi kepentingan secara sosiologis di atas menurut saya lebih terlihat santun daripada definisi yang kita jumpai dalam tradisi ilmu politik. Sepengetahuan saya, kepentingan dalam tradisi politik lebih berkonotasi negatif daripada sebuah formulasi yang merujuk pada kebutuhan yang ada dalam setiap individu, kelompok maupun masayarakat. Kepentingan dalam tradisi ilmu politik akan selalu diwarnai dengan logika kekuasaan. Di mana kepentingan adalah [per definisi tindakan politik] cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Deskripsi kepentingan dalam pada tradisi ini, menurut saya berbeda dengan deskripsi dalam khazanah sosial [baca: sosiologi]. Pertama, bahwa kepentingan yang ada dalam tradisi ilmu politik tidak menunjuk pada kepentingan yang bersifat kulminatif atau purna. Kepentingan di sana ada untuk mewujudkan kepentingan yang lain. Misal, kepentingan politis seseorang ditujukan untuk mewujudkan tujuan purnanya semisal ideologi atau ekonomis. Atau sebaliknya.
Sedangkan kepentingan dalam khazanah sosial, menurut hemat saya merupakan kepentingan akan kebutuhan yang bersifat klimaks. Ia akan berjenjang naik ke tahap [baca: kepentingan] selanjutnya ketika satu kebutuhan sudah tercukupi. Misal, kebutuhan individu berkenaan dengan sandang-pangan-papan akan beranjak naik ke kebutuhan rasa aman ketika kebutuhan sandang-pangan-papan di atas tercukupi. Demikian selanjutnya akan terus merangkak naik sesuai dengan jenjang kebutuhan yang berbeda satu dengan individu lainnya. Demikian pendapat saya berkenaan dengan definisi kepentingan, baik indvidu maupun sosial; baik dalam tradisi sosial maupun politik.

II
Apakah kepentingan selalu berkonotasi negatif? Atau pertanyaan yang lebih tepat, kenapa kepentingan selalu berkonotasi negatif? Menurut saya, kepentingan kental dengan konotasi negatifnya karena adanya unsur kekuasaan di dalamnya. Unsur kekuasaan ini dapat kita tengarai dari adanya pemaksaan yang ada di dalamnya. Kepentingan tidak lagi merujuk pada kebutuhan, akan tetapi merujuk pada pemaksaan “kepentingan individu” satu dengan yang lain atau terhadap masyarakat.

Artinya, konotasi negatif—lebih tepatnya saya sebut dengan ‘masalah’—yang lahir dari adanya kepentingan adalah gambaran dari ketakmampuan satu individu atau masyarakat dalam mensinergikan masing-maisng kepentingannya. Masalahnya, bagaimana kita mampu memverifikasi mana yang termasuk dalam “kepentingan individu” dan mana pula yang termasuk dalam “kepentingan sosial”? Menurut saya, bahwa dua kepentingan itu seharusnya tidak kita bedakan secara dikotomik. Saya ingat bahwa sejatinya entitas yang riil adalah individu bukan masayarakat. Masyarakat hanyalah representasi atau penampakan dari banyak individu yang berkelompok. Sehingga “kepentingan individu” pun sebenarnya lebih riil daripada masyarakat, atau sebenarnya pula “kepentingan sosial” berangkat dari kepentingan-kepentingan individu yang disatukan dalam sebuah konsensus sosial. Dalam hal ini, Weber melihat dengan cara yang sama, bahwa individu adalah entitas yang riil daripada masyarakat itu sendiri. Sehingga seharusnyalah keberadaan individu lebih dihargai daripada masyarakat yang notabenenya sebatas representasi abstrak. Tanpa individu, niscaya masyarakat tidak akan pernah ada.

Konotasi negatif yang lahir dari kepentingan sejatinya lahir bukan dari kepentingan itu sendiri. Melainkan, lahir dari relasional dari beragam kepentingan yang ada. Pada dasarnya, kepentingan pada dirinya sendiri adalah sah. Seperti saya ungkap di atas, bahwa kepentingan paralel dengan kebutuhan dalam makna sosiologisnya, sehingga kepentingan bukanlah hal yang bermasalah, melainkan keniscayaan sebagai manusia yang bernyawa. Kepentingan menjadi masalah ketika ia disandingkan dengan kepentingan indidvidu atau kelompok lainnya. Dalam bahasa lain, sejatinya masalah menjadi ada ketika satu kepentingan membentur kepentingan yang lain.

Ketika satu individu memiliki sebuah kepentingan, lantas ia men-share-kan kepentingannya kepada individu lain, menjadi masalah jika kepentingan tersebut tidak disepakati oleh yang lain. Menjadi masalah pula ketika satu individu itu berusaha memaksakan kepentingannya mengatasi kepentingan individu lainnya. Hal ini tentu saja akan memasuki wilayah konflik kepentingan individu vis-a-vis individu.

Usaha untuk memaksakan kepentingan inilah penyebab kepentingan menjadi sering atau selalu berkonotasi negatif. Akan berbeda tentunya manakala kepentingan satu individu disepakati atau diamini oleh semuanya. Artinya pada titik itu, “kepentingan individu” sudah beralih menjadi “kepentingan sosial”. Dari logika semacam ini kita dapat melihat bahwa sebenarnya “kepentingan sosial” adalah hasil kesepakatan dari “kepentingan individu-individu” yang ada. Tidak lahir dengan sendirinya dan terlepas dari individu sebagai anggotanya.

Dengan adanya kesepakatan itu, biasanya “kepentingan sosial” akan mengatasi “kepentingan individu”. Individu saat itu kehilangan otonominya untuk mewujudakan kepentingan-kepentingan individualnya masing-masing. Maka, yang bisa dilakukan individu adalah bagaimana caranya mensinergikan kepentingannya dengan “kepentingan sosial”, di mana ia juga bersepakat di dalamnya.

“Kepentingan sosial” semacam ini akan nampak sebagai kepentingan bersama yang merupakan cerminan dari kebutuhan bersama. Biasanya “kepentingan sosial” akan berkualitas lebih tinggi dari “kepentingan individu”. Hal ini disebabkan karena adanya asumsi bahwa (1) Komunalisme atau eksistensi kelompok lebih penting daripada eksistensi individu itu sendiri, atau (2) Bahwa “kepentingan sosial” juga telah mengakomodir “kepentingan individu”, sehingga dengan merealisasikan “kepentingan sosial”, “kepentingan individu” pun otomatis akan terealisir. (3) Dengan adanya kesepakatan yang dibuat oleh masing-masing individu, artinya saat itu individu menyerahkan sebagian kekuasaan yang dimilikinya kepada sistem sosial yang ada. Oleh karenanya, sifat dari sistem sosial yang konkretnya berupa “kepentingan sosial” adalah lebih tinggi statusnya dari individu itu sendiri. Hal ini senada dengan logika pembentukan negara kedaulatan rakyat.

“Kepentingan individu” seharusnya dimaknai dalam kerangka optimistis. Artinya, bagaimana kita memandang kepentingan itu dengan proporsional dan dengan kacamata yang luas. Ketika satu individu memiliki berkepentingan terhadap masalah kemanusiaan, saya kira masalah semacam ini akan terkait dengan “kepentingan sosial”. Artinya, tidak semua “kepentingan individu” adalah buruk. Dan tidak juga semua “kepentingan sosial” adalah baik. Yang ada bagaimana antara kepentingan satu dengan yang lain dapat berjalan beriringan tanpa harus saling menegasikan, menafikan dan menghancurkan.

Adakalanya “kepentingan individu” berdimensi sosial, seperti contoh di atas, sehingga, sebenarnya cukup sulit untuk memverifikasi mana-mana yang termasuk pada “kepentingan individu”, dan mana yang termasuk pada “kepentingan sosial”. Hal ini yang akhirnya mengantarkan kita untuk tidak menggunakan logika ‘hitam-putih’ dalam melihat, menilai “kepentingan-kepentingan individu” yang ada; yang sebenarnya dalam bahasa lain adalah kebutuhan-kebutuhan individu.

III
Meskipun memverifikasi “kepentingan individu” dengan “kepentingan sosial” sulit dilakukan, kita tidak tepat jika memandang semua “kepentingan individu” akan sinergis dengan “kepentingan sosial”. Pertama bahwa pada titik kepentingan itu sendiri terdapat “kepentingan-kepentingan individu” yang berdimensi sosial, artinya ada juga kepentingan individu yang hanya berdimensi individual atau ego-sentris. Pada jenis kepentingan ini kita harus jeli melihatnya, apakah kepentingan tersebut membawa maslahat bagi masyarakat atau hanya individu yang bersangkutan?

Kedua, bahwa dimensi sosial atau individual bersifat kontekstual. Artinya, pada satu waktu mungkin “kepentingan individu” itu berdimensi sosial; namun pada waktu yang lain, dimensi sosial dari “kepentingan individu” itu bisa jadi tidak lagi relevan. Konteks dimensional ini erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan individu lain atau sosial.

Terakhir, seringkali kita terjebak dalam logika ‘hitam-putih’, sehingga kita terkesan menyederhanakan masalah yang ada dengan logika yang dikotomis. Padahal satu ekstrim sebenarnya dapat didialektikakan—dalam bahasa lain, Giddens menyebut dengan ‘proses strukturasi’—dengan ekstrim yang lain. Hasil dialektika inilah yang mewujud pada sintesis kepentingan individu dan sosial. Akhirnya, individu tidak ternegasikan atas nama masyarakat; pada sisi lain “kepentingan sosial” tidak terhambat lantaran satu individu mengganjal dengan kepentingan egonya. Sikap arif serta kritis perlu dikedepankan untuk membaca warna-warni kepentingan yang ada dilingkungan kita. Karena adalah bohong ketika seseorang mengatakan “Saya tidak berkepentingan”. Yang ada adalah, ia memiliki kepentingan yang kebetulan sama atau berdimensi sosial. Wallahu a’lam bishshowab. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment