“Kabar tentang petani di desa ini
memang tak pernah sampai ke sudut-sudut kota
Tentang sulitnya menyalakan api di tungku-tungku dapurnya,
tentang bingungnya menyambung sekolah anak-anaknya”
(B.Irawan Massie: 1993)
Awalan …
Memang kita tidak sedang membicarakan petani, tukang becak, nelayan pesisir, buruh bangunan, kuli gendong, anak jalanan, atau bahkan tukang palak, pekerja seks komersil, atau apa pun itu. Tapi, hari ini kita sedang membicarakan, menelanjangi diri kita sendiri. Ya, kita sendiri, yang mendapatkan posisi cukup wah dalam stratifikasi masyarakat kita, Indonesia.
Ya, kita sedang membicarakan tentang sekelompok orang yang berada di dalam ruang kuliah, kampus, universitas. Benar! Kita sedang membicarakan mahasiswa. Tapi apa hubungannya mahasiswa dengan petikan puisi di atas? Apa hubungannya kita dengan petani, tukang becak, nelayan pesisir, buruh bangunan, kuli gendong dan seterusnya? Apakah kita berhubungan dengan mereka, atau kita memang jauh dan terpisah dari mereka?
Kita dan Mereka
Tangguhkan dulu jawaban kita, biarkan jawaban atas banyak pertanyaan itu tetap bercokol di kepala kita. Biarkan itu semua menjadi memori yang mungkin sebentar lagi akan terlupakan. Biarkan saja itu semua ….
Tetapi apakah dengan membiarkan itu semua kita akan tenang? Jangan-jangan kita tersiksa karena kita resah setelah mencari jawaban dari banyak pertanyaan kita sendiri. Jangan-jangan kita terkungkung dengan pertanyaan yang tak sempat kita jawab. Jangan-jangan, dan masih banyak ‘jangan-jangan’ di otak kita ….
Lalu hubungan kita dengan mereka apa? Bukankah kita mahasiswa, mereka petani, tukang becak, nelayan pesisir, buruh bangunan, kuli gendong dan seterusnya. Jelas kita berbeda, kita selalu berpakaian rapi, berfikir yang ndakik-ndakik, aroma badan kita pun tak sama. Sedang mereka, kumal, berfikir sederhana, bau badan tak sedap. Jauh antara kita dengan mereka.
Tapi apa benar seperti itu? Bagaimana jika mereka adalah tetangga di sekeliling kita, sanak-famili kita, atau bahkan orang tua kita. Bagaimana jika mereka ternyata yang membantu kuliah kita-dengan berbagai pajak, pungutan yang mereka bayarkan kepada negara. Bagaimana jika ternyata mereka adalah yang mewarnai hidup kita, ketika kita bermasyarakat.
Jawabannya tentu saja akan berbeda. Ya, ternyata kita bagian dari mereka. Ternyata kita cucuran keringat mereka. Ternyata kita tetesan air mata mereka. Teryata kita adalah tetangga, famili, anak mereka. Ternyata dan ternyata ….
Memang benar kita adalah bagian dari mereka. Kita bukan sekelompok orang yang berada di sangkar emas. Bukan pula sekelompok elit yang memandang mereka dengan tatapan sinis. Atau bahkan kelompok yang mempersulit hidup mereka. Atau ….
Seharusnya kita berterima kasih kepada mereka. Melalui cucuran keringat, tetesan air mata, pengharapannya, yang akhirnya kita dapat merasakan asiknya kuliah. Seharusnya kita membalas budi baik mereka. Seharusnya ….
Karena kita adalah bagian mereka, maka pantas jika kita bertanggungjawab atas kehidupan mereka. Atas persoalan yang mereka alami. Atas sulitnya menyekolahkan putra-putrinya. Dan memang inilah kewajiban kita kepada mereka yang telah ‘menghidupkan kita’.
Mahasiswa dan Kampus
Kita sekarang sudah menjadi mahasiswa. Di mana keberangkatan kita di lepas dengan cucuran keringat, tetesan air mata, kerja keras mereka. Sekarang apa yang harus kita lakukan. Berdiam diri, bersenang-senang, belajar saja, atau bertanggungjawab kepada mereka dengan beraktifitas semaksimal mungkin.
Lalu ketika kampus kita mengalami ketimpangan; korupsi oleh oknum karyawan-dosen, penetapan kebijakan yang sepihak, mahalnya biaya pendidikan kita, kualitas dosen yang patut dipertanyakan, sarana fisik yang masih jauh dari ideal, perlakuan akademik yang semena-mena dan seterusnya. Apakah kita akan diam saja, atau kita akan bergerak. Jika kita hanya diam, bukankah putra-putri mereka suatu tempo akan kemari. Apakah kita rela jika sulitnya hidup mereka bertambah dengan sulinya putra-putri mereka di kuliah kampus ini. Jika kita diam, apakah kita tidak malu dengan putra-putri mereka yang tidak mampu kuliah karena keterbatasan biaya. Sedangkan kita tergolong beruntung dapat sampai kemari. Berarti ….
Ya, kita harus bergerak! Untuk membebaskan kampus ini dari ketimpangan yang menggerogotinya. Untuk membebaskan kampus ini dari sistem yang kurang demokratis. Dan untuk membebaskan diri kita sendiri dari kungkungan sistem, dominasi yang membuat kita kerdil. Ya, kita harus melakukan kerja-kerja itu, kerja-kerja pembebasan.
Tapi untuk apa kita melakukan kerja pembebasan? Agar kita diberi label ‘aktifis’, agar biaya SPP kita turun atau …? Tentunya tidak sedangkal itu alasan kita melakukan kerja pembebasan itu? Kita melakukan itu demi kita dan mereka. Di mana kita, mereka sama-sama manusia. Tetapi, sekarang kita sedang tidak dimanusiakan oleh sistem. Maka sekarang kita harus membebaskan sistem itu, agar lebih humanis kepada kita dan mereka. Agar lebih produktif bagi hidup serta kehidupan kita dan mereka.
Apakah kerja pembebasan itu benar? Mungkin kita ragu jika kita tidak mengetahui kerja pembebasan itu. Apakah salah jika kita membebaskan sistem, diri kita sendiri, agar lebih humanis. Tentu saja ini benar, baik menurut manusia yang bertuhan ataupun tidak. Atau, kerja semacam ini benar Baik menurut manusia bahkan Tuhan.
Lalu…”tunduk tertindas atau bangkit melawan!”, kata Wiji Tukul. Memang kita harus bangkit dan bergerak agar kita tidak selalu ditindas oleh sistem, pemikiran atau lainnya. Kita harus bergerak membebaskan kampus ini dari segala ketimpangan. Kampus yang humanis-demokratis tidak akan dengan sendirinya tercipta tanpa sentuhan tangan-tangan kita.
Ketika kampus humanis-demokratis terwujud, mereka pasti akan tersenyum. Tersenyum gembira, karena—“tentang bingungnya menyambung sekolah anak-anaknya”—sedikit akan berkurang. Dan tentunya kita ingat, bahwa kita adalah bagian dari mereka. Semoga![]
Blogger Comment
Facebook Comment