Oleh: Firdaus Putra A.
Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang merah, dan ada yang putih
Setiap hari kusiram semua
Mawar, melati, semuanya indah
[kearifan keragaman di masa kanak-kanak]
Yang terhormat
Pembina UKI FISIP
Pengurus UKI FISIP
Mahasiswa FISIP
Salam sejahtera,
Mungkin sebuah kelancangan ketika saya yang bukan siapa-siapa ini mencoba mengutarakan uneg-uneg yang sudah setahun lebih terpendam. Dulu, ketika awal saya masuk kuliah, saya ingin bergabung dengan kawan-kawan muslim lainnya, berorganisasi bersama dalam satu lembaga, Unit Kerohanian Islam. Namun, harapan itu pupus ketika di awal, apa yang dikembangkan oleh UKI menurut saya kurang akomodatif dan representatif.
Saya tidak akan membodohi diri sendiri dengan mengatakan Islam itu satu. Ya, pada titik tertentu saya sepakat. Namun, pada kenyataannya—menurut pemahaman saya—Islam berwajah banyak. Saya percaya, Islam yang ada di Arab—sewaktu Nabi hidup bahkan sampai sekarang—berbeda dalam konteks tertentu dengan Islam yang ada di Indonesia. Karena, saya percaya, bahwa benar Islam adalah agama yang universal, likullizzaman wal makaan [sesuai untuk segala zaman dan tempat]. Saya mempercayai itu bukan hanya sebagai jargon yang manis ketika diucapkan, tetapi saya memahaminya—mungkin berbeda dengan beberapa kawan lainnya—secara esensial atau semangatnya [termaktub dalam, al-kulliyatul khomsah], memang Islam likullizzaman wal makaan. Sedangkan baju yang dapat membungkusnya bisa beraneka warna. Seperti saya, yang kebetulan mengenakan baju Nahdlatul Ulama.
Saya tidak sedang bermaksud mengkotak-kotakkan organisasi berikut aliran yang ada dalam tubuh Islam. Saya hanya sedang berusaha meyakinkan, bahwa setiap muslim memiliki pemahaman, penghayatan dan penemuan spiritualnya masing-masing. Dan saya percaya, bahwa hal yang saya sampaikan di atas tidak dapat diuji, dibuktikan dalam konteks benar atau salahnya. Karena dalam keunikan individu, maka keunikan Islam yang universal itu akan terbentuk. Ahlussufi Jalaludin Rumi berujar, "Jalan menuju Tuhan, sebanyak manusia yang ada di Bumi ini".
Kawan-kawan yang dirahmati Tuhan,
Saya ingin menegaskan bahwa penghormatan kepada penganut aliran [bahkan agama], Islam sangat mentolelirnya. Saya ingat, bahwa Tuhan pernah berfirman "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal [Al-Hujurat: 13]". Artinya, pertama bahwa adalah sunnatullah apa yang namanya perbedaan, keragaman. Tetapi yang perlu ditegaskan adalah perbedaan dalam banyak warna itu, hendaknya menuju pada titik untuk saling mengenal, menghormati, antara satu dengan lainnya. Bukan saling meniadakan, menyalahkan bahkan mengkafirkan. Dr. Nurcholis Madjid (alm), menegaskan bahwa "kita beragama adalah dalam rangka mendekati kebenaran mutlak milik-Nya". Proses mendekati itu antara satu dengan lainnya memiliki cara yang berbeda-beda. Dalam konteks ini saya kebetulan NU, mungkin kawan-kawan Muhammadiyyah, Persis, Ahmadiyyah, Islam Liberal dan sebagainya.
Yang perlu ditekankan adalah satu dengan lainnya tidak perlu saling menghakimi tentang kebenaran aliran yang lain. Yang perlu dikembangkan adalah fastabiqul khoiroot [berlomba-lomba menuju kebaikan]. Saya rasa, kawan-kawan sepakat dengan gagasan ini. Lalu, menurut saya, dalam kerangka fastabiqul khoiroot itu kita harus melakukan usaha-usaha nyata, misalkan melalui dakwah [da ‘aa-mengajak]. Saya sengaja mengutip akar kata dakwah yang artinya mengajak. Sehingga jika suatu perbuatan baik secara sadar ataupun tidak, tidak bersifat ‘mengajak’, berarti hal itu bukan dakwah. Mungkin itu mahfum mukhalafah [logika-pemahaman terbalik] dari kata itu.
Saya ingin menegaskan, bahwa jangan-jangan selama ini UKI yang dinisbatkan sebagai media dakwah itu pada prakteknya kurang memahami arti dakwah yang sesungguhnya. Mungkin saya terlalu lancang mengutarakan hal ini. Namun, saya bisa memberikan contoh, ketika saya yang mahasiswa biasa ini ingin bergabung, berproses bersama kawan-kawan di UKI, jujur saja, saya merasa minder dan merasa jauh dengan mereka. Hal ini ironis, padahal mereka adalah saudara-saudara saya seiman dan seagama. Saya hanya menginsyafi, jangan-jangan saya lah yang terlalu minder dan rendah diri. Ketika kawan-kawan UKI lekat dengan simbol keagamaan, sedangkan saya hanya berjenggot dan jarang menggunakan bahasa-bahasa Arab; akhii, ukhti, akhwan, jadiid, dan sebagainya. Inilah keadaan psikologis yang saya alami. Lalu, saya bertanya—kepada diri saya sendiri—kenapa kawan-kawan UKI tidak mengindonesia saja? Apakah dengan mengindonesia [budaya], lalu keislaman kita akan berkurang?
Kawan-kawan yang budiman,
Saya ingin menunjukan bahwa seringkali simbol-simbol keagamaan yang kita kenakan menghalangi kita menuju inti atau semangat agama itu sendiri. Lalu dengan simbol-simbol itu lahirlah jarak antara saya dengan kawan-kawan. Jika demikian, saya rasa dakwah yang akan kita lakukan terbentur pada masalah yang sebenarnya tidak terlalu bermakna. Lalu, saya pun kembali bertanya, kenapa hal ini terjadi?
Saya yang NU ini mungkin memiliki perbedaan pemahaman Islam dengan kawan-kawan yang ada di UKI. Dan sayangnya, pemahaman yang seperti saya ini, Islam tradisional—menurut Deliar Noer, meskipun klasifikasi ini sudah terbantahkan—tidak terakomodasi dalam [i]slam-nya a la UKI. Saya melihat, Islam yang dikembangkan oleh UKI adalah Islam Timur Tengah, bahkan lebih mengkerucut Islam a la Hasan al-Banna. Di Timur Tengah, Mesir—jika saya tidak salah—Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya adalah anak zamannya yang berhasil membangkitkan Islam dari tidurnya dalam menghadapi kolonialisme. Saya ingin menegaskan bahwa gerakan a la Ikhwanul Muslimin memiliki keterbatasan konteks sejarah, yakni Timur Tengah. Dan saya percaya bahwa ketika model itu diimpor ke dalam konteks Indonesia, akan menjadi model yang relatif asing. Yang perlu diingat saya tidak sedang menyalahkan, mengkafirkan Banna. Saya hanya sedang mengutarakan model gerakan Islam yang dikembangkan oleh UKI FISIP. Bahkan saya menaruh simpati kepada Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya.
Dengan mengadopsi Islam a la Ikhwanul Muslimin itu, akhirnya dakwah yang dikembangkan kawan-kawan UKI pun menjadi tercerabut dari akar keindonesiaannya. Karena dari struktur ide-nya saja merupakan struktur imporan. Saya rasa akan lebih menarik jika UKI mampu menampilkan keragaman Islam yang ada di masyarakat kita. Artinya, sebagai lembaga milik bersama, seharusnya juga UKI mampu dan mau mengakomodir pemahaman, pendekatan Islam yang beraneka warna itu. Saya akan mengajukan satu pertanyaan reflektif kepada kawan-kawan, secara kuantitatif mahasiswa Islam di kampus orange ini adalah banyak. Tetapi, berapa persenkah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak, dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan lembaga dakwah ini? Mungkin kurang dari 10 %. Atau ...?
Kawan-kawan seiman,
Satu pertanyaan saya di atas sebenarnya dapat dijawab secara berbeda. Buktinya, setiap tahun ajaran baru, mayoritas mahasiswa baru mengikuti kegiatan UKI, yakni Pendampingan Pendidikan Agama Islam [PPAI], yang konon katanya jika tidak mengikuti pendampingan itu nilai kuliah [Agama Islam] akan hilang 20%. Akhirnya, mau tidak mau mayoritas mahasiswa baru mengikuti, dengan sadar ataupun terpaksa.
Saya tidak ingin membahas keikutsertaan mereka secara sadar atau tidak. Saya ingin menanyakan kepada UKI, dus Pembina UKI, dan kawan-kawan semua, sebenarnya apa manfaat dari PPAI itu? Dulu, ketika saya mengikuti program pendampingan itu, yang saya rasakan adalah pendoktrinan. Saya tidak pernah diperhatikan bahwa saya NU, bagaimana pemahaman keagamaannya, penghayatan, pendekatannya dan seterusnya. Saya hanya menerima banyak tausyiah [nasehat] dari kakak-kakak pendamping yang nota benenya adalah kawan-kawan UKI. Sehingga saya menanya, apakah memang mereka lebih mengetahui Islam daripada saya? Atau memang benar mereka lebih memahami [i]slam daripada saya.
Selain itu, hal yang lebih menarik adalah silabus [materi] dalam proses pendampingan yang dulu saya jalani hanya berbicara seputar itu-itu saja. Ini pun saya rasakan sewaktu kuliah Agama Islam. Masih memberikan banyak porsi berbicara tentang ibadah ritual, yang menurut saya hal itu sudah rampung ketika kita SMA. Bayangkan, dari SD sampai SMA kita sudah banyak menerima ajaran-ajaran keagamaan, baik dari lembaga formal maupun informal. Saya hanya ingin memberikan saran, jika memang pada titik tertentu program PPAI secara rasional bermanfaat, cobalah untuk mengontekskan silabus dengan realitas [isu-isu terkini] yang sudah bergerak jauh. Selain itu, saya berharap agar ajaran tasamuh [toleransi] dalam perbedaan, baik dalam PPAI maupun kuliah Agama Islam, mendapatkan porsi yang mencukupi. Saya rasa dalam pergulatan Islam yang akhir-akhir ini banyak mendapat kritikan, tidak mencukupi jika silabus PPAI ataupun kuliah Agama Islam lebih memberikan hal-ihwal tentang ritual agama. Apakah agama hanya solat, puasa, zakat, dan seterusnya? Saya rasa tidak!
Kawan-kawan rohima kumullah,
Sudah panjang saya berbicara. Saya takut dengan panjangnya tulisan ini menjadi bertambah beban yang harus saya terima. Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa dalam kerendah-hatian, sebagai sesama makhluq yang tengah mendekati kebenaran sang Khaliq, akan lebih pantas manakala kita mau dan mampu berbagi pengalaman keagamaan antara satu dengan yang lain. Antara saya yang NU, UKI yang lebih Banna-ian, dan kawan-kawan lainnya yang saya rasa memiliki afiliasi pada salah satu organisasi atau aliran tertentu.
Ketika kita mau dan mampu berbagi pengalaman keagamaan itu, saya rasa hal ini akan lebih menarik, dakwah akan lebih dinamis dan sekat antara saya dengan UKI pun menjadi kian terkikis. Jika suatu tempo hal ini terjadi, maka keinginan saya untuk turut bergabung bersama kawan-kawan UKI, untuk berbareng ber-fastabiqul khoiroot akan bersemi kembali.
Untuk segala kekurangan, kesalahan serta kelancangan saya dalam surat ini, saya mohon maaf kepada pihak-pihak terkait. Saya hanya sedang berusaha mendialogkan uneg-uneg saya dari sudut subyektif saya sendiri. Dan semoga uneg-uneg saya ini mendapat tanggapan yang mencukupi, baik oleh Pengurus UKI, lebih-lebih Pembina UKI ataupun kawan-kawan lainnya dalam format yang sama [surat terbuka].
Akhirnya, dengan berucap ihdinashshiroothol mustaqiim, segala puji bagi Allah, Tuhan segala Alam, Tuhan yang Kasih. Dalam kebenaran-Nyalah semuanya akan kembali. Wallahu a’lam bishshowaab []
Blogger Comment
Facebook Comment