Metamorfosa Kapitalisme


Oleh: Firdaus Putra A.

Dan usaha-usaha ekonomi dibebaskan dari kontrol yang semena-mena [negara] itu, katanya nasib manusia dapat diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan, sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan pada tempat yang paling cocok [spesialisasi]. Daerah-daerah dunia dapat mengkhususkan dalam bidang poduksi di mana mereka lebih mampu. Bisa jadi melalui proses-proses ini, kaum kaya akan menjadi lebih kaya, tetapi tidak apa-apa. Karena lewat pertumbuhan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah (trickle down ) secara sedikit demi sedikit, untuk memperkaya rakyat jelata pula.

[Harman: 2003]

Avant-ProposSEBENARNYA globalisasi atau kapitalisme global sudah dimulai semenjak 1968 atau era 70-an. Di Indonesia hal ini ditandai dengan dikeluarkanya kebijakan deregulasi pasar. Ladang ekonomi dibuka lebar bagi pemain-pemain swasta, baik investor asing lebih-lebih dalam negeri. Dalam konteks keindonesiaan kapitalisme global kala itu dipandang sebagai obat mujarab atas berlakunya sistem sentralisme ekonomi yang melahirkan ekonomi biaya tinggi. Liberalisme pasar dipandang sebagai berkah, penolong ketika negara mengalami masa-masa resesi ekonomi (Juoro: 1990).

Sewaktu itu, ide liberalisme ekonomi banyak sekali dibicarakan, diseminarkan, bahkan dikampanyenkan oleh berbagai cendekiawan yang rata-rata lulusan uiversitas luar negeri (untuk tidak mengatakan mayoritas dari AS). Sampai mereka memiliki komunitas yang didukung oleh banyak kalangan; intelektual, pengusaha, politisi dan sebagainya. Dalam bahasa lain Rizal Mallarangeng (2004) menyebut mereka sebagai ‘komunitas epistemis liberal’. Mereka tampil menjadi sebuah mainstream pemikiran ekonomi baru; gagasan pasar bebas menjadi anti-tesis dari sentralisme ekonomi ketika Soeharto memimpin. Namun apakah benar liberalisme ekonomi yang dulu bagi kita tampak sebagai obat mujarab sekarang masih memiliki keampuhan yang sama? Atau jangan-jangan dengan kondisi yang telah berubah (eko-politik) ide liberalisme ekonomi menjadi ancaman terhadap negara yang termasuk dalam kategori dunia ketiga, termasuk negeri ini?

Dalam konteks makro, kapitalisme global juga telah dimulai semenjak munculnya perdagangan antar benua. Bangsa Eropa yang membutuhkan rempah dari bangsa Asia bertukar dengan berbagai jenis produk-produk industri. Mereka bertemu di atas laut, transaksi pun terjadi. Tidak jarang jalur pelayaran antar perdagangan itu menghasilkan nama khasnya, seperti; jalur sutera, jalur perak dan sebagainya.

Sekarang globalisasi atau kapitalisme global kembali hangat dibicarakan. Banyak penolakan atas dirinya, tetapi tidak sedikit pula banyak para pelaku bisnis, ekonom yang berpandangan optimistis. Selanjutnya bagaimana kapitalisme global sendiri akan menampilkan dirinya di hadapan dunia ketiga? Apakah ia akan tampil pseudo-humanis atau menindas, menghisap dan seterusnya? Apa pun tampilan kapitalisme global, seramah apa pun, ia adalah virus yang sama; menghisap kekayaan suatu negara, merusak alam, menambahlebarkan jarak sosial, membunuh kearifan lokal dan seterusnya. Kemungkinan apa yang akan terjadi terhadap dunia ketiga—di mana negeri ini sebagai salah satunya—ketika kapitalisme global telah sedemikian rupa menjadi keharusan?

Metamorfosa Si GuritaKAPITALISME adalah energi yang selalu hidup dan bermetamorfosa sesuai alam mengehendaki. Ia secerdas Einstein, selicik rubah dan semanis Monroe. Sudah sekian kali ia berubah baju—dengan isi yang sama—untuk mewujudkan hasratnya yang tidak pernah kesampaian. Tahap awal ia menampilkan diri sebagai sosok yang beringas dan merusak.
Kapitalisme menyejarah dalam darah, mayat, kehancuran, tembakan, kematian, tangis, bom, bayonet, dan seterusnya. Ia menyejarah dalam kolonialisasi yang berlangsung beradab-abad lamanya. Energi untuk menjajah wilayah lain dengan dilatari oleh semangat Glory, Gold dan Gospel. Kolonialisasi, merupakan tahap awal dari kapitalisme ketika ia sadar bahwa di luar sana banyak terdapat bahan baku guna menjalankan manufakturnya. Ia juga sadar bahwa di luar sana terdapat banyak sumber daya manusia yang dapat dijadikan pekerja cuma-cuma.

Ketika itu peradaban manusia memendam kekecewaan terhadapnya. Kolonialisasi telah meluluhlantakan sendi-sendi kehidupan di bumi. Peri kemanusiaan menjadi hilang, wilayah mengalami kehancuran, ribuan hingga juataan nyawa melayang, dan seterusnya. Kolonialisasi dicap sebagai tindakan yang jauh dari peri kamanusiaan. Pada akhir kejayaannya ia dikecam oleh masyarakat dunia. Perang Dunia I dan II sebagai puncaknya, dimaklumi sebagai hikmah yang jangan sampai terulang kembali. Rekonsiliasi pun dibuka, satu negara dengan negara yang lain saling memafkan dan mengikhlaskan—meskipun dengan sedikit-banyak kompensasi.

Masa baru telah tiba. Jauh dari model-model kekerasan fisik, jauh dari tembakan, bom, darah dan sejenisnya. Kapitalisme tahap kedua menampilkan diri dalam dirinya yang ‘manusiawai’. Ia tampil dalam energi pembangunan. Pembangunanisme menjadi energi gerak baru dalam membangun puing-puing yang oleh kolonialisasi hancurkan. Negara maju (dunia pertama) menjadi promoter—karena merasa bertanggungjawab, atau ada kepentingan terselubung?—untuk membangun kembali negeri-negeri yang telah mereka hisap, taklukan. Indonesia menjadi salah satu di antaranya, dalam bentuk developmentalism Indonesia diterapi sedemikian rupa.
Dalam developmentalism tidak seindah yang dibayangkan; ia ternyata berubah menjadi bentuk penjajahan gaya baru (Fakih: 2003). Bukan lagi melalui kekuatan fisik-persenjataan, penjajahan dalam masa ini lebih ditekankan pada rasa ketergantungan negara berkembang (dunia ketiga) terhadap negara maju (dunia pertama dan kedua). Ketika itu paradigma pembangunan negeri ini pun diimpor dari dunia pertama. Meskipun paradigma tersebut dapat optimal, kenyataannya ketika diterapkan di dunia ketiga tidak demikian. Yang lahir justru penghisapan dan ketergantungan yang akut. Kedua kalinya kapitalisme tidak produktif bagi kemanusiaan.

Dan terakhir kapitalisme bermetamorfosa dalam bentuknya yang paling canggih; kapitalisme global atau globalisasi. Ide ini disokong oleh semangat neo-liberalisme. Sebuah semangat untuk membuka pasar sebebas-bebas dan seluas-luasnya sehingga satu perdagangan antarnegera dapat berjalan dengan cepat. Neo-liberalisme menghendaki ekonomi satu negara dengan negara yang lain terintegrasi menjadi satu, ekonomi dunia. Sistem perdagangan menjadi mengglobal, dunia menjadi pasar bersama, batas negara, budaya, bangsa tidak lagi berlaku. Dunia menjadi layaknya desa. Produk antarnegera dipertukarkan dengan mudah, bukan hanya produk industri tenaga kerja pun bertukar tempat dengan mudahnya. Semuanya terjadi dengan satu prinsip, seefektif dan seefesien mungkin (Harman: 2003) .

Bentuk lanjut dari kapitalisme ini mengharuskan kegiatan ekonomi berjalan dalam logika yang rasional. Tidak hanya rasional (untung/rugi) tetapi seefektif dan seefesein mungkin. Seringkali dengan logika ini ia menafikan dampak-dampak yang mungkin terjadi. Bagaimana pabrik sepatu Nike dipindahkan begitu saja dari satu negara ke negara yang lain karena negara yang dituju mampu menyediakan tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang minim. Ia tidak memperhitungkan beribu karyawan akan menjadi pengangguran dan membahayakan bagi perekonomian negera yang ditinggalkannya (LaFeber: 2003). Memang tindakan itu sepenuhnya rasional, tetapi apakah arif bagi kemanusiaan? Di sisilah pertanyaan bagi kapitalisme global lahir, bukan rasional atau rasionalisasi a la mereka, melainkan apakah arif bagi kemanusiaan, peradaban manusia?

Globalisasi di Dunia Ketiga
DUNIA ketiga adalah sebuah bentuk kategori bagi negeri-negeri yang berada di bumi bagian selatan. Di mana negeri-negeri itu secara ekonomi lemah dan masih dalam tahap perkembangan. Banyak juga negeri-negeri yang baru merdeka, sehingga pembangunan masih berada pada tahap awal. Dunia ketiga biasanya dilawankan secara tegas dengan dunia pertama dan kedua. Citra dunia pertama dan kedua adalah citra kemajuan, yang mayoritas berada di belahan bumi utara. Karena majunya mereka seringkali dijadikan parameter dalam perkembangan suatu negara. Dan tidak jarang dunia pertama sombong akan kemajuannya dengan menetapkan kemajuan dunia ketiga mengikuti logika yang sama dengannya.

Masa pembangunan, dunia pertama menyatakan bahwa negera-negara di kawasan dunia ketiga hanya bisa maju (modern) jika mengkuti tahap-tahap perkembangan dunia pertama. Mereka lupa bahwa setiap wilayah memiliki kekhasannya masing-masing. Bagi dunia ketiga, menjadi negara industri adalah sulit, mengingat basis tradisi mereka adalah pertanian. Berbeda dengan dunia pertama yang telah melampui tahap itu. Pemaksaan logika ini berakibat pada mandulnya pembangunan di dunia ketiga (Fakih: 2003).

Lebih jauh lagi, banyak resep-resep pembangunan-khususnya ekonomi di dunia ketiga merupakan hasil impor dari dunia pertama. Sehingga yang nampak dipermukaan bahwa kemajuan dunia ketiga selalu dibayang-bayangi dunia pertama. Hingga muncul lontaran bahwa dunia ketiga akan maju, ketika kawasan dunia pertama mengalami kemajuan yang pesat. Mereka berpendapat akan lahir semacam trickle down effect yang akan menetes ke dunia ketiga. Seberapa benarkah mitos trickle down effect itu?

Memang benar perkembangan dunia ketiga selalu terbayang-bayangi negara dunia pertama, tetapi apakah pembayang-bayangan ini akan seperti yang diharapkan atau ada maksud lain dari usaha ini? Banyak cendekiawan dunia ketiga melihat bahwa yang terjadi justru terbalik. Proses membayang-bayangi itu justru bukan menguntungkan melainkan merugikan. Karena yang terjadi adalah dunia ketiga seringkali dihisap secara ekonomis oleh dunia perama. Resep ekonomi yang diberikan dunia pertama (pinjaman lunak, liberalisme pasar, pencabutan subsidi dan sebagainya) adalah dalam rangka memupuk keuntungan di belakang hari kemudian. Jadi resep ekonomi itu bukan resep yang cuma-cuma, malah lebih nampak sebagai benalu yang menggerogoti tubuh. Kita tentunya masih ingat bagaimana IMF menghisap kekayaan Indonesia dengan berbagai resep yang terlihat rasional (Wibowo: 2002).

Hal ini juga yang akan berlaku pada dunia ketiga ketika globalisasi menampakan dirinya. Dunia ketiga masih tetap akan terbayang-bayangi oleh dunia pertama, seperti tumbuhan perdu yang terbayang-bayangi oleh pohon besar, akhirnya mati karena tidak mampu menyerap energi dari cahaya matahari.

Dunia ketiga dalam globalisasi masih tetap akan menjadi pelengkap penderita, dan sebagai pemain intinya adalah dunia pertama. Dunia ketiga hanya dijadikan tempat perang canggih ini. Diobrak-abrik demi keuntungan mereka. Selanjutnya, kenapa mereka mengalihkan arena perang dari dunia pertama ke dunia ketiga? Hal ini terjadi bukan tanpa perhitungan, seperti kapitalisme yang sangat rasional, alih arena perang ini pun sangat rasional (menguntungkan) bagi mereka. Sedikitnya ada lima alasan meraka menjadikan dunia ketiga sebagai perang ekonomi skala besar (Harman: 2003), pertama, kawasan dunia ketiga mampu menyediakan tenaga kerja yang relatif banyak. Tidak hanya banyak tetapi juga dengan upah yang murah.
Secara ekonomis hal ini akan menguntungkan karena mengurangi biaya produksi. Kedua, tersedinanya tempat untuk produksi dan dekat dengan bahan baku. Karena kawasan dunia ketiga yang masih dalam tahap berkembang sehingga hal ini tidak cukup sulit dan sedikit rival dalam bermain, sangat menguntungkan bagi mesin-mesin perusahaan. Ketiga, prosedur penanaman investasi yang mudah. Hal ini terjadi mengingat rata-rata negara yang masih berkembang itu membutuhkan dukungan investasi bagi modal pembangunan. Seperti Indonesia yang berorientasi pada investasi dari luar negeri. Keempat, selain upah buruh yang murah dan tersedian dalam jumlah yang banyak banyak, tingkat kesejahteraan dan perlindungan buruh relatif rendah. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan untuk menekan buruh agar tidak berbuat yang neko-neko. Kelima, lingkungan alam yang masih bagus. Hal ini tentu saja tidak akan ditentang oleh para aktifis lingkungan hidup. Berbeda jika mereka mendirikan pabrik-pabrik di kawasan negara maju, di mana lingkungan alam telah rusak. Resiko untuk terkena sanksi semakin lebar. Lima alasan itulah yang menjadikan dunia ketiga sebagai alih arena yang menjanjikan. Sekali lagi, dunia ketiga hanya sebagai pelengkap penderita an sich.

Efek MetamorfosaSELANJUTNYA bagaimana nasib dunia ketiga, ketika ia diposisikan sebagai pelengakap penderita, arena perang ekonomi raksasa negara-negara maju? Kemalangan hingga titik nadirlah yang akan didapat. Dunia ketiga hanya akan mendapatkan sepah dari sari yang telah mereka hisap. Dunia ketiga akan menjadi dapur dan juga tempat sampah raksasa bagi produk-produk yang dibuat dalam jumalh luar biasa banyaknya.

Tempat sampah raksasa, hal ini juga yang dilihat oleh dunia pertama. Mereka melihat potensi yang cukup besar untuk menjual produk-produknya di kawan itu. Bisa dikatakan tujuh dari sepuluh konsumen berada di dunia ketiga (Bakrie: 2004). Artinya potensi pasar yang demikian menggiurkan dan menjanjikan. Jika hal ini benar, bukankah akan menjadi trickle down effect seperti yang diharapkan itu? Mengingat produk yang dijual relatif murah. Tidak sesederhana ini, memang benar produk dari industri dunia pertama relatif murah—tenaga kerja melimpah, upah murah, tingakt perlindungan rendah, prosedur mudah dan seterusnya, yang akan terjadi adalah gelombang balik dari produk-produk itu. Dunia ketiga akan kebanjiran produk-produk luar negeri dan ini dapat secara signifikan mematikan para pengusaha dalam negeri yang nota benenya bermodal rendah. Jika para pengusaha pribumi tidak dapat menjual produk yang sama dengan harga yang lebih murah, sama minimalnya berarti mereka telah menggalikan liang kubur bagi para pengusaha pribumi. Tentu saja pengusaha pribumi tidak akan mampu melawan konspirasi modal yang demikian besar. Mereka akan gulung tikar dan menjadi bulan-bulanan dari pasar dunia (Harman: 2003).

Efek domino selanjutnya adalah pendukung utama perekonomian negara bukan lagi para pengusaha pribumi, melainkan pengusaha luar—minimalnya TNCs atau MNCs yang bermodal. Artinya kebijakan pembangunan negara akan lebih ditentukan oleh mereka dari pada kebutuhan dalam negeri. Penjajahan gaya baru dan lebih canggih sedang terjadi. Negara-negara dunia ketiga tidak lagi memiliki otonomi atas pembangunan di negerinya. Ia menjadi kerbau besar yang dicocok hidungnya dan hanya mengikuti kemauan para pemodal raksasa (Bonnie: 2000). Dalam konteks kekinian hal ini dapat kita lihat pada kebijakan pencabutan subsidi BBM yang sebenarnya dalam rangka menyamakan harga minyak dalam negeri dengan harga pasar dunia. Proteksi menjadi hilang, dalam beberapa bulan tidak menutup kemungkinan jika Pertamina akan tersaingi oleh Shell-perusahaan minyak Amerika Serikat ataupun Petronas-Malaysia. Indonesia menjadi tamu di rumahnya sendiri, para pemain luar akan lebih menguasai rumah besar ini.

Dampak yang lain adalah guna menghidupkan mesin-mesin industrinya, agar produk selalu terjual, dan tidak mengalami over production mereka harus melakukan iklan atas berbagai barang dagangan. Memang wajar jika pasar erat kaitannya dengan dunia advertsing, tetapi dalam tempo yang lama serta massif, masyarakat dunia ketiga sebenarnya sedang dikonstruk untuk menjadi masyarakat konsumtif. Ia diposisikan sebagai konsumen yang penurut, dan hanya diijejali banyak produk yang mungkin tidak mereka butuhkan. Banjir produk ini akan menjadikan masyarakat memiliki hasrat konsumsi yang besar. Satu produk belum terbeli, lahirlah produk berikutnya. Inilah logika kapitalisme, produksi, produksi dan produksi. Tetapi dalam perkembangan canggihnya ia akan nampak sebagai hasrat untuk konsumsi, konsumsi dan konsumsi. Sebuah kondisi yang cukup berbahaya bagi kelangsungan negara jika tidak dibarengi dengan ketahanan dalam negeri.

Lebih kasat mata dari itu, dengan berpindahnya arena perang pemodal raksasa, ancaman besar akan dating pada rusaknya ekosistem alam. Kerusakan ekosistem alam ini menjadi resiko dari mesin produksi yang selalu menghasilkan banyak polusi. Apalagi biasanya pabrik-pabrik besar berproduksi dalam tempo puluhan tahun dengan polusi lingkungan yang berbahaya. Kasus terkini adalah pencemaran yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi yang telah merusak ekosistem air dan mengakibatkan masyarakat sekitar terkena penyakit Minamata. Perusahaan besar milik AS hanya bisa melihat dan berkilah, karena untuk membuang limbah merkuri yang aman (di kedalaman tertentu) akan sangat membutuhkan biaya, atau jika mereka memberikan santunan terhadap masyarakat sekitar. Yang terbaik adalah mencari kambing hitam (para penambang liar) dan membeli sejumlah penelitian dari banyak universitas. Dan akibat yang mungkin belum dirasakan adalah sehabisnya masa kontrak PT. Freeport di Irian Jaya lingkungan alam di sana akan menjadi gersang dan menjadi lahan kritis. Hal ini terjadi karena limbah merkuri dari penambangan emas yang telah lama terendap dan menjadi lumpur. Ancaman-ancaman besar terhadap lingkungan alam; hutan gundul—guna wilayah industri, pencemaran air, tanah, udara, rusaknya ekosistem hutan, rusaknya cara produksi lokal sebagai rasio bertahan masyarakat lokal, dan seterusnya adalah social cost yang akan dinikmati oleh kawasan dunia ketiga (Fakih: 2003). Sedangkan saat titik nadir itu datang, mereka-para pemodal baik dalam maupun luar, TNCs-MNCs telah keluar jauh dan sedang menikmati kekayaan hasil eksploitasi alam yang luar biasa besarnya. Dan masyarakat dunia ketiga ditinggal dengan setumpuk kemalangan.

Hal di atas pada dasarnya senada dengan apa yang disampaikan oleh Paus Paulus II (dalam Susilo: 2005), bahwa efek lain dari globalisasi adalah berlangsungnya sebagai perusakan atas yang miskin oleh kapitalisme ekonomi, ia cenderung mendorong negara-negara miskin ke pinggiran dalam hubungan ekonomi dan politik internasional. Globalisasi menjadi versi baru kolonialisme.

Dalam kenyataan, kekayaan yang diproduksi sering mengarah ke sistem global yang dikuasai oleh beberapa pusat dalam tangan individu-individu swasta. Dan banyak negara di dunia ketiga tidaklah cukup kuat untuk menahan pusaran ekonomi pasar global. Dalam proses globalisasi, jurang antara negara kaya dan miskin justru melebar.

Pada aspek kebudayaan, globalisasi cenderung menstandardisasi nilai-nilai yang cocok dengan pasar yang didasari paham utilitarian. Globalisasi memaksa logika pasar dan mengurangi wilayah yang memungkinkan manusia melakukan hal-hal sukarela dan publik.
Ekonomisasi kehidupan bergerak dan menyebar ke seluruh dunia dalam kecepatan yang amat tinggi. Pasar menekankan cara berpikir dan bertindak dan mengukur skala nilai atas perilaku. Yang diglobalkan adalah kebudayaan yang sekularistik dan materialistic.

Closing StattementBERMETAMORFOSA seperti apa pun kapitalisme selamanya tidak akan pernah ramah terhadap manusia dan kemanusiaan. Globalisasi adalan icon terdekat dan terkini yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan khususnya bagi kawasan dunia ketiga. Ia bagaikan gurita yang dengan tangan-tangan panjangnya menangkap mangsanya dan kemudian melahapnya. Tidak hanya satu dua mangsa ia kejar, tiga bahkan lebih banyak lagi ia kejar-makan. Ia tidak akan pernah puas hingga dunia ini hancur.

Selain itu mitos-mitos di seputar kapitalisme, khususnya mitos kemakmuran a la neo-liberalisme patut diwaspadai. Karena sejarah telah memperlihatkan kepada kita bagaimana trickle down effect menjadi mitologi yang manis ketika di dengar. Para pengabar kapitalisme global, pun neo-liberalisme selalu akan menyeru bahwa di dalam sistem itu terdapat peluang yang besar untuk segenap kemakmuran masyarakat. Pertanyaan akhir, masyarakat yang mana yang akan dimakmurkannya? Yang jelas bukan mesyarakat Dunia Ketiga yang justru merupakan tempat sampah raksasa bagi mayoritas produk mereka.

Dalam berbagai kemasan apa pun kapitalisme (baca: globalisasi) harus ditolak. Tetapi bukan hanya menolak tanpa ada upaya untuk menjembatani kelangsungan sejarah. Ia harus ditolak dengan cara yang kritis serta arif. Masa depan peradaban manusia tengah dipertaruhkan ketika menghadapi si gurita raksasa ini. Kalah berarti hancur, menang berarti makmur.[]

Referensi
Bakrie, Aburizal. 2004. Merebut Hati Rakyat: Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: PT. Primedia Pustaka.
Fakih, Mansour. 2002. "Globalisasi dan Dampaknya" dalam Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik. Yoyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST PRESS.
Harman, Crish. 2003. Anti-Kapitalisme. Yogyakarta: TePLOK PRESS.
LaFeber, Walter. 2003. Michael Jordan dan Neo-Kapitalisme Global. Yogyakarta: Jendela.
Mallarangeng, Rizal. 2004. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: Freedom Institute.
Setiawan, Bonnie. 2000. Stop WTO!: dari Seattle sampai Bangkok. Yogyakarta: INFID.
Sumber lain
Susilo, Basis. "Paus dan Globalisasi Kemanusiaan", dalam http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=165024. 5 April 2005
Wibowo, I. Kompas. "Gambaran Global Sangat Rumit". 27 April 2002
Juoro, Umar. 1990. "Persaingan Global dan Ekonomi Indonesia Dekade 1990an". Prisma. Jakarta: LP3ES.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment