Nadia, Shasha, Donat, Entrhee

Oleh: Firdos Putra A.

Seharian aku di luar kota, Banjarnegara. Berangkat dari Purwokerto sekitar jam sembilan pagi. Meskipun rencana awal rombongan akan berangkat pukul 07.30. Tapi karena kita hidup di Indonesia, akhirnya waktu yang molor menjadi semacam kewajaran. Atau pun, memang kita sudah menyediakan toleransi beberapa jam untuk mundur.

Keberangkatanku ke Banjarnegara bukan dalam rangka liburan, melainkan dalam rangka menunaikan ‘tugas suci’, yakni mempererat tali silaturrahmi. Dulu, aku dan rombongan pernah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sana. Tepatnya di sebuah desa yang unik, Kandang Wangi. Dulu kala, konon katanya ada seorang Putri yang terdesak dalam sebuah pengejaran. Lantas ia memasuki sebuah wilayah, atau lebih tepatnya lagi ‘terkandang’ di wilayah itu. Putri itu lantas menjadi tokoh panutan. Terbentuklah sebuah desa dengan nama Kandang dan karena Putri, lantas ekspresi Wangi dimunculkan sebagai pertanda keperempuanan. Seperti juga Goenawan Mohammad menyebut perempuan penulis sebagai ‘sastrawangi’.

Purwokerto – Banjarnegara seperti biasanya menghabiskan dua jam perjalanan. Aku rasa waktu yang cukup untuk membuat kaki, pinggang, punggung kita pegal-pegal. Tidak banyak yang berubah dari desa yang sembilan bulan lalu aku tinggalkan dengan masalah. Orang yang ramah, jamuan makan siang a la kadarnya, serta salak sebagai hasil kebun khas masyarakatnya. Mungkin ada satu perubahan, sekarang desa tersebut mempunyai Kepala Desa baru.

Silaturrahmi kami berjalan bak silaturrahmi ketika Idul Fitri. Masuk ke satu rumah, ngobrol ngalor-ngidul, tak lupa menanyakan keadaan, kegiatan dan sebagainya. Seandainya tidak ada teman-teman yang kocak, aku yakin silaturrahmi hari itu akan berjalan dengan hambar dan kaku.

Beberapa jam di Banjarnegara, ingatanku tentang KKN kembali terangkat ke permukaan. Salah satunya tentang seorang teman bernama Nadia. Namanya pendek, hanya Nadia. Dulu, ketika awal aku kenal, aku bertanya siapa nama panjangnya. Dan ternyata memang hanya Nadia. Tidak lebih dan tidak kurang. Memang aku terbiasa dengan nama panjang. Sebutlah namaku, Firdaus Putra Aditama. Mbakku, Izzana Murniati. Dan masku, Azza Pringganafita. Meskipun ada satu nama pendek yang senantiasa menemani hidupku, Wahyuningsih, pacarku. Tapi rasanya ada yang kurang kalau nama seseorang hanya satu kata. Pernah juga aku becanda dengan pacarku, bagaimana kalau namanya ditambah-dirubah misal, Farah Ayu Wahyuningtyas. Sepertinya bagus. Dan juga nama Nadia ditambah-dirubah menjadi, Nanda Nadia Nirmalasari, dengan panggilan Entrhee [N3]. Mungkin akan lucu.

Ketika KKN Nadia lebih akrab dipanggil Shasha. Waktu itu ia rada manja, kadang kelihatan rada tulalit. Temanku David dipanggil Pak Hendra. Si Deni akrab disapa Pak Taka. Si Muhajir biasa dipanggil Sayuti. Kolita yang gendut dipanggil Mpok Odah. Dan aku sendiri disapa Mail. Dalam beberapa minggu kami seakan-akan terhanyut dalam drama OB yang ditayangkan di RCTI. Dan yang lebih aneh, Nadia terlihat menikmati perannya sebagai sosok Shasha yang seperti itu. Ya benar, ia dimanja oleh banyak orang, khususnya oleh Sayuti dan Pak Taka.

Aku heran, mengapa orang bisa berperilaku sedemikian rupa? Pernah aku pinjam pisau analisis Teori Dramaturgis untuk menjelaskannya. Mungkin demikian penjelasannya; sewaktu di KKN, kehidupan bersama di dalam satu rumah (Bpk. Sumadi) kita asumsikan sebagai front stage atau panggung depan. Melalui konsensus atau kesepakatan, dramaturgis OB dipentaskan. Setiap orang memerankan watak sesuai dengan nama dan karakternya. Script skenario adalah aktivitas sehari-hari yang dimunculkan sebagai reality show. Alhasil, kelompok KKN-ku pantas mendapat apresiasi sebagai ‘penjiplak OB’ yang berbakat. Tapi, jika aku diminta untuk menilai siapa yang paling bagus perannya, aku akan memilih Nadia. Dia sosok yang benar-benar merepresentasikan Shasha dalam beberapa hal. Kecuali mungkin sebenarnya dia tidak sebodoh, setulalit, setelmi Shasha.

Lambat laun aku lebih akrab dan ingat nama-nama kelompokku dengan nama tim OB. Seperti hari itu, saat berkunjung ke Banjarnegara, aku lupa nama Deni yang sebenarnya. Aku lebih ingat dia adalah Pak Taka. Keunikan-keunikan individu lebih mudah aku ingat daripada persamaan antara satu dengan yang lainnya.

Selepas KKN, Nadia alias Shasha berganti nama. Teman-teman sering memanggilnya Donat. Aku sendiri demikian. Namun, aku baru tersadar ketika hari itu. Kenapa muncul panggilan Donat untuk Nadia? Toh badannya tidak mirip sekali dengan Donat. Tidak ada lubang yang menganga besar di badannya, atau sebulat tubuh yang melingkar. Kalau boleh aku usul, sebenarnya panggilan Donat lebih pantas untuk Kolita.

Di sepanjang perjalanan aku berpikir keras. Akhirnya aku dapatkan. Donat diambil dari suku kata ‘nad’ di awal kata Nadia. Tapi kenapa ada ‘do’ di depannya? Apakah ‘do’ di sini berarti perbuatan atau pekerjaan seperti dalam kamus Inggris? Atau ‘do’ di sini adalah salah satu tangga nada; ‘do,re,mi,fa,so,la,si,do’. Atau lainnya?

Yang jelas panggilan Donat lebih populer saat ini. Ketika dia sebentar lagi akan diwisuda, bulan Maret 2008. Bisa jadi atmosfir yang melingkupinya adalah atmosfir tentang kebimbangan, kebingungan, kecemasan akan ke mana dia setelah studinya selesai. Seharusnya orang dengan talenta sebaik dia tidak perlu cemas atau khawatir. Dia sangat jago bahasa Inggris. Di antara teman-teman KKN-ku, dia lah penerjemahku ketika aku hendak ngobrol dengan Presiden Bush di alam mimpi. Tidak seperti aku, belajar bahasa Inggris dari SMP sampai Perguruan Tinggi, tetap saja sama. Aku iri dengan talentanya.

Sayangnya, Donat kurang pro-aktif. Bayangkan saja apa yang bisa dia lakukan dengan talentanya? Kalau aku, aku akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang beasiswa luar negeri. Juga tentang proyek penelitian yang didanai oleh funding-funding internasional. Atau aku akan melanggan macam-macam jurnal kaliber internasional yang dipublikasikan secara gratis di www.sagepub.com/org. Atau aku akan mencari kegiatan seminar, lokakarya dan sebagainya bertaraf internasional yang sifatnya gratis. Atau aku akan menulis blog dalam bahasa Inggris agar mendunia. Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan dengan talentanya? Karena hal itu, aku berpikir, Donat akan lebih tepat jika menjadi Do Nad? Apa yang [akan] kamu kerjakan Nad?

Meskipun teman-teman secara bebas mengganti namanya, belum pernah dia menjalankan ritual selametan ‘bubur abang-putih’ pertanda penyematan nama baru. Aku punya seorang sepupu, Dewi Aisyah. Lebih akrab dipanggil A’is. Karena sakit terus menerus, suatu ketika namanya dirubah menjadi Dewi Maryam. Tidak lupa Budeku membuatkan bubur abang-putih untuk memperingatinya. Dan sekarang, sepupuku sehat dan gemuk.

Coba bandingkan, sudah berapa kali Nadia berganti nama? Mulai dari Nadia, menjadi Shasha, lantas Donat dan yang terakhir Nanda Nadia Nirmalasari, semuanya tanpa selamatan. Mungkin karena inilah Nadia sering mengalami masalah; mulai dari masalah perjodohan, karir, peruntungan, kesehatan, emosi dan sebagainya. Jadi, aku sarankan agar dia menggelar selamatan, siapa tahu dengan itu hidupnya akan lancar. Atau kalau dia tidak percaya, aku sarankan untuk, "berdoa dengan khusyuk, semoga sampai di tujuan dengan selamat, atau tutup mata saja". []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment