
Oleh: Firdaus Putra A.
"Saatnya keluar dari nalar dogmatis, menuju nalar post-dogmatis.
Dalam sebuah komitmen kemanusiaan
kita akan menemukan dialektika teks dengan
konteks yang humanis serta berkeadaban."
(State of Mind ‘Religion’)
(State of Mind ‘Religion’)
Avant propos
MEMBICARAKAN nikah mut’ah pasti dengan sendirinya pikiran kita akan tertuju pada segolongan muslim yang menamakan dirinya sebagai syi’iy atau pengikut Syi’ah. Memang benar, nikah mut’ah lebih menemukan tempat di tengah-tengah golongan tersebut, daripada lainnya, misalkan Sunniy. Kelompok yang terakhir ini bahkan seringkali melarang pernikahan jenis ini, yang berakhir pada konflik berkepanjangan antara Syi’ah dengan Sunniy.
Meskipun terdapat perbedaan dalam menstatuskan nikah mut’ah, yang menjadi menarik bahwa baik Syi’ah maupun Sunniy, keduanya berangkat dari teks Quran yang sama. Sehingga, bisa jadi perbedaan terjadi ketika masing-masing golongan melakukan proses interpretasi teks.
Persoalan perbedaan interpretasi teks menjadi masalah ketika, secara fakta di lapangan membuktikan bahwa terdapat lebih dari 2.500 anak dan janda (data di negara Iran) yang terlantar karena pernikahan itu. Selain itu, di beberapa daerah, Yogyakarta salah satunya, ditemukan beberapa mahasiswi mengidap penyakit kelamin sekaligus setelah melakukan nikah mut’ah. Yang lebih esensial dan mendasar, seringkali kacamata nikah mut’ah mereduksi hakikat manusia yang unik menjadi sebatas homo sexualis. Artinya, sepertinya manusia itu hanya berfikir tentang seks dan bagaimana cara penyalurannya. Berangkat dari hal itu, maka perbedaan interpretasi di seputar teks, ternyata bukan berhenti pada perbedaan pemahaman, melainkan implikasi sosial atas tiap-tiap perbedaan pun sangat signifikan.
Syi’ah dan Sunni di Indonesia
DALAM perdebatan nikah mut’ah, lazimnya ada dua golongan yang berseberangan secara tegas. Dan masing-masing golongan itu memiliki dasar argumennya yang terlegitimasi oleh teks Quran maupun hadist. Golongan pertama berpendapat, bahwa nikah mut’ah sah hukumnya sesuai dengan Hadist, ketika seorang sahabat bertanya bagaimana menyalurkan hasrat biologisnya ketika berperang, mengingat mereka adalah manusia biasa. Masih menurut mereka, bahwa dalam teks Quran pun ‘menghalalkan’ pernikahan jenis ini, di mana disebutkan salah satu content-nya, setelah kita mendapatkan sesuatu (kenikmatan dst) maka hendaknya kita membayarkan maharnya. Artinya, menikahinya, meskipun dalam rentang waktu tertentu.
Sedangkan golongan terakhir berpendapat bahwa Hadist tentang nikah mut;ah sewaktu umat Islam berperang haruslah dipahami dalam konteks masanya. Juga perlu diingat bahwa ketika fathul makkah, Nabi sudah mencabut ketentuan hukum Hadist itu, dan mengharamkannya hingga akhir zaman. Selain itu, menurut golongan ini, teks Quran yang ‘menghalalkan’ nikah mut’ah, oleh sebagian ulama tafsir adalah teks yang terkena logika nasakh, atau dicabut ketentuan hukumnya. Sehingga umat Islam tidak perlu lagi untuk mengacu bunyi ayat itu secara tekstual untuk kemudian menjalankannya.
Sedangkan dalam Syi’ah sendiri terdapat dua golongan besar, yakni Zaidiyyah dan Imamiah. Dalam kesempatan ini justru akan lebih dibahas dua kelompok besar Syi’ah yang berada di Indonesia, yakni IJABI dan NON-IJABI. Dua kelompok ini pada dasarnya sama, yang membedakan adalah tingkat akses pengetahuan dan kapasitas intelektual yang dimiliki.
Kelompok yang disebut pertama, adalah kelompok yang mayoritas beranggotakan individu-individu dengan pendidikan yang cukup tinggi. Dari tingkat pendidikan inilah akhirnya, kelompok IJABI memilih perlu diadakannya lembaga formal yang menaungi para jamaahnya. Berbeda dengan golongan yang terakhir, dengan melihat konteks keindonesiaan, golongan ini melarang nikah mut’ah bagi pengikutnya. Dengan alasan bahwa nikah mut’ah tidak sesuai dengan akar budaya atau tradisi Islam di Indonesia karena mengakar pada tradisi Wali Songo (Sunni). Mayoritas anggota IJABI sendiri adalah orang pribumi yang mengikuti paham Syi’ah.
Sedangkan golongan terakhir, NON-IJABI, dengan tingkat pendidikan yang biasa-biasa saja, dalam aktivitasnya mereka tidak mendirikan lembaga formal. Lembaga yang ada hanya lembaga-lembaga informal; majlis ta’lim, jamaah masjid dan seterusnya. Berkenaan dengan nikah mut’ah, golongan ini masih memegang tradisi atau hukum ‘Islam’ tersebut. Mayoritas anggotanya adalah keluarga ahlul-bait yang lebih dikenal dengan habib, sayyid atau sebutan lainnya. Istimewanya, golongan ini memiliki akses langsung kepada wilayatul faqih yang berada di Iran.
Beyond TextMESKIPUN dalam konsep dasarnya, kontrak yang terjadi di dalam nikah mut’ah lebih ditentukan oleh perempuan, tetapi, dalam prakteknya tidak demikian. Yang ada justru hak-hak perempuan dikebiri, posisi perempuan tetap rendah. Beberapa unsur ini diperparah dengan konstruksi budaya, baik Iran maupun Indonesia yang patriarkhi. Selain dari konstruk sosial itu, parahnya, atas nama teks Quran dan Hadist, pernikahan mut’ah, diselewengkan menjadi sebuah mekanisme untuk melegalkan hubungan badan antara Pekerja Seks Komersil (PSK) dengan pelanggannnya. Jika realitas yang ada menunjukan demikian, bukankah nikah mut’ah sama artinya dengan sebatas pemenuhan hasrat seksual dan setelah itu tidak ada tanggungjawab untuk meneruskan ikatan sebagaimana mestinya.
Artinya, dalam logika ini, pernikahan direduksi pada sekedar media pelegalan hubungan seks. Padahal sedikitnya harus ada tiga unsur yang terangkum dalam fungsi pernikahan; ibadah, sebagai bentuk pelaksanaan sunah Nabi. Penyemaian cinta kasih antar lawan jenis, dan yang terakhir adalah hubungan biologis, itupun dimaknai dalam kerangka menjaga lestarinya spesies manusia.
Ketika, nikah mut’ah mendangkalkan tujuan pernikahan yang sesunguhnya, maka selain melihatpoada fakta empiris dari banyaknya ekses negatif yang ditimbulkan, maka perlu kiranya pemahaman yang beradasar ‘teks’ itu dirombak. Perombakan atau lazimnya dikenal dengan istlah dekonstruksi ini dilakukan berangkat dari konteks masalah kemanusiaan yang lebih riil daripada sekedar berbicara ‘dosa langit’ yang untuk menghindarinya justru melahirkan ‘dosa-dosa sosial’ lainnya.
Pemahaman atau interpretasi teks ini agar sesuai dengan visi kemanusiaan haruslah memenuhi lima prinsip umum atau al-kulliyaut khomsah. Lima prinsip umum ini terdiri dari; menjaga aqidah atau kepercayaan (agama), menjaga akal, menjaga harta, menjaga jiwa atau nyawa, menjaga kelurga-kehormatan atau nasab. Lima prinsip umum inilah yang seharusnya melatari setiap pengambilan putusan hukum (Islam), diharapkan hukum yang lahir memiliki visi kemanusiaan yang tegas, bukannya menegasikan manusia sebagai pelaku sejarahnya.
Pendekatan yang semacam ini artinya akan melampaui teks itu sendiri. Pendekatan ini akan menitik-beratkan pada tersampaikannya semangat agama yang esensial, daripada sekedar hanya menuruti apa kemauan teks. ‘Beyond text’, dalam konteks nikah mut’ah akan sedikit menjembatani antara ketaatan (kepada teks), alih-alih pencapaian kenikmatan ragawi yang sesaat. ‘Beyond text’ dapat dengan lantang menyuarakan bahwa ketaatan dapat tetap berjalan, tanpa harus memenuhi seruan teks yang literer. Dan ‘beyond text’, merupakan pendekatan yang humanis, serta komprehensif bagi logika penafsiran. Artinya, pendekatan jenis ini akan dengan sendirinya menolak nikah mut’ah karena dinilai bertolak belakang dengan lima prinsip umum yang disampaikan di awal. Penolakan ini tentunya berdasa pada penjagaan harkat dan martabat manusia, bukan hanya sebatas pada bagaimana menyalurkan hasrat seks yang terkemas seakan-akan ‘halal’.
Semacam PenutupSERINGKALI ‘dosa-dosa sosial’ yang manusia perbuat berangkat dari pemahaman mereka kepada ‘dosa langit’. Artinya, seringkali terjadi bahwa dalam rangka menjauhi ‘dosa langit’ (agar terhindar dari perzinahan) manusia justru melakukan ‘dosa sosial’ (anak dan janda yang terlantar) yang eksesnya lebih terasa. Untuk itu, masalah sosiologis tersebut harus juga terselesaikan dalam pijakan yuridis, filosofisnya. Jika tidak, maka solusi yang dilahirkannya pun hanya pada permukaan masalah, bukan inti masalah yang sesungguhnya.
Dalama menghindari ‘dosa langit’, seringkali seseorang mengambil justifikasi Teks Suci, untuk kemudian ia nisbatkan pada dirinya yang tentunya melegtimasi kepentingannya. Hal ini menjadi tambah rumit, ketika konstruksi budaya yang ada di masyarakat masih berwatakan bias jender. Sehingga, penafsiaran atas teks dan ‘dosa langit’ pun masih terpahami dalam kerangka yang sama, bias jender.
Nikah mut’ah secara sosiologis kita temukan bermasalah, di sisi lain, secara yuridis dengan adanya nasakh ayat, maka nikah mut’ah pun dianggap batal demi hukum. Sedangkan secara filosofis, hukum seharusnya bervisi kemanusiaan dan produktif bagi hidup serta kehidupan manusia, sehingga mengacu pada lima prinsip umum di atas, nkah mut’ah pun tertolak sebagai ‘produk hukum’. Oleh karenanya, tiga unsur dalam kebijakan tidak terpenuhi satu pun dalam nikah mut’ah, maka tidak alasan lagi untuk tidak menolak atau pun melarang pernikahan jenis ini. Buktinya, pernikahan jenis ini hanya meninggalkan kesengsaraan bagi sebagian anak-anak yang membutuhkan belaian kasih sayang orangtua. Pun, perempuan yang membutuhkan pengayoman, perlindungan suaminya secara batin mapun lahir. []
Blogger Comment
Facebook Comment