"Yang boleh bersekolah adalah yang pintar,
mempunyai uang,dan mampu—bagi mereka yang bodoh,
miskin, cacat tentunya tidak ada tempat bagi mereka"
Kita semua pernah melewati tahap-tahap ‘kehidupan’. Setelah SLTA kita dengan sendirinya digiring untuk berfikir : akan kuliah di mana? Atau setelah SLTP kita digiring mau masuk SLTA apa? Pun setelah SD kita bertanya, mau sekolah di mana?
Banyak pertanyaan berkenaan dengan akhir tahap ‘kehidupan’ kita yang sepertinya tanpa kita sadari telah sedemikian rupa menjadi kewajaran. Bahwa setelah SD kita ‘harus’ masuk SLTP. Selanjutnya SLTA, dan akhirnya S1, S2, S3 dan seterusnya. Sangking wajarnya hal ini, jangan-jangan kita sendiri lupa tujuan kita sekolah untuk apa. Jangan-jangan yang tertera di benak kita hanya melakukan kebiasaan turun-temurun orang tua, kakek-nenek kita. Jangan-jangan keinginan kita untuk melewati tahap-tahap ‘kehidupan’ itu hanya seperti keinginan kita makan pagi karena sudah semestinya, makan siang karena sudah siang dan seterusnya. Jangan-jangan kita lupa bahwa kita makan karena kita lapar. Kita lupa bahwa lapar, karena energi dari pembakaran karbohidrat dan unsur lainnya telah habis. Dan jangan-jangan kita lupa bahwa kita membutuhkan makan untuk kelangsungan hidup kita.
Ilustrasi sederhana berkenaan dengan kebutuhan makan di atas, saya rasa cukup menyentil, apakah saat kita ini sudah sepenuhnya sadar untuk apa kita sekolah dari SD, SLTP hingga kuliah? Seperti halnya kebutuhan makan di atas, yang sudah menjadi kebiasaan sedemikian rupanya, jangan-jangan pendidikan (baca: sekolah) yang kita lalui sudah sedemikian rupanya menjadi kebiasaan yang tidak perlu lagi untuk dipertanyakan.
Pendidikan, untuk apa?Satu pertanyaan sederhana, namun saya kira cukup filosofis. Artinya, pertanyaan tersebut adalah akar dari semuanya tentang pendidikan tentunya. Ada satu gambaran nyata yang saya kira pernah kita simak bersama. Saya masih ingat, satu iklan komersil yang disuguhkan oleh salah satu media massa nasional. Ada seorang perempuan yang memiliki dua gelar kesarjanaan. Yang perlu diperhatikan, ia tidak memilih bekerja di sebuah perusahaan besar, PNS, atau lainnya. Ia—dengan kapasitas keilmuan-gelarnya—lebih memilih mengabdikan dirinya pada masyarakat pedalaman di Kalimantan. Itulah yang secara sederhana saya maksudkan sebagai fungsi pendidikan kita.
Kita mengenyam pendidikan bukan untuk diri kita sendiri. Bukan hanya untuk masa depan diri, keluarga kita sendiri. Kita mengenyam pendidikan bukan hanya sebatas untuk memperoleh ijazah agar kita boleh bekerja di perusahaan, kantor dan seterusnya. Serta kita melakukan proses panjang ini (9 hingga 16 tahun) bukan hanya untuk mendapatkan angka-angka atau predikat cukup, baik, memuaskan dan bla …bla …bla ….
Saya hanya mencoba menyentil kesadaran teman-teman, bahwa ada yang lebih dalam dari fungsi pendidikan kita, dari pada hal yang saya sampaikan di atas. Adalah memanusiakan manusia atau humanisme. Cukup mengharukan ketika perempuan tadi memilih mengabdikan dirinya di masyarakat pedalaman Kalimantan. Ia mencoba membantu mereka melalui pendidikan alternatif. Ia mempunyai kesadaran bahwa sebagai sesama manusia, seharusnya bagaimana kita tanggap, berempati ketika melihat masih banyak teman-teman kita; di pelosok jauh sana, pedalaman Kalimantan, Irian Jaya dan sebagainya, yang masih belum mampu merasakan pendidikan.
Komitmen kemanusiaan
Saya yakin, apa yang diperbuat oleh perempuan di atas berangkat dari satu komitmen. Yakni komitmen kemanusiaan. Bahwa kita adalah manusia yang lahir dari nenek moyang yang sama. Bahwa membiarkan sesama kita berada dalam keadaan kekuarangan, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan seterusnya, adalah sebuah langkah mundur. Bahwa sebagai manusia kita dituntut untuk mampu membangun peradaban manusia agar lebih bermakna, produktif bagi hidup serta kehidupan manusia.
Komitmen kemanusiaan adalah salah satu pilar utama yang kenapa sampai hari ini pendidikan masih selalu dipertanyakan. Kenyataan di keseharian, pendidikan kita kurang—untuk tidak mengatakan ‘tidak sama sekali’—menunjukan kepedulian itu. Bahwa hari ini banyak anak putus sekolah, bukan menjadi masalah bagi yang berpunya. Bahwa hari ini logika pendidikan dimaknai sebatas kompetensi akademik, bukanlah masalah bagi yang berintelegensi tinggi, bertalenta. Namun apakah kita pernah berfikir, di mana letak kaum—yang maaf—berintelegensi rendah, penyandang cacat, kurang atau tidak memiliki talenta dalam peta kehidupan? Apakah mereka akan kita singkirkan dari percaturan dunia ini? Apakah keberadaan mereka akan kita anggap sebagai beban bagi lainnya. Tentu saja tidak demikian bukan?
Sayangnya realitas pendidikan saat ini, tengah digiring untuk menghempaskan sisi kemanusiaan kita. Kita tengah digiring untuk mengatakan bahwa, "yang boleh bersekolah adalah yang pintar, mempunyai uang, dan mampu—bagi mereka yang bodoh, miskin, cacat tentunya tidak ada tempat bagi mereka. Andai kata demikian, apakah tidak sama dengan kita sedang mengarungi hukum rimba moderen? Siapa yang kuat ialah yang menang.
Semacam penutup
Sudah saatnya kita membangun kembali pilar utama pendidikan. Komitmen kemanusiaan untuk mengarah pada pemanusiaan manusia adalah keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar. Tanpa komitmen kemanusiaan kita akan kembali mengarungi hukum rimba, siapa yang kuat ialah yang menang yang telah bermetamorfosa siapa yang pintar, kaya, mampu itulah yang berhak hidup-sukses. Berangkat dari lontaran ini, apakah kita sudah berfikir tentang diri kita berkenaan dengan tujuan kita sekolah? Seperti Wiji Tukhul ungkap, apa guna banyak baca buku kalau hanya untuk membohongi? Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli?[]
Blogger Comment
Facebook Comment