Purwokerto Book Fair 2006

Ketika Masyarakat Haus akan Pengetahuan
Oleh: Firdaus Putra Aditama

Avant-proposSaya hanya akan bercerita tentang sebuah acara yang begitu luar biasa ramainya, dipadati pengunjung, hingga udara di sekitar ruangan menjadi hangat, bahkan panas nan menyesakkan, Purwokerto Book Fair 2006. Book Fair yang digelar di Pascalis Hall kawasan Jalan Gereja Purwokerto. Diramaikan oleh banyak penerbit tentunya, dari yang berkelas; Gramedia, Kanisius, Mizan, Jalasutra sampai penerbit muda; Galang Press, atau pun stan-stan pribadi yang menjual buku dengan harga obralan. Pada stan inilah saya paling betah, melihat harga yang ditawarkan hanya berkisar Rp. 5.000 – Rp 20.000 yang tentunya pas untuk kocek mahasiswa. Dari Book Fair itu tepatnya saya membeli sedikitnya tujuh buku, yang sedikit-banyak untuk persiapan menyusun skripsi, kalau relevan!

Minimalnya apa yang saya lihat di Book Fair adalah hal yang menggembirakan. Bagaimana stan-stan penerbit buku dipadati pengunjung. Tidak hanya itu, bahu jalan pun cukup ramai diisi parkiran kendaraan dan mobil. Mungkin terlalu prematur, paling tidak hal ini sedikit menyiratkan tentang anemo masyarakat—yang mungkin sebagian besarnya adalah mahasiswa untuk menikmati atau mungkin tepatnya mengkonsumsi berbagai buku yang ditawarkan. Tingginya anemo ini tentunya juga harus kita maknai sebagai tanda tingginya minat baca masyarakat kita, minimalnya mahasiswa.

Buku dan pengetahuan
Sebenarnya apa yang menarik dari sebuah buah buku? Pertanyaan ini mungkin pertanyaan klise atau justru konyol. Karena setiap orang akan menjawab—tidak terlalu berbeda—dengan buku kita akan mendapatkan pengetahuan atau informasi-informasi baru. Tidak salah! Karena memang minimalnya buku adalah bentuk material dari ilmu pengetahuan. Kodifikasi yang sistematis dan massal dari ilmu pengetahuan. Buku, tidak heran jika diibaratkan lentera, pintu masuk atau ilsutrasi sejenis dalam menggambarkan fungsinya yang cukup produktif. Lebih heroik lagi jika saya katakan bahwa membeli buku—entah kapan dibacanya—adalah bentuk investasi yang tidak akan pernah membuat kita rugi. Berbeda dengan investasi uang, tanah dan lain sebagainya yang habis dimakan waktu atau kebutuhan. Sedangkan buku, dia mampu melampui kurun waktu atau minimalnya rentang waktu yang panjang.

Saat ini mungkin kita atau saya sendiri masih sebatas ‘mengkonsumsi buku’, saya kira tidak menutup kemungkinan suatu tempo kita akan turut meramaikan banyak judul buku yang ada di book store. Saat ini mungkin kita, atau saya pribadi hanya pandai mengutip pendapat orang lain dari satu buku ke buku yang lain. Tapi, tidak menutup kemungkinan nama kita akan dikutip oleh orang lain. Dan saat itulah sejenak kita akan menjadi ‘rezim’ yang—jika tidak berhati-hatri akan—mengalami pengkultusan. Tapi tenang saja, waktu itu mungkin masih lama. Saat ini mari kita nikmati dulu bagaimana mengkonsumsi buku yang baik.

Masih berkutat di buku, mayoritas tokoh kita, di rumahnya terdapat perpustakaan pribadi. Meskipun saya sendiri belum pernah melihatnya, tetapi saya yakin itu. Saya yakin juga bahwa seorang pemikir atau intelektual tidak akan tidak melangkahi punggung pemikir sebelumnya. Jadi, minimalnya pasti dia membaca buku, yang artinya membaca dan mendialektikakan pemikirannya dengan pemikiran tokoh lainnya. Bagaimana jika tidak?! Mungkin kita akan seperti Herbert Spencer, ia mengalami kerusakan intelektual—kerusakan otak—karena kemalasannya membaca buku orang lain. Ia dulu menganggap bahwa membaca buku karya orang lain hanya akan mengkontaminasi pemikiran kita sendiri dan akhirnya menghilangkan genuisitas pemikiran. Saya kira hal ini tidak terlalu arif untuk kita tiru. Karena dalam keredahhatian, ketika kita membaca buku orang lain, kita akan melakukan proses dialog yang sedikit-banyak adalah produktif bagi diri kita, misalkan kita mendapatkan semacam oto-kritik atas pemikiran kita. Dengan kritik itu, tentunya justru pemikiran kita akan lebih tajam, tegas dan berkarakter.

Buku oleh banyak orang mungkin masih dianggap barang yang serius dan ‘formal’. Jika demikian, mari kita dekonstruksi [rombak] imej itu. Saya sendiri lebih memaknainya sebagai sesuatu yang dapat menyegarkan otak, refreshing ketika seharian beraktivitas di kampus atau paska ujian semester. Imej yang kadung serius dan ‘formal’ ini harus kita kikis. Karena buku bukanlah hal yang harus dikonsumsi ketika kita masih kuliah atau sekolah. Saya kira semua orang berhak atau boleh mengkonsumsinya, terlepas dari ‘jenis kelamin’nya; pekerja, karyawan, buruh, ibu rumah tangga dan seterusnya.

Pengetahuan dan mitos bebas nilai
Seperti saya ungkap di atas, buku minimalnya adalah bentuk material dari ilmu pengetahuan, sehingga membaca buku adalah proses di mana internalisasi pengetahuan berlangsung. Untuk itu, saya ingin menggambarkan bahwa ketika kita membaca buku, sikap kritis harus selalu ada. Kenapa? Karena ilmu pengetahuan atau pengetahuan itu sendiri adalah tidak bebas nilai. Mungkin hal ini akan berbeda dalam tradisi sosial klasik yang masih menyatakan bahwa ilmu bersifat bebas nilai.

Ilmu pengetahuan sejatinya sarat dengan kepentingan manusia. Ambil contoh, semenjak awal Sosiologi lahir, ia sarat akan kepentingan, bagaimana ilmu pengetahuan—yang nantinya menjadi embrio Sosiologi—mampu menyumbangkan fikirannya untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan, Eropa waktu itu. Oleh karena ketidakbebasnilaiannya ilmu pengetahuan menjadi sedemikian produktif. Jika ilmu pengetahuan bebas nilai, sesungguhnya kita tengah ‘men-sekulerkannya’ dari konteks riil kemanusiaan-kemasyarakatan. Jika ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, maka ilmu akan lebih menampakkan potretnya yang ‘menara gading’. Ilmu untuk ilmu. Tentu saja hal yang stag dan kita tidak akan pernah jalan ke mana-mana. Klaim ‘bebas nilainya’ ilmu pengetahuan hanya akan memenara-gadingkan antara ilmu dengan masalah riil itu sendiri. Pada gilirannya, proyek pembangunan a la Orde Baru adalah artefak sejarah yang dapat kita lihat. Bagaimana klaim ilmu pengetahuan yang bebas nilai akhirnya justru memandulkan ilmu itu sendiri bagi proses pembangunan.

Mitos bebas nilainya ilmu pengetahuan juga nampak dalam kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus [NKK/ BKK], di mana posisi mahasiswa saat itu, oleh Soeharto di set-up sedemikian rupa sehingga mereka ‘tersucikan’ dari tugas-tugas pemberdayaan. NKK/ BKK adalah salah satu bukti bahwa dibalik mitos bebas nilainya ilmu terkandung muatan kepentingan politis-ideologis, yakni bagaimana agar mahasiswa tidak lagi melakukan kritisisme atas kehidupan sosial-politik ketika itu.

Menghadapi pengetahuan yang tidak bebas nilai ini menurut saya akan lebih elok ketika kita menimbang-nimbangnya dengan parameter kemanusiaan. Apakah sarat kepentingan ilmu tersebut produktif bagi kemanusiaan atau justru sebaliknya. Jika tidak, maka kita perlu melakukan kritik terhadapnya.

Membaca dan menulis buku
Bagaimana membaca buku yang baik? Ini bukanlah sebuah tips tentang cara-cara membaca buku yang baik dan benar. Karena saya kita semua dari kita bisa membacanya dengan berbagai gaya dan cara. Saya hanya ingin menyampaikan, ketika kita membaca buku anggaplah ketika itu ‘pengarang sudah mati’. Artinya ketika kita membaca buku, kita tidak perlu kelelahan untuk selalu dibayang-bayangi nama besar sang pengarang. Bacalah dengan alami tanpa memikirkan siapa pengarah itu. Ketika kita membacanya dengan alami atau mengalir, kita dengan sendirinya akan mendialogkan uneg-uneg kita dengan isi buku itu tanpa harus khawatir akan ‘dihakimi’ oleh pengarang yang tokoh itu. Jadi akan lebih santai dan dinamis.

Ketika kedinamisan itu terjadi, maka ide-ide segar hasil dialektika antara otak kita dengan isi buku akan lebih bisa keluar. Artinya, kita tanpa sadar sudah menjadi ‘produsen pemikiran’. Bedanya, kita belum mampu membukukannya. Selain menuliskannya dalam bentuk artikel, esai, cerpen atau bentuk tulisan lainnya. Agar kita lebih sadar bahwasannya kita bukan lagi konsumen pasif, menulis adalah cara yang tepat untuk kemudian mengartikulasikan gagasan-gagasan kita.

Saat ini kita tidak perlu repot-repot untuk menulis buku, cukuplah dengan artikel, esai dan sebagainya. Jika saatnya tida, saya yakin menulis buku adalah hal yang mudah dan bukan proses yang super-serius dan melelahkan. Yang jelas, dari proses menulis kita akan lebih mengetahui sampai seberapa jauh kita mampu memetakan, memahami suatu permasalahan. Di bantu dengan buku, tulisan kita akan menjadi lebih sistematis dan sedikit mendapat cap ‘ilmiah’.

Dalam masa pos-industri seperti sekarang ini, saya kira membaca dan menulis adalah hal yang penting. Saat ini kekuasaan bukan lagi berada di kantong atau dompet tebal, melainkan saat ini kekuasaan berada di pengetahuan. Siapa yang memiliki pengetahuan maka ia akan berkuasa. Will to power, saya kira perlu sedikit kita miliki. Artinya dalam kerangka positif hal ini adalah motivasi untuk mengkreasi agar hidup serta kehidupan kita menjadi lebih baik. Tetapi, saya ingat “.... keinginan adalah sumber penderitaan ....”, jika tidak salah Iwan Fals dalam salah satu lirik lagunya berujar demikian. Lantas bagaimana?[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment