Purwokerto Crowded World (PCW): Quo vadis?

Oleh: Firdaus Putra A.

I
Kabar akan dibangunnya Purwokerto City Walk (PCW) menjadi kian nyata. Beberapa bulan sebelumnya, di seberang jalan Gedung Administrasi Pusat Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) pembongkaran bangunan telah dilaksanakan. Dan mulai beberapa minggu kemarin, truk-truk material mulai berdatangan membawa pasir, batu dan sebagainya.

Bangunan yang direncanakan menelan 2,6 Ha tanah itu, tentunya akan berdiri dengan gagahnya, segagah patung Jenderal Soedirman di atas kudanya. Selain gagah, gegap gempita juga akan menjadi pemandangan yang lain. Bayangkan, PCW menyediakan berbagai macam ruang kenikmatan publik untuk memanjakan dirinya, memanfaatkan waktu luang dan tentunya melambaikan tangan pada hasrat (desire) konsumen untuk merogoh koceknya. Dalam master-plannya, PCW akan meliputi; shopping mall, water boom, ice skating, food court, sport center dan tentunya selasar atau pedestrian yang cukup luas bagi para pejalan kaki.

Memang, yang membedakan city walk dengan plaza, mall, supermarket adalah tersedianya fasilitas pedestrian, dimana pengunjung dapat menikmati waktu belanja, santainya dengan berjalan kaki secara leluasa. Konsep city walk di beberapa kota besar (Solo, Cihampelas, Jakarta dan sebagainya) sebenarnya berangkat dari keinginan untuk merevitalisasi ‘kota mati’ agar hidup dan muda kembali. Aditya W. Afrianto, seorang arsitektur dan pemerhati tata ruang kota Jakarta menggambarkan bahwa city walk merupakan ruang terbuka yang menjadi tempat alternatif yang nyaman untuk sekadar duduk-duduk, makan, atau bersantai. Tempat- tempat ini selalu ramai pada sore hari sesudah jam kerja. Pada hari libur bahkan sudah ramai sejak siang hari. Dengan konsep city walk, pemerintah setempat dapat mengubah kota tua yang mati menjadi kawasan yang aktif dan muda kembali [www.oudbatavia.blogspot.com]. Lantas bagaimana dengan Kota Purwokerto? Apakah mempunyai poin seperti yang disinggung oleh Aditya di atas?

II
Pembangunan city walk di Purwokerto tentu saja bukan dalam rangka untuk merevitalisasi daerah yang hampir mati atau gersang. Justru PCW terletak di pusat keramaian kampus. Hanya dalam hitungan 20-30 meter, jarak tempuh dari kampus Ekonomi UNSOED ke PCW. Jadi bisa kita bayangkan seberapa dekat PCW dengan aktivitas pendidikan. Pembangunan PCW yang berdekatan dengan lembaga pendidikan dibenarkan oleh Alfath Sukirno sebagai pihak PCW. Bahwa pembangunan yang dekat dengan lembaga pendidikan dengan asumsi mahasiswa sebagai target pasar yang sangat strategis [Sketsa, 25 XIX Sept 2007].

Umumnya pembangunan sarana hiburan, perbelanjaan dijauhkan dari lingkungan pendidikan, justru PCW mendekat sedemikian rupa. Padahal dalam tata ruang kota dan daerah Banyumas, tersebut bahwa sepanjang kawasan jalan HR. Boenyamin merupakan kawasan ‘campuran’; antara lingkungan pendidikan, jasa, dan perumahan. Untuk itu, seharusnya pembangunan yang ada memperhatikan implikasi bagi sub-sistem yang lain.

Ironisnya, PEMDA Banyumas telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) PCW. Kebijakan ini dapat kita sorot bagaimana PEMDA Banyumas tidak mempunyai visi ke depan terhadap dunia pendidikan di Banyumas, khususnya terhadap UNSOED sebagai perguruan tinggi terbesar di Banyumas. Pada titik ini, saya berasumsi telah terjadi konspirasi antara kekuasaan dengan modal. Karena, secara rasional dan etis, kebijakan menerbitkan IMB PCW untuk dibangun di depan UNSOED adalah kebijakan yang sangat kontra produktif.

Padahal, menurut saya, Banyumas atau Purwokerto tidak akan bergaung ketika tidak ada UNSOED di dalamnya. Banyumas menjadi sedemikian terkenal lebih karena adanya perguruan tinggi daripada kawasan wisata Baturraden. Masyarakat di kota-kota besar memilih Banyumas sebagai kawah candra dimuka untuk putra-putrinya lantaran atmosfir Banyumas yang sesuai untuk pendidikan; tenang, dingin, tidak terlalu ramai. Bandingkan dengan Semarang, Yogyakarta apalagi Jakarta yang atmosfirnya kurang nyaman untuk belajar. Sehingga kebijakan PEMDA yang mengesahkan pembangunan PCW sebenarnya aksi suicide atau bunuh diri jangka panjang.

Pada sisi lain, saya mencium konspirasi antara modal dengan intelektual. Magister Lingkungan Hidup UNSOED yang bertindak sebagai peng-AMDAL menurut saya telah kehilangan visi etisnya sebagai pendidik dan intelektual. Saya tidak mampu memahami bagaimana hasil AMDAL dapat berkesimpulan bahwa pembangunan PCW di depan UNSOED tidak akan beresiko bagi atmosfir pendidikan. Saya curiga bahwa AMDAL hanya terfokus pada analisis lingkungan fisik semata, seperti kebisingan, kepadatan, cadangan air tanah, dan melupakan unsur non-fisik seperti psiko-sosial, sosio-ekonomi, sosio-kultural mahasiswa sebagai pangsa pasar terdekat.

Drs. Muslihuddin, M.Si salah satu anggota tim AMDAL menegaskan bahwa menurutnya dalam kehidupan yang metropolis seperti sekarang ini, kita tidak bisa menutup diri dari desakan-desakan di luar kita (lembaga pendidikan). Salah satu ciri kehidupan metropolis adalah ke-inklusivitas-an, dimana beberapa hal yang saling bertolak belakang dapat berbaur dalam satu lingkungan tanpa harus berbenturan satu dengan lainnya [Sketsa, 25 XIX Sept 2007].

Dari pernyataannya, Muslihuddin sebenarnya sudah mengakui bahwa PCW dengan UNSOED adalah dua hal yang bertolak belakang. Hanya saja, berdalih kliam inklusivisme, ia menyatakan tidak ada masalah dengan hal itu. Sedangkan bagaimana dengan mahasiswa? Ia justru mengatakan bahwa semua itu adalah pilihan. Tidak ada yang memaksa mahasiswa harus datang ke PCW, artinya juga tidak ada yang memaksa mahasiswa untuk konsumtif atau hedonis. Saya beberapa kali membaca berulang pernyataan tersebut dalam wawancaranya, dan saya pikir Muslihudin bukanlah seorang pendidik atau intelektual yang berpihak. Sebaliknya, ia (juga Magister Lingkungan Hidup UNSOED) merupakan—meminjam istilah Gramsci—intelektual mekanik/tukang yang tanpa sandaran etis dapat mengamini status quo, atau kebijakan yang sebenarnya kontradiktif. Saya yakin bahwa klaim AMDAL adalah obyektivitas dan bebas nilai. Karena bebas nilainya ini, AMDAL dapat digunakan oleh siapa dan dengan maksud apapun [baca juga tulisan saya tentang Kritik Rasionalitas Masyarakat Modern].

Saya membaca dalam kisaran 5-10 tahun ke depan, kultur Purwokerto tidak akan berbeda jauh dengan Semarang atau Jakarta. Riuh, gegap gempita, hingar bingar, juga kemalasan mahasiswa, konsumtivisme yang akut, waktu luang untuk santai dan seterusnya. Ke depan, dengan adanya PCW, UNSOED menurut saya tidak akan menjadi salah satu kota pendidikan seperti sebelumnya.

III
Masa semai 5-10 tahun mendatang merupakan masa inkubasi virus gaya hidup konsumtif, santai yang secara simultan akan mengkonstruksi mahasiswa sebagai robot yang mengonsusi secara tak sadar dan berlebihan. Hasil akhirnya, saya melihat bahwa potret Purwokerto, dan UNSOED dalam gambaran yang buram. Menurut saya, Purwokerto City Walk hanya akan melahirkan Purwokerto Crowded World. Sebuah dunia kehidupan yang penuh dengan ekstase kelimpahruahan, kenikmatan, kesantaian, keluangan, dan akhirnya kesemrawutan, ketakteraturan, kemalasan, kebodohan dan seterusnya.[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment