Ramadhan Membawa Bencana: Matinya Keberpihakan Sinetron Indonesia

Oleh: Firdaus Putra A.


"Agama adalah candu masyarakat"
(Karl Marx)

Sinetron itu …
Seorang Kyai (yang diperankan oleh Primus Yustisio) meletakan tangannya di kening seorang perempuan yang tengah kesurupan. Lantas sang Kyai membaca wirid tertentu, dan akhirnya perempuan itu meronta-ronta, sembari berteriak "panas, panas, lepaskan aku …".


Drama ‘perdukunan’ pun rampung, si perempuan lemas lunglai dan sadarkan diri. Selanjutnya, si sahabat perempuan berucap terimakasih. Dan sang Kyai kembali menyitir teks-teks suci tentang hidup di dunia ini yang harus diimbangi dengan amalan untuk akhirat. Tak lupa ia selalu berucap astaghfirullah, alhamdulillah dan bla … bla … bla ….

Di scene lain, ada orang yang terhimpit beban kehidupan, lantas ia dibantu oleh seorang peri. Peri yang selalu dicitrakan oleh perempuan cantik – ibu peri, yang dapat memberinya kekuatan supernatural, keajaiban, dan semacamnya. Berkat pertolongan sang ibu peri, ia keluar dari keterhimpitannya. Drama supernatural pun usai. Ia pun tersenyum lega.

Itulah sedikit cuplikan dari tampilan sinetron yang akhir-akhir ini menjamur di beberapa stasiun televisi kita. Sedikitnya sepuluh judul yang berisi hal serupa dapat kita daftar; Insyaflah, Astaghfirullah, Hikmah, Hidayah, Kafir, Adam dan Hawa, Kisah Sedih di Hari Minggu, Pinokio, ABG, Anak Cucu Adam, dan seterusnya.

Ironisnya, sentuhan mistik tidak hanya kita temukan pada sinetron yang jelas-jelas beraromakan ‘agama’. Ia juga mulai merambah pada sinetron remaja yang sebenarnya jauh dari sentuhan mistik a la Insyaflah, Astaghfirullah, Hikmah dan seterusnya. Nampaknya Production House di Indonesia mencium lahan basah di tengah-tengah masyarakat kita, mistik-religius-klenik. Khusus hal ini, kesan mistik-klenik nampak sekali dipaksakan untuk adanya (raison d’etre). Pemaksaan yang hanya mengikuti trend, rating dan apa pula jika bukan keuntungan ekonomi?

Sinetron di bulan RamadhanMemang benar sebelum bulan Ramadhan datang, tampilan sinetron yang berbau mistik-religius sudah banyak terlihat mewarnai tiap stasiun televisi. Semakin kentara lagi ketika bulan Ramadhan tiba, tayangan-tayangan itu sepertinya ditujukan untuk melepas dahaga para muslimin yang tengah berpuasa. Lalu Ramadhan pun menjadi sebuah momentum guna menyuguhkan sinetron dengan aroma serupa. Dan seperti angin segar yang membawa aroma bunga, sinetron mistik-religius membawa kehangatan, kenyamanannya tersendiri.

Nyaman. Bagaimana ketika bangsa ini sedang dilanda banyak masalah, dari Tsunami, Avian Influenza, BBM, hingga yang paling akhir adalah bom Bali seri kedua, masyarakat tidak lagi memandang masalah nyata itu sebagai masalah. Ia sudah tertutupi oleh banyaknya tayangan yang lebih santun, nyaman, mendamaikan dan seterusnya.

Kesadaran masyarakat di bawa menuju kesadaran mistik. Bahwa masalah di dunia ini dapat kita selesaikan jika kita menyerahkan sepenuhnya hidup kita kepada Tuhan. Tuhan akan memberi pertolongan melalui jalan yang tidak kita duga-duga sebelumnya. Mungkin ini adalah salah satu pesan yang dapat kita cuplik dari banyak tayangan sinetron di atas. Sebuah pesan yang sungguh mengilusi, membodohkan, dan meninabobokan kita. Bagaimana ketika seseorang dalam kondisi terhimpit, ia dapat meminta pertolongan kepada ibu peri atau doa yang dilisankan oleh sang Kyai.

Kesadaran masyarakat tengah dipertaruhkan ketika menyaksikan serentetan sinetron yang memborbardir ruang visual kita. Lantas Ramadhan tidak menjadi momentum bagi lahirnya pembebasan dari ketertindasan. Penghayatan dari kondisi yang membelenggu. Kesalehan sosial yang merahmati seluruh alam. Ia nampak sebagai bulan yang penuh dengan aroma Surga, lantunan teks-teks suci, penampilan yang agamis (baju koko, kerudung, pakaian muslim-muslimah) dan seterusnya.

Ramadhan yang seharusnya mampu meng-up grade keimanan serta ketakwaan kita berubah menjadi bulan yang membawa kita kepada kenyamanan, kemalasan, keenggenan serta ketakmauan kita untuk menjadikan agama sebagai pangkal tolak untuk bertindak di dunia ini. Akhirnya Ramadhan hanya melegitimasikan bahwa agama hanya sebatas ritual tanpa spiritual, teks-teks suci hanya sebagai pengusir arwah jahat; bukan sebagai élan vital kehidupan manusia, kesalehan diri sendiri tanpa mempedulikan nasib yang lainnya. Ramadhan akhirnya kehilangan dimensi sosialnya.

Bagaimana Ramadhan dalam citraan sinetron hanya tampil ketika hendak melaksanakan buka puasa, menjaga pandangan karena bukan muhrim, seseorang yang berdoa yang sembari menitikkan air mata, mengenakan pakaian islamis sebagai bentuk penghormatan. Citraan-citraan yang ada hanya berpusat pada tindakan individu yang berdimensi vertikal. Sehingga hal ini sedikit-banyak menutup pencitraan Ramadhan pada dimensi sosialnya.

Pada titik inilah sinetron telah mati dalam menangkap spirit realitas (baca: Ramadhan) dan menampilkannya secara tak lengkap. Tidak salah jika akhirnya Ramadhan alih-alih rahmat Tuhan yang dinanti-nanti umatnya, berubah menjadi sebuah bencana kemanusiaan.

Sinetron dan keberpihakanTampilan sinetron di bulan Ramadhan lantas mendatangkan bencananya tersendiri. Ketika stasiun televisi (baca: sinetron) sudah jauh meninggalkan sisi keberpihakannya pada masyarakat, ia hanya menuruti energi produksi mesin-mesin kapitalisme. Ia hanya mengikuti logika pasar; trend, rating, hingga tidak sungkan-sungkan untuk memaksakan citraan yang jauh dari kenyataannya. Ia hanya tunduk pada si empunya modal (capital), tanpa peduli apakah sinetron tersebut laik tayang atau tidak? Apakah sinetron ini mampu meng-up grade kesadaran masyarakat dari titik mistik-konservatif menuju rasional-kritis? Pun, apakah sinetron tersebut mampu membangkitkan empati kemanusiaan atau justru se-iya dan se-kata ketika melihat realitas yang timpang, menghisap bahkan menindas?

Yang ada sinetron di Indonesia tidak sepenuhnya memiliki keberpihakan pada masalah-masalah yang nyata di atas. Sinetron kita hanya mau menghisap manisnya dan meninggalkan sepahnya yang berbahaya bagi masyarakat. Manifesto kebudayaan (Manikebo) yang disuarakan pada masa 70-an ternyata gaungnya sudah sangat jauh meninggalkan kita. Seni harus berpihak sebagai salah satu poinnya, tidak kita temukan lagi dalam masa yang ‘menggila’ ini. Lantas ketika sinetron tidak berpihak lagi pada masyarakat, ia menjadi seakan wajar, sah bahwa ia hanya merupakan proyek untuk pengisi waktu luang kita. Ia hanya sebatas hiburan yang ternyata lebih daripada menghibur, karena ia mampu meninabobokan kesadaran kita hingga titik tertentu.

Semacam penutupDeklarasi matinya keberpihakan sinetron di Indonesia menemukan bukti kuatnya pada bulan yang konon katanya limpahan rahmat Tuhan bercucuran. Matinya keberpihakan sinetron yang nyawanya telah direnggut oleh ‘malaikat’; pasar, trend, rating, keuntungan ekonomi yang semuanya bermuara pada titah suci sang kapitalis perlu kita khawatirkan.

Kematian ini kita khawatirkan mengingat sinetron (baca: stasiun televisi) merupakan salah satu penyokong pembangunan kesadaran masyarakat. Jika tidak, sinetron akan tampil sebegitu rupa telanjangnya, televisi akan tampil sebegitu rupa naifnya dan puncaknya pengemasan agama dalam sinetron akan tampil sebegitu rupa dangkalnya. Tidak heran jika kritik Marx atas agama, mungkin pada masa ini menemukan kembali momentumnya. Dan sekali lagi ironisnya, kritik tersebut menemukan momentum ketika kita memasuki bulan yang penuh rahmat ini. Untuk itu, semangat Manikebo yang telah lama terkikis seyogyanya dapat kita refleksikan kembali untuk membenahi potret sinetron (baca: media televisi) yang telah mati. Ia hidup hanya pada kulit luarnya saja, sedang ruhnya telah lama mati, terbang jauh meninggalkan kita semua.

Semangat Ramadhan adalah semangat keberpihakan. Semangat keberpihakan pada progresifitas keimanan – ketakwaan seorang hamba. Ramadhan dapat kita jadikan pangkal tolak yang cukup bagus guna menyejarahkan kembali semangat itu pada kondisi rill kemanusiaan, kini dan di sini. Dan saya fikir, semangat Ramadhan secara substansial akan bertemu dengan semangat Manikebo dalam memerangi ketimpangan realitas yang banyak kita jumpai.

Akhirnya, bagaimana kita mampu mengejawantahkan semangat Ramadhan, agar ia merupakan rahmat Tuhan bukan bencana, agar ia merupakan semangat keberpihakan bukan kenaifan, agar ia merupakan semangat pensucian bukan peninabobokan, peran kita sebagai pelaku sejarah adalah niscaya. Hidup adalah di sini bukan ‘di sana’; sehingga untuk merubah sesuatu kesadaran kita harus berada di sini dan bukan ‘di sana’.[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment