
Oleh: Firdaus Putra A.
Pengantar
MENYERUAKNYA aksi-aksi kejahatan, penipuan dan paling mutakhir aksi teror dengan menggunakan media yang sama, telepon seluler (untuk selanjutnya disebut ponsel), ternyata cukup meresahkan masyarakat. Aksi-aksi tersebut di atas, selain mudah melakukannya, aparat yang berwenang, ternyata kesulitas untuk melecaknya. Wajar jika kesulitan ini terjadi di Indonesia, di mana jual-beli kartu pra-bayar (nomor perdana) sebegitu murahnya, mudahnya.
Selain itu, menjamurnya usaha dalam bidang ini, membuat satu dengan provider yang lain, berlomba-lomba mendapatkan pelanggan dengan berbagai kemudahan yang disediakan. Imbasnya, konter-konter ponsel pun menjamur bagai jamur di musim penghujan.
Memang benar, segala sesuatu menyediakan dua konsekuensi logis sekaligus, antara benefit dan risk. Untuk menghindari resiko yang berlebihan dari penggunaan ponsel bagi aksi-aksi kejahatan, minimalnya pelecehan via SMS, maka pemerintah menerbitkan peraturan yang termaktub dalam Kepmen No. 23 Tahun 2005. Keputusan Menteri Departemen Komunikasi dan Informatika (selanjutnya disingkat DEPKOMINFO) tersebut, secara garis besar berisi tentang seruan bagi provider dan user (pengguna ponsel) untuk meregistrasikan kartunya, salah satunya melalui SMS gateway dengan nomor 4444. Selain itu, batas akhir registrasi ditetapkan dengan konsekuensi penonaktifan kartu bagi yang tidak mengindahkan. Tanggal 28 April 2006, adalah deadline yang tidak boleh dilanggar, melanggar berarti 'membunuh' komunikasi jarak jauh kita.
Dengan penerbitan peraturan itu, sebenarnya pola komunikasi semacam apa yang hendak dibangun oleh pemerintah? Lebih dalam lagi, bagaimana pula political impact yang lahir darinya? Dua pertanyaan di atas secara sistematis akan dijawab di bagian bawah.
Represi atau Persuasi?RATA-RATA pola yang ada dalam setiap produk undang-undang adalah represif, mengikat secara mutlak, bagi yang tahu atau tidak. Hal senada juga kita temukan dalam kebijakan registrasi kartu pra-bayar. Deadline dengan konsekuensi logis tertentu adalah salah satu bentuk represifitas yang kentara. Bagaimana tidak, dengan sewenang-wenang pemerintah melalui DEPKOMINFO menetapkan batas akhir registrasi. Penetapan yang sepihak ini tentu saja cukup bermasalah jika kita melihat konsekuensi yang akan diterima user adalah nonaktifnya kartu pra-bayar miliknya.
Hal di atas berarti bahwa individu tidak memiliki pilihan bebas untuk meregistrasi atau tidak. Artinya, pada posisi ini, individu sebenarnya tengah diposisikan berpotensi untuk menjadi teroris, peniou, penjahat dan seterusnya. Ia dipaksa harus meregistrasi kartunya. Jika tidak, maka kartu atau nomor tersebut akan dihanguskan oleh provider yang bersangkutan. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh Afandi (2004: 8), bahwa inti dari ide kebebasan itu pada pumpunannya, adalah kesadaran sejati dari hakikat manusia, bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas sesuai dengan martabat dan rasionalitasnya. Manusia tidak diperbudak oleh siapapun, bahwa mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban sipil karena rasa cinta mereka kepada negara tanpa dipaksa oleh hukum-hukum atau para (penguasa) pengawas yang kejam. Artinya, dalam konteks registrasi kartu pra-bayar, dengan menetapkan deadline yang pasti, individu dipaksa untuk taat pada hukum atau aturan. Konsekuensi dari ketidaktaatan menjadikan kartu pra-bayarnya hangus atau dinon-aktifkan. Dengan dalih keamanan dan ketertiban, individu dipaksa untuk patuh di bawah bayang-bayang ideologi tersebut. Ketika hal ini dipaksakan, sedangkan pada titik lain individu tidak mentaatinya, dikotomi menjadi lahir, antara taat kepada aturan yang artinya cinta kepada negara-nasionalis, dan sebaliknya dengan tidak taatnya, klaim subversif, pembangkang dapat dilekatkan. Padahal, haruskah logika kebijakan di dalam negara demokratis melahirkan dikotomi kesadaran tersebut.
Berlin (2004: 252) dengan baik mengungkapkan bahwa, memanipulasi manusia, menggerakan mereka ke arah tujuan-tujuan yang kita—sang pembaru sosial—inginkan, dan yang mungkin tidak mereka inginkan berarti menyangkal hakikat mereka sebagai manusia, serta meperlakukan mereka sebagai benda-benda yang tidak memiliki kehendak sendiri. Artinya, dengan demikian, kita telah merendahkan martabat mereka sebagai manusia. Dalam konteks ini Berlin ingin menegaskan bahwa sebagus, sebaik apapun konsep yang ditawarkan oleh negara berkenaan dengan penjagaan keamanan dan ketertiban warganya, tetapi jika warganya tidak menghendakinya, dan akhirnya negara memaksa—melalui deadline tanggal 28 April 2006—sama artinya negara telah memperlakukan warganya sebagai benda yang dapat diatur sesuka hatinya. Artinya, negara tidak lagi memandang warganya secara humanis, melainkan dengan pandangan yang mekanis-birokratis.
Pola komunikasi yang represif kita temukan dengan menggunakan parameter kebebasan individu. Parameter ini kita gunakan melihat bahwa kebebasan individu merupakan salah satu pilar dari institusi demokrasi. Sehingga seharusnya berbicara pada titik ini, negara tidak boleh sewenang-wenang menetapkan deadline dan konsekuensi yang cukup mempengaruhi produktivitas kerja, hidup warganya. Produktivitas kerja, hidup warga negara harus dijunjung tinggi karena esensi demokrasi adalah sebuah pilihan sistem bagi kesejahteraan masyarakat suatu bangsa, bakan sebaliknya.
Political ImpactJIKA kita mau berkaca kepada masa lalu, sebenarnya Orde Baru pernah menerbitkan kebijakan sejenis. Hanya saja, konteks Orde Baru adalah konteks institusi pers. Di mana political impact-nya sampai pada kasus pembredelan tiga media massa yang berteriak nyaring waktu itu, Editor, Detik, dan Tempo. Melalui cara yang sama, memimjam bahasa Dakhidae (1997: 28), pemerintah melakukan proses ideologisasi keamanan.
Di mana keamanan selalu saja dijadikan alasan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan. Meskipun pada akhirnya cukup memberangus ruang-ruang kebebasan individu atau privacy seseorang. Hal tersebut harus dilihat dengan kacamata kritis, bahwa bilamana ponsel kita terdaftar, bisa saja pemerintah melakukan penyadapan atau tindakan yang dianggapnya preventif. Dengan bahasa lain, pemerintah dengan kekuasaannya, sekenario kebijakannya tengah menghegemoni kita untuk menjadi warga masyarakat yang patuh dan taat tanpa reserve. Bisa jadi sejarah pembredelan tiga media massa di masa Orde Baru adalah bukti dari ketakutan ideologis negara terhadap kekrittisan warganya. Dan pola semacam ini, nampaknya akan diterapkan juga oleh pemerintah dengan background pucuk pimpinannya relatif sama, militer.
Menjelaskan format hegemoni yang dilakukan pemerintah saat ini, alangkah baiknya jika kita membaca sedikit pencetus teori hegemoni, Antonio Gramsci. Gramsci, adalah seorang Marxis yang memformulasikan bagaimana logika hegemoni berjalan. Menurutnya, untuk melakukan penundukan terhadap warganya, negara tidak perlu menggunakan kekerasan fisik. Jika menggunakan kekerasan fisik, maka kategori itu masuk dalam dominasi. Sedangkan hegemoni sendiri ia definisikan pada penundukan melalui ide, nilai, pemikiran, dan sebagainya. Sehingga, apa yang Gramsci maksud dengan hegemoni menunjuk pada konsep penundukan pada pangkal state of mind seseorang atau warga negara. Atau dalam titik awal pandangannya bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (dalam Simon, 2000: 19).
Pada titik itu, atas nama keamanan dan ketertiban negara mengambil 'simpati' alih-alih penundukan warga secara coercion sekaligus consentsues. Di mana warga diharapkan secara sukarela dan terpaksa meregistrasikan kartunya. Tentunya political impact yang akan lahir adalah negara sedang mengintervensi secara absah, dengan persetujuan warganya. Sedangkan warga, menilai sebagai budi baik negara terhadap penjagaan keamanan dan ketertiban lingkungan.
Secara definitif Gramsci (dalam Budairi, 2002: 120) hegemoni adalah penindasan atau dominasi melalui ideologi atau budaya, caranya adalah dengan dua jalan yaitu: Pertama, "consent" yaitu kepatuhan, persetujuan, sukarela. Bentuknya melalui masjid, juru dakwah, koran, televisi, dan radio, yang semuanya membela kepentingan negara untuk mempengaruhi atau menghegemoni civil society. Kedua, "coercion" yakni penindasan, bentuknya melalui seperti kekuasaan tentara, keamanan atau hukum (pengadilan) dan universitas.
Masih menurutnya (dalam Fakih, 2002: 145) proses hegemoni seringkali justru menyangkut perebutan pengaruh konsep realitas, dari pandangan mereka yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi. Sehingga akibatnya proses hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi mereka yang dihegemoni, bahkan berpengaruh pada cita rasa, moralitas, prinsip keagamaan, dan intelektual mereka.
Logika hegemoni akan lebih terjelaskan dengan meminjam pisau analisis Louis Althusser. Di mana Althusser mempertegas bahwa, tak satu pun kelas yang mampu memegang kuasa negara dalam periode yang lama tanpa sekaligus menjalankan hegemoninya, di sekeliling dan di dalam aparatus Negara Ideologis (2004: 23). Masih menurutnya, hegemoni berjalan melalui logika Ideological State Apparatuses (ISA) dan Represive State Apparatus (RSA).
Tentang yang pertama Althusser mencatat (2004: 22), bahwa aparatus Negara Ideologis bekerja secara masif dan berkuasa lewat ideologi; tapi berfungsi secara sekunder melalui represi pula, bahkan dalam tingkatan tertinggi—tapi pada akhirnya—fungsi ini menjelma sangat halus dan tersembunyi, bahkan simbolik. Artinya, tidak ada satu pun aparatus yang sepenuhnya ideologis, atau represif. Semuanya berfungsi secara timbal-balik dan tumpang-tindih. Seperti aparatus Negara Represif, di samping berfungsi secara masif dan berkuasa melalui represi (termasuk represi fisik), sementara secara sekunder berfungsi melalui ideologi. Secara tegas, Althusser (2004: 19) memberikan contoh represi administrasi yang barangkali mengambil bentuk-bentuk non-fisis.
Bentuk-bentuk aparatus Negara Ideologis dapat terlihat pada; ISA Agama (gereja, rumah ibadah dan sebagainya), ISA Pendidikan (sekolah, universitas dan sebagainya), ISA Keluarga, ISA Hukum, ISA Politik (pelbagai partai, sistem politik dan sebagainya), ISA Serikat Buruh, ISA Komunikasi (pers, radio, televisi dan sebagainya), dan terakhir ISA Budaya (kesusastraan, seni, olahraga dan sebagainya). Sedangkan aparatus Negara Represif terlihat pada; pemerintah, administrasi (dengan menetapkan dedline per tanggal 28 April 2006), angkatan bersenjata, polisi, pengadilan, penjara, dan sebagainya.
Semacam Penutup
MELALUI telisik kritis di atas, kita dapat mengetahui, bahwa kebijakan registrasi kartu pra-bayar pada dasarnya adalah tindakan preventif yang 'baik'. Tetapi menjadi kurang tepat, ketika negara dengan serta-merta tidak mengindahkan ruang-ruang kebebasan, privat yang dimiliki warganya. Sehingga political impact yang nampak dari kebijakan tersebut adalah politis daripada sosiologis.
Hal tersebut seyogyanya dapat dihindari dalam negara yang demokratis. Negara tidak boleh menekan warganya hingga titik nadirnya, ruang privat yang terinintervensi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah tidak tepat pula mengatasnamakan 'demi kebaikan', namun di sisi lain, tidak mengindahkan mereka sebagi manusia yang memiliki kesadaran akan kebutuhan serta kebebasan. Dan akhirnya, untuk kesekian kalinya produk perundangan menampakan dehumanisnya, ironisnya dengan mengatasnamakan humanisme. []
ReferensiAfandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan. Jakarta: PBHI bekerjasama dengan European union.
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Berlin, Isaiah. 2004. Empat Esai Kebebasan. Jakarta: Freedom Institute.
Dakhidae, Daniel. 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simon, Roger. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Blogger Comment
Facebook Comment