Seekor Kucing Cemani

Oleh: Firdaus Putra A.

I
SUATU malam, saya lupa kapan tepatnya, ketika berkunjung ke kosan pacar, kompleks Sumampir, saya bertemu dengan seekor kucing berbulu hitam utuh. Mungkin jika ia adalah ayam, ia akan disebut dengan ayam cemani. Ayam yang bulu, kulit dan matanya hitam semua. Tidak jadi soal saya kira untuk menyebut si kucing dengan sebutan kucing cemani.

Seperti biasa, saya berjalan berdua menyusuri jalanan Sumampir. Tepat di dekat kosan pacar, sesekor kucing cemani sedang me-ngeong-ngeong. Saya kaget. Ada kucing ternyata di rerimbunan tanaman Melati. Tapi, kenapa terus me-ngeong? Ternyata ia diikat oleh siempunya di depan rumah. Diikat pas di lingkar panggulnya. Ikatan a la Cowboy, paham maksud saya? Ikatan, ketika kita meronta atau melawannya, ikatan itu akan semakin kencang melilit tubuh kita. seperti itulah si kucing cemani diikat. Tidak salah jika ia me-ngeong. Pasti sakit rasanya. Pasti ngilu panggulnya, daerah selangkangan atau kelaminnya.

Kami berhenti sejenak, melihat dan mencoba menenangkan ngeongan malang itu. Si kucing semakin mendekati saya, ia pun semakin kesakitan. Niat saya untuk menenangkan justru berbalik menyakitinya, secara tidak langsung. Saya urungkan diri, lantas masuk ke kosan pacar, Caliandra namanya. Di dalam seekor kucing betina menunggu, belang hitam-putih. Ia langsung menuju ke arah paha saya, meminta untuk di manja. Tidak heran jika Ayu Utami dulu pernah bercerita, bedanya anjing dan kucing; kalau anjing adalah hewan yang macho, sedangkan kucing adalah hewan yang mesum. Lihat saja dari sorotan matanya, hidungnya dan cara menjulurkan lidah, lehernya. Mengundang kemesuman tersendiri.

Si kucing belang hitam-putih sudah berada di paha saya. Beberapa kali masih terdengar ngeongan si kucing cemani. Iba rasanya. Saya hanya diam. Pacar saya memahami, karena saya sangat menyayangi hewan jenis ini. Saya berujar, "De kasihan dia, keterlaluan sekali orang yang mengikatnya. Apa sih kesalahannya, sampai ia dihukum seperti itu. Kan sakit!". Suara saya berat, sedikit gemetar. Rasanya ingin menangis. Saya belai kucing belang-putih, dan berkata padanya, "Itu temanmu sedang kesakitan. Kamu kok enak-enakan tiduran di sini. Kamu cari aman ya!!!". Spontan saya turunkan kucing betina itu, agar ia lebih merapat ke bibir pintu. Agar ia lebih mendengar ngeongan kucing cemani yang kesakitan itu. Si kucing belang diam saja. Sesekali ia menengok ke arah kami. Kami tidak mengubris. Sesekali saya menarik nafas panjang. Ingin sekali menolongnya.

Pacar saya pun paham. "Mas, nanti ade ambilin gunting. Pas mas pulang, potong saja talinya. Gimana?". Ngeoangan kucing cemani masih tetap keras. Mungkin ia kedinginan, kelaparan atau kehausan dan yang jelas ia pasti sedang kesakitan.

Saya pun kembali keluar. Mengendap-endap, agar si empunya rumah tidak mendengar. Di dalam ruangan, si empunya sedang asyik ngobrol sembari menonton TV. Dengan membungkuk, saya coba tenangkan lagi si kucing. Saya coba lepas ikatan itu. Namun ternyata ikatannya begitu kuat. Si kucing tambah semakin meronta. Dahan Melati bergerak-gerak. Saya pergi meninggalkannya.

"De kalau di Pekalongan sudah mas lepasin kucing itu. Mas tadi sebenarnya pingin langsung bilang sama yang punya. Tapi takut kalau-kalau dituduh ikut campur atau cari masalah. Coba di Pekalongan, kampung sendiri."

"Ya sudah mas. Nanti malah dianggap cari masalah", ujar pacar menenangkan. Di luar sana si kucing tetap me-ngeong. Sampai beberapa menit kemudian, ia berhenti me-ngeong. Capai mungkin. Atau sudah pasrah karena tidak ada makhluk yang mau menolongnya. Seperti halnya saya yang tak kuasa menolongnya.

Saya pun berpamit. Tidak ingin kembali mendengar ngeongan si kucing cemani. Iba, kasihan, tapi tidak bisa berbuat banyak. Dengan mengambil sisi jalan lain, saya menghindar, bertemu dengan si kucing cemani. Malu rasanya, jikalau ia menatap dengan penuh harapan pada saya yang ternyata bukan pahlawannya. Untuk si kucing cemani, maafkan saya, jika engkau kecewa karena saya tidak mau dan mampu melepas tali itu. Maafkan saya.

II
SEMBARI berjalan, saya masih memikirkan nasib si kucing cemani. Kenapa manusia tidak memiliki peri kehewanan? Apakah benar jika kita menghukum sedemikian berat kesalahan seekor hewan yang mungkin ia tidak pernah tahu apa penyebabnya. Ikan pindang di meja. Atau ikan asin di almari yang ia makan karena lapar. Demikian berat nasib kucing.

Mungkin berharap manusia berperi kehewanan cukup sulit. Toh untuk menerapkan peri kemanusiaan saja sangat sulit. Saya kira sama nasibnya, seorang jambret, maling atau pencuri yang dimassa karena aksinya. Ketika tertangkap, ia diinterogasi, kenapa melakukan aksi ’keji’ itu? Ia menjawab dengan mulutnya yang memar, "Anak-istri butuh makan", atau "Istri saya butuh biaya untuk persalinannya". Dan banyak jawaban lainnya. Saya juga tidak membenarkan 100% tindakan si jambret, maling atau lainnya. Tapi, saya juga tidak bisa membenarkan 100% tindakan memassa mereka yang katanya meresahkan masyarakat. Potret semacam ini masih cukup lumayan, dibanding negara lainnya.

Kononkatanya, di Amerika yang kononkatanya pula menerapkan welfare state, kejahatan sudah sedemikian lumrahnya. Kejahatan menjadi perilaku yang sistemik. Bukan karena masing-masing individu atau anggota masyarakat memiliki mentalitas yang patologis dan menyimpang. Tetapi sistem lah yang memaksa mereka untuk; masuk dalam lingkaran pengedar narkoba, judi, mafia, preman dan sebagainya.

Sedangkan di Indonesia, sebenarnya tidak beda jauh. Sistem lah yang memaksa mereka bertindak patologis. Kenapa mereka miskin? Tentu bukan karena mereka malas. Tentu bukan karena mereka bodoh. Melainkan sistem di negara inilah yang memaksa mereka ’memilih’ miskin. Dampaknya, mereka akan bertindak patologis. Artinya, patologisnya pun, patologis yang sistemik.

III
SESUNGGUNYA meminta manusia [baca: masyarakat] berperi kehewanan sama artinya meminta untuk lebih mampu mengaktualisasikan peri kemanusiaan itu sendiri. Nasib si kucing tak ubahnya nasib si jambret. Ia dipaksa oleh keadaan, oleh sistem. Coba kalau sistem kita, masyarakat kita mengakui kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam sekitar; tragedi kucing cemani saya kira tidak akan terjadi. Jika kucing pun sudah sedemikian kita hormati, saya yakin tragedi memassa si jambret pun tidak akan terjadi.

Dunia kucing cemani adalah mikro kosmos di mana manusia turut menghuninya. Sebagai sesama makhluk Tuhan, saya rasa akan lebih elok jika kita mau dan mampu berbagi di Bumi yang sama, pun rumah yang sama. Kerendah-hatian kita sebagai manusia, untuk merasa tidak melebihi kemuliaan, kehormatan seekor kucing harus kita semai. Kerendah-hatian sebagai seorang manusia yang seharusnya kita mampu melakukan harmonisasi dengan alam, lingkungan dan makhluk Tuhan lainnya, akan melahirkan kondisi di mana kealamiahan hidup tercapai. Tentunya, bukan hanya kambing, ayam, angsa yang kita ’hormati’ karena laku kita jual. Tetapi seekor kucing atau hewan lainnya yang secara ekonomis tidak produtif, semestinya juga kita hormati.
***
Sudah dua bulan semenjak tragedi itu saya tidak pernah melihat si kucing cemani berkeliaran di kompleks kosan Caliandra. Yang saya jumpai, hampir setiap hari, hanyalah si betina belang hitam-putih yang saat ini sedang bunting. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment