Oleh: Firdaus Putra A.
I
APAKAH bisa OSPEK tidak mesti berkonotasi dengan indoktrinasi? Atau kata indoktrinasi kadung menjadi takdirnya yang selamanya akan selalu mewarnai ritual tahunan ini. Dan apa pula relevansi ‘Surat Pembaca’ ini dengan OSPEK yang baru kemarin kepanitiaannya terbentuk?
II
DULU, dua kali tepatnya saya pernah ikut dalam kepanitiaan OSPEK; ‘Lebah Imut’ dan ‘Mencari Madu’, tetap saja sama, OSPEK selalu menampilkan wajah dehumanisnya, dengan indoktrinasi nilai yang sarat akan kepentingan. Atas nama kebaikan, proses yang kontra-produktif terhadap kemanusiaan itu dijalankan. Berbeda mungkin dengan OSPEK yang dulu saya alami, ‘Lensa Kilat’, cukup membebaskan pada titik tertentu. Lalu, apakah OSPEK yang akan datang mampu menampilkan sosoknya yang membebaskan atau justru mengkerangkakan secara tegas apa yang boleh dan apa yang tidak—menurut kita.
Saya sendiri berpendapat, akan lebih baik mana kala OSPEK dapat kita format sehumanis mungkin. Artinya, meskipun proses indoktrinasi adalah keniscayaan yang tak terhapuskan, namun pada prosesnya dapat kita minimalisir hingga titik tertentu. Memang benar bahwa kita memiliki kepentingan dalam OSPEK itu, namun apakah etis, ketika kita membungkus kepentingan kita dengan mengatasnamakan kebaikan, akhirnya ‘memaksa’ mereka memilih jalan hidup yang bisa jadi tidak mereka kehendaki. Saya ingat, kalau tidak salah Isaiah Berlin pernah berujar bahwa kita—sebagai pembaru sosial—tidak dibenarkan mengarahkan orang lain, meskipun itu demi kebaikan orang tersebut. Sebenarnya ketika kita mengarahkan, sama artinya kita tidak pernah memandang, menghormati dan menghargai harkat dan martabat dia sebagai manusia.
Saya rasa memang demikian, OSPEK akan lebih terasa natural tanpa ‘memaksakan’ kepentingan kita yang banyak itu. Toh, nantinya mereka berposes juga di kampus ini. Apa artinya dua hari dengan mendoktrin mereka, yang ada justru pemuntahan secara paksa apa-apa yang telah kita sampaikan. Dengan menginsyafi waktu yang hanya dua hari itu, janganlah kita mewarnainya dengan sesuatu yang tidak etis bagi kemanusiaan.
Lalu bagaimana hal itu terjadi? Di sinilah signifikansi coretan ini. Bukan hal yang salah ketika Anda ikut dalam kepanitiaan OSPEK, dan di sisi yang lain Anda adalah anggota organisasi lain—ekstra ataupun intra kampus. Yang jadi kurang tepat, jika Anda yang memiliki baju lain itu mencoba ‘memaksakan’ baju lain Anda untuk membungkus nuansa dalam kepanitiaan besar ini. Saya rasa, OSPEK harus dipahami sebagai kepanitiaan milik bersama. Saya tidak menafikan, Anda memiliki kepentingan terhadap OSPEK ini, akan menjadi masalah jika Anda tidak mau dan mampu untuk mensinergikan kepentingan Anda dengan kepentingan OSPEK ini. Warna-warni adalah niscaya, perbedaan dalam khazanah dialektis adalah baik, tetapi akan tidak-produktif ketika satu warna coba ditampilkan secara paksa dan menghegemoni warna-warna yang lain. Demikian pendapat saya.
III
DULU ketika saya berproses dalam dua periode kepanitiaan OSPEK, saya turut mengonsep kegiatan besar itu, saya masih ingat di dalamnya kental dengan nuansa pendoktrinan yakni dengan nilai intelektual profetik a la Kuntowijoyo. Sekarang, mungkin saatnya saya ‘bertaubat’ dari konsep seperti itu. Dan jika Anda dulu berfikiran sama seperti saya, bahwa sah mengatasnamakan kebaikan dengan ‘memaksa’ orang lain agar sesuai dengan pilihan kita, maka saya sarankan Anda untuk ‘bertaubat’ dengan kembali pada kerendahhatian dan keoptimisan memandang ritual tahunan ini.
Kedua, saya juga ingin menyampaikan, bahwa konflik dalam segala bentuknya adalah wajar manakala produktif bagi proses dialektika. Akan tetapi menjadi kontra-produktif manakala konflik, benturan, friksi yang ada tidak disertai dengan proses dialog, saling terbuka dan saling memahami antara satu dengan lainnya.
Terakhir, semoga OSPEK 2006, dengan temanya "Education For All; Mewujudkan Pendidikan Yang Demokratis" dapat lebih produktif, membebaskan serta visioner bagi kita, pun mahasiswa baru. Wallahu a’lam bshshowaab[]
Blogger Comment
Facebook Comment