Oleh: Firdaus Putra Aditama
“Ketika ilmu pengetahuan melahirkan anak; teknologi.
Ketika akhirnya manusia menggauli dengan sangat sang anak tersebut.
Maka separuh gennya adalah teknologi mekanis,
dan separuh yang lain merupakan manusia organis.”
Jalan raya itu …Sesak, pengap, gumpalan asap kendaraan bermotor mengepul bergantian, putih-hitam memadati relung-relung jalan Ibu Kota. Berjubel motor, mobil, pejalan kaki terlihat bernafsu mengejar sang waktu, tanpa mempedulikan keadaan di sisi kanan-kiri, depan-belakangnya. Mereka maju, maju dan maju terus dan sekali lagi tanpa memperdulikan berapa jengkal jarak darinya (yang hanya dalam hitungan nol koma … meter saja) kendaraan macam apa yang di depan, belakangnya. Atau manuver-manuver yang menggetarkan dada, berselang-seling dalam hitungan detik, ketika secara tiba-tiba sebuah motor, mobil atau pejalan kaki berhenti. Menukik, berbelok, lincah, dan mengikuti satu alur yang berjalan.
Tidak ada kata berhenti, yang ada hanyalah menunggu untuk secepatnya melaju, lari kencang ketika traffick light memberi sinyal hijau. Puluhan hingga ratusan kendaraan melaju secara serentak, sekali lagi tanpa peduli pada asap knalpot yang menyelimuti wajah, tubuhnya. Melaju ke depan dan terus, terus, tanpa pernah berhenti. Berhenti berarti mati!
Potret kelincahan, kesigapan manusia-manusia Jakarta sempat terekam dalam benak saya, yang ketika itu berada dalam sebuah angkutan umum (Kopaja). Dan sewaktu itu, menyaksikan apa yang ada di depan saya lebih mengasikan dari pada berkeluh kesah ketika di dalam Kopaja yang saya tumpangi cukup menyesakan, membuat kepala pening, membuat perut limbung, serta mengurangi sedikit kesadaran klinis. Di dalam, meskipun sama sesaknya, lebih menyamankan dari pada di luar yang bagi saya cukup menyeramkan. Bagaimana tidak, banyak motor melakukan manuver-manuver, menikung, berbelok tajam ataupun masuk dalam sela-sela di antara satu mobil dengan lainnya. Seram bagi saya, namun belum tentu bagi mereka.
Satu hal yang sempat saya tangkap, ekspresi wajah mereka banyakan tidak memperlihatkan rasa takut ketika secara tiba-tiba di depan mereka berhenti sebuah truk barang atau sedan mewah. Hanya satu atau dua wajah yang terlihat ekspresif, penuh keterkejutan, ketakutan ketika hal itu terjadi. Dan saya berfikir, mungkin ia baru beberapa waktu di Jakarta. Seperti saya yang terkejut melihat tingkah polah manusia di jalanan Jakarta.
Mungkin membicarakan jalanan Jakarta tidak sepenting membicarakan BBM yang sebelum bulan puasa mendatang akan dinaikan kembali. Atau tidak sepenting membicarakan Avian Infuenza (flu burung) yang dikategorikan Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh pemerintah. Pun tidak sepenting membicarakan ‘Dua Matahari Kembar’ (SBY dan JK) yang antara satu dengan lainnya kurang sejalan dalam pengambilan kebijakan. Namun, membicarakan jalanan di Jakarta bagi saya memiliki engle-nya sendiri ketika kita lihat dalam kerangka sosiologis. Sebenarnya apa yang menarik dari serpihan kecil tingkah polah manusia Jakarta yang kaya akan keunikan-keunikan itu? Atau memang serpihan ini sudah sedemikian given dan tak perlu lagi dibicarakan?
Manusia dan rasa takutManusia adalah spesies yang unik. Keunikan ini tidak hanya terletak pada segi fisiknya yang sempurna. Tetapi juga sifat-sifat yang me-ruh-i bagian fisik itu. Ia memiliki akal, rasa, hati nurani, nafsu, amarah, dan seterusnya. Dalam kategori rasa ia memiliki rasa; bosan, sakit, takut dan seterusnya. Sehingga kelengkapan manusia dapat ‘terukur’ dari kelengkapan sebagai manusia seharusnya. Jika salah satunya tidak nampak, ia bukanlah ‘manusia yang sempurna’. Dan kenyataanya, manusia-manusia yang tak lengkap ini sering atau banyak kita jumpai dalam pergulatan keseharian. Entah kurang menalar, kurang merasa, kurang merenung atau lainnya. Tentu saja setiap kekurangan ini memiliki penyebab yang melatarinya. Sehingga bukan sesuatu yang rampung – given ketika kita membicarakan jalanan ibu kota.
Serpihan tingkah polah manusia Jakarta di jalan adalah sedikit dari banyak hal yang dapat kita bicarakan. Bagaimana kelincahan, kesigapan seseorang ketika ia melakukan manuver-manuver di jalanan. Bertarung dengan puluhan motor, mobil ataupun kendaraan umum lainnya. Dan juga bagaimana ia miskin ekspresi—untuk mengatakan tidak memiliki rasa takut—ketika melakukan manuver-manuver ‘gila’ itu. Bagi saya rasa takut bagi manusia adalah hal yang penting. Sepenting kita memiliki akal-daya nalar. Hal ini tentunya bukan untuk mencocokan dengan kelengkapan kemanusiaan yang saya ajukan di atas. Tetapi rasa takut bagi saya adalah hal yang membedakan menusia dengan robot atau alat mekanis lainnya. Rasa takut bagi saya adalah batas kemanusiaan agar ia tidak melampaui garis yang tidak semestinya ia sebrangi. Rasa takut adalah—dalam istilah yang cukup bagus—enchangement of the man (pesona manusia), yang dengannya kita berbeda dengan robopath atau manusia yang terobotkan.
Miskin ekspresi atau tereduksinya rasa takut manusia hingga pada titik tertentu ia tidak atau kurang memiliki reaksi terhadap apa-apa yang ada di sekelilingnya pada potret jalan di Jakarta menurut saya berawal dari pergaulan manusia dengan teknologi mekanisnya. Konkretnya, kita dapat menyebut kendaraan; motor-mobillah, adalah sesuatu yang ikut menggerogoti enchangement of the man-nya manusia.
Miskin ekspresi ini merupakan buah dari pergulatan yang erat sehingga membentuk suatu pola aksi-reaksi antara teknologi yang mekanis dengan manusia yang organis. Pola bentukan ini yang sayangnya kurang produktif, mengingat pola aksi-reaksi yang terjadi adalah manusia dengan benda yang tak berasa. Sehingga ketika teknologi (baca: kendaraan) mempengaruhi manusia-driver, yang terjadi adalah sebagian sisi kemanusiaan akan ‘hilang’. Yang ada adalah bagaimana manusia mengikuti logika mekanis, bergerak maju, mengejar waktu dan lupa bahwa dalam hitungan nol koma … meter, detik keselamatan jiwanya dapat terancam. Ia harus mengikuti alur yang sedang berjalan karena ia merupakan bagian dari sistem mekanik besar. Bagaimana komputer akan bekerja jika Motherboard-nya membelot. Seperti itu juga apa yang oleh lalu lintas jalan raya gariskan. Akan kacau lalu lintas manakala satu driver berbelok dan berbalik, kemacetan yang akan terjadi tentunya.
Logika mekanis, bagaimana setiap elemen menyumbangkan fungsinya agar apa yang dituju secara bersama dapat tercapai. Ia dilarang melakukan interupsi, berdebat atau sejenak menanya. Ia hanya diwajibkan untuk mengikuti aturan – prosedur yang telah diberlakukan, baik tertulis ataupun tidak. Jika ia menyangkal prosedur itu, maka sistem tidak akan berjalan.
Namun telisik saya selanjutnya, sisi kemanusiaan yang ‘hilang’ itu (baca: rasa takut) sebenarnya tidak sepenuhnya hilang. Telisik awal ini masih sangat mungkin untuk didiskusikan lebih lanjut. Jika energi adalah kekal, artinya tidak dapat hilang. Dan jika rasa takut manusia merupakan bagian dari energi negatif manusia. Maka adalah tidak mungkin rasa takut itu hilang begitu saja. Bentuk logika sederhana ini akan saya pergunakan sebagai telisik awal untuk bertanya, apakah energi itu (baca: rasa takut) hilang atau hanya berubah bentuk?
Realitas represif – represi realitasSaya rasa psikoanalisa a la Sigmund Freud cukup mampu menjelaskan hal ini. Menurut psikoanalisa, banyak realitas yang tidak sesuai dengan harapan manusia dalam kehidupan ini (realitas represif-dalam konteks di atas adalah menggilanya lalu lintas jalan ibu kota). Dan untuk menjalani realitas yang sebenarnya tidak mengenakan ini, manusia seringkali menekan realitas yang ia alami dalam alam bawah sadarnya (represi realitas). Penekanan ke dalam alam bawah sadar ini yang akhirnya akan membentuk badan gunung kesadaran manusia.
Dalam bahasa sederhana saya dapat mengatakan realitas yang represif akan dibalas balik oleh manusia dengan merepresi realitas itu. Tentu saja harapan represi akan realitas yang tidak mengenakan itu, adalah agar apa yang ia lakukan tidak terhambat, apalagi gagal. Saya dapat mengimajinasikan, bagaimana kacaunya Jakarta ketika banyak orang merasa takut untuk memasuki gelanggang jalan raya yang sesak penuh serta diliputi oleh bayang-bayang keselamatan dirinya yang terancam. Tentunya agar kekacauan (hambatan, kegagalan) ini tidak terjadi ia harus menundukan rasa takutnya. Berspekulasi bahwa sang malaikat maut tidak menjeputnya hari ini. Atau mungkin juga bahwa keberuntungan masih ditangannya hari ini, mungkin ….
Psikoanalisa melanjutkan, represi atas realitas pada titik klimaksnya akan melahirkan fenomena mimpi manusia atau yang lebih ekstremnya neurosis (gejala kacaunya saraf manusia). Pada konteks di atas, represi rasa takut manusia ketika ia melenggang di jalanan, saya rasa pada titik tertentu akan nampak pada fenomena neurosis seperti apa yang Freud ungkap. Dan telisik ini saya rasa akan cocok dengan hukum kekekalan energi. Ia tidak hilang, namun ia berubah bentuk menjadi energi negatif lainnya (baca: neurosis).
Semacam penutupTelisik singkat di atas tentang potret mekanisasi manusia di jalanan serta sublimasi rasa takut manusia menjadi neurosis adalah sebuah lontaran singkat serta terbuka. Masih banyak kemungkinan sudut pandang lainnya, pendapat lainnya yang memungkinkan pendapat saya mentah dan tidak tepat. Sehingga saya mengajak pembaca untuk bersama-sama melakukan reinterpretasi atas apa yang saya alami di atas. Harapan saya semoga diskusi singkat ini tidak hanya berhenti pada titik ini saja. Namun mampu menambah bahkan melampui titik yang sudah saya tuliskan. Semoga.[]
Blogger Comment
Facebook Comment