Oleh: Firdaus Putra A.
"Kawan-kawan boleh tidak sependapat dengan saya,
masalahnya bukan sependapat atau tidak, tetapi bagaimana kawan-kawan
dapat membuktikan bahwa pendidikan saat ini masih menyisakan harapan untuk kita, itu saja!"
I
KEMARIN baru saja kita lalui rentetan tahap kehidupan, dari SMA masuk ke perguruan tinggi atau unversitas. Sepertinya perpindahan tahap kehidupan itu berjalan dengan sendirinya, tanpa perlu kita pertanyakan, misal saja dari SD, lantas SMP, lantas SMA dan seterusnya. Hingga akhirnya mungkin kita lupa untuk apa pendidikan itu sendiri bagi hidup serta kehidupan kita. Dan mungkin juga kita lupa, untuk apa sebenarnya kita mengenyam pendidikan di bangku kuliah?
Sebagian orang berpendapat bahwa dengan pendidikan kita akan mendapat pekerjaan yang layak, minimalnya menjadi pekerja ’kerah putih’ (white colar), berada di belakang meja kerja, hanya tandatangan ini dan itu, lalu terima gaji, enough!. Tidak salah memang pendapat semacam ini, karena pendidikan sendiri sedikit-banyak memuat kecakapan-kecakapan praktis [hard and soft skill] sebagai bekal ketika memasuki dunia kerja. Hanya saja, apakah pendapat di atas sudah mencukupi dalam memandang fungsi pendidikan? Saya kira tidak! Menurut hemat saya, pendidikan tidak sekedar untuk melapangkan kerja kita, tetapi ada makna yang lebih dalam daripada itu.
II
PAULO FREIRE, tokoh pendidikan kritis asal Brazilia, melihat bahwa fungsi mendasar pendidikan adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Pembebasan ini lantas akan melahirkan keadaan yang kita sebut menjadi ’lebih humanis’ [manusiawi]. Fungsi mendasar inilah yang menjadi daya magnet untuk senantiasa kita pertahankan agar tetap dan selalu di dalamnya. Tanpa fungsi pembebasan untuk kemanusiaan [humanisme], pendidikan hanya akan tampak sebagai pabrik yang mengolah in-put berupa siswa atau saat ini mahasiswa, untuk selanjutnya menjadi out-put sebagai pekerja yang siap pakai. Model pendidikan semacam ini yang kita kenal dengan model pabrikasi pendidikan.
Model pabrikasi pendidikan memandang bahwa kita adalah obyek pendidikan yang pantas ’diterapi’ dengan berbagai resep. Tidak heran jika beberapa kali kebijakan pendidikan di negara kita berganti dari satu titik ke titik yang lain, karenanya kita diposisikan sebagai kelinci percobaan dari resep kebijakan itu. Kawan-kawan ingat kebijakan Ujian Akhri Nasional [UAN] dengan standardisasi nasionalnya yang terbatas pada tiga mata pelajaran saja? Itu adalah salah satu cerminan model pabrikasi pendidikan.
Lantas pendidikan semacam apa yang kita harapkan? Saya tidak terlalu muluk-muluk membayangkan pendidikan di Indonesia mampu melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas. Saya hanya mengharapkan agar pendidikan sebagai kawah candra dimuka agar kita mampu mengelaborasi, mengkreasi, mengeksplorasi, serta mendayagunakan potensi kemanusiaan kita—akal fikiran, hasrat, serta hati nurani—seyogyanya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Artinya, saya berharap agar pendidikan tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Baik the have dan/atau the have not berhak merasakannya. Saya berharap agar semua orang dapat merasakannya karena posisinya sebagai manusia, bukan karena kekayaan atau kecerdasannya, sekali lagi karena dia adalah manusia.
Kawan-kawan mungkin bertanya kenapa saya berharap demikian? Melalui pendidikanlah kesadaran manusia terhadap realitasnya dapat tersentil. Lalu dengan tersentilnya kesadaran itu, ia akan memiliki sense of critical [semangat kritis] yang tinggi terhadap realitas. Artinya bagaimana pendidikan melahirkan insan-insan yang mampu menyelesaikan masalah kemanusiaan-kemasyarakan dalam banyak hal. Entah itu masalah korupsi, pendidikan yang carut-marut, pemerintahan yang seenaknya sendiri; menaikan harga BBM, mengurangi subsidi pendidikan, mengurangi subsidi kesehatan dan seterusnya. Pendidikan memiliki komitmen bagaimana masalah-masalah kemanusiaan-kemasyarakatan di atas dapat tertuntaskan dengan cara yang manusiawi, arif lagi beradab. Bukan dengan cara-cara birokratik, teknokratik bahkan robotik yang miskin akan rasa kemanusiaan [sense of humanity] itu sendiri.
Itulah citra pendidikan ideal. Citra hanyalah citra. Karena citra hanyalah sekedar gambaran. Sebatas gambaran. Mungkinkah menjadi kenyataanl?!
III
SAMPAI saat ini saya masih yakin bahwa ketika kawan-kawan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, kawan-kawan memiliki satu atau banyak harapan [ekspektasi] tentang kehidupan di masa mendatang. Lantas, saat ini saya bertanya, apakah kawan-kawan optimis dengan pendidikan, kawan-kawan akan dapat mewujudkan harapan yang banyak itu? Harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, menuntaskan masalah masyarakat bahkan negara, membenahi sistem pemerintahan, membasmi korupsi, hidup serba kecukupan, dan seterusnya.
Jujur saja, saya menjawab dengan nada minor ketika saya [kebetulan] lebih dulu pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kawan-kawan boleh tidak sependapat dengan saya, masalahnya bukan sependapat atau tidak, tetapi bagaimana kawan-kawan dapat membuktikan bahwa pendidikan saat ini masih menyisakan harapan untuk kita, itu saja! Saya tunjukan, ketika kawan-kawan menyelesaikan pendidikan di SMA, tiba-tiba saja kawan-kawan dihadapkan dengan pilihan ’melanjutkan atau tidak’. Bagi yang mampu maka tentunya akan melanjutkan, bagi yang kurang mampu, mungkin mencari kerja atau lebih halusnya ’menunda sampai tahun depan’. Saat kawan-kawan sudah bersusah payah masuk, entah yang mampu atau kurang, kawan-kawan disodori dengan secarik formulir. Praktiknya tidak jauh berbeda dengan model UM UGM, kita disodori formulir sumbangan jurusan dalam nominal jutaan rupiah. Hanya saja UNSOED tidak [tepatnya ’belum’] semahal itu. Mungkin sekedar 10 atau 20 juta. Pada prinsipnya mungkin kawan-kawan menolak cara-cara demikian, hanya saja sistem yang ada memaksa kawan-kawan memasuki rel semacam ini. Saya menginsyafi hal tersebut, jadi akan terasa lebih elok ketika saya tidak menghukumi kawan-kawan dengan sudut pandang saya pribadi. Toh jangan-jangan ketika saya berada di posisi kawan-kawan, bisa jadi saya ikut-ikutan dalam sistem edan itu. Bagi yang melewati rel lain, kawan-kawan langsung dibenturkan dengan berbagai tetek bengek biaya pendidikan. Dari SPP, SPI dan seterusnya. Mungkin saat ini kawan-kawan lelah melihat nominal yang angka ’nol’nya kelewat banyak. Sekali lagi realitas semacam ini kawan-kawan saksikan di perjumpaan awal.
Semua citra ideal di atas sekali lagi hanya sekedar citra. Saat ini, mungkin satu atau banyak dari kita akan lebih berfikir bagaimana caranya cepat lulus, dengan rangking terbaik [IPK Cum laude], tidak neko-neko di kampus; entah sekedar ikut aksi damai atau long march, belajar tekun, seharian di perpustakaan dan seterusnya. Semua hal itu akan kita lakukan dengan alasan yang cukup rasional, yakni agar orang tua tidak terbebani biaya pendidikan kita yang setiap tahunnya naik. Akhirnya kita menjadi mahasiswa yang ’baik’, patuh dengan dosen-birokrat, tidak membangkang, takut mengkritik, manut, bahkan bersikap ’cari aman’ dari masalah yang ada. Paling tidak dulu saya sempat berfikir demikian.
Kejaran waktu kuliah sama artinya dengan kejaran biaya pendidikan. Ketika kita dikejar oleh dua momok itu, akhirnya kita lupa tujuan pendidikan yang sejatinya. Kita lupa bahwa kita memiliki komitmen untuk menuntaskan masalah-masalah kemanusiaan-kemasyarakatan yang setiap hari semakin bertambah. Kita lupa bahwa kita kuliah tidak hanya sekedar untuk pekerjaan yang layak. Tetapi ....
Lalu setelah saya ceritakan pengalaman itu, apakah kawan-kawan masih optimis?! Sekali lagi saat ini saya tidak sedang menggurui atau bahkan menghakimi kawan-kawan, toh kawan-kawan sudah mampu mendayagunakan seluruh potensi kemanusiaan layaknya orang dewasa, menelaah dengan fikiran, menimbang dengan hati nurani dan perasaan serta memiliki pilihan sadar yang dapat kawan-kawan pertanggungjawabkan. Saya hanya sedang berbagi sudut pandang, jika kawan-kawan optimis berkenaan dengan hal di atas, maka tolong yakinkan saya bahwa pendidikan saat ini memang masih pantas untuk kita harapkan. Sedangkan, jika kawan-kawan pesimis atau pun skeptis [ragu], maka mari kita bersama-sama mempertanyakan apa-apa yang pantas kita pertanyakan. Terakhir, apakah saat ini kawan-kawan termasuk dari yang optimis, skeptis atau justru pesimis?! []
Blogger Comment
Facebook Comment