Oleh: Firdaus Putra A.
KEBERADAAN agama di Bumi ternyata hinggat saat ini masih diharapkan kiprahnya dalam urun-rembug menyelesaikan permasalahan kemanusiaan. Hal ini tentunya bukan suatu kebetulan sejarah, yang meletakan agama sebegitu pentingnya. Namun lebih didasari oleh kapasitas agama yang memang mampu menyediakan ‘kebutuhan dasar’ manusia untuk mampu eksis dalam pergulatan kehidupan yang semakin ‘menggila’. Harapan besar yang tercurah dalam wajah agama sudah berlangsung semenjak awal kelahiran sejarah manusia–dalam bentuknya yang paling primitif; ritual pemujaan pada Dzat yang adikodrati.
Peran dan posisi yang vital ini tentunya tidak secara serta merta mampu agama ejawantahkan tanpa ‘bantuan’ tangan-tangan manusia. Artinya, peran dan posisi manusia dalam usaha mensejarahkan agama dalam kehidupan adalah hal yang niscaya. Sehingga proses ‘dialog’ antara agama dengan manusia (baca: pemeluknya) menjadi prasyarat agar agama tidak hanya berada di atas awang-awang, sulit digapai, bahkan impoten dalam kehidupan manusia.
Proses ‘dialog’ antara struktur (agama) dengan kultur (manusia), yang alih-alih dalam rangka menanggulangi impotensi keagamaan, tidak menutup kemungkinan untuk lahirnya bentuk impotensi baru. Hal ini mengingat manusia merupakan spesies yang unik; berasa, berakal, berkepentingan, dan seterusnya. Ia tidak dapat secara mutlak ‘disucikan’ dari fitrah kemanusiaanya. Fitrah kemanusiaan inilah yang sedikit-banyak mempengaruhi karakter ‘dialog’ yang dikembangkannya; produktif dalam aras kemanusiaan atau kontra produktif, memberangus sisi kemanusiaan itu sendiri.
Adalah fakta bahwa sering kali agama menampakan wajah humanisnya, pada sisi lain terkadang juga agama menampakan sisi anti-humanisnya. Tentunya masih segar di ingatan kita bagaimana wajah anti-humanisnya yang terkadang muncul dalam kasus; pembantaian manusia atas nama Tuhan, penghilangan nyawa yang seakan menjadi sah ketika dilegitimasi oleh teks suci. Atau dalam konteks keindonesiaan semisal; kasus Poso (Sulawesi), Ambon, dan yang terbaru kasus penertiban-dengan kekerasan-jamaah Ahmadiyyah di Parung (Bogor) dan sebagainya. Atas nama kebenaran Tuhan, satu golongan menghakimi ‘sesat’ golongan lain. Satu golongan melakukan kekerasan terhadap golongan yang lain. Di mana sesungguhnya segala jenis tindak penghilangan nyawa manusia, penggunaan kekerasan, atau lainnya tidak pernah sekali-kali direstui oleh Tuhan dalam pandangan agama-keyakinan-kepercayaan manapun. Dan untuk kesekian kalinya, kita mengelus dada atas impotensi yang diidap agama dalam hidup serta kehidupan manusia.
AKHIRNYA, sudah saatnya kita keluar dari nalar eksklusivisme, absolutisme, sektarianisme, fanatisme, komunalisme beragama dan melangkah pada nalar inklusivisme, multikulturalisme, saling menghargai atas perbedaan, menghormati kearifan golongan lain, tentunya agar sejarah manusia untuk kesekian kalinya tidak terporak-porandakan oleh ‘dialog’ yang tidak sehat ini.
Tentunya hal tersebut mengandaikan kemampuan manusia dalam ‘berdialog’ dengan agama agar ia lebih memihak manusia, agar ia dapat ditarik ke ‘bumi manusia’, menyejarah bahkan melokal untuk melakukan urun-rembug pada masalah kemanusiaan. Dalam atmosfir kehidupan yang postmodern, postdogmatis menghakimi ‘sesat’, menghilangkan nyawa, menertibkan dengan kekerasan terhadap golongan atau aliran lain tidak lagi diperlukan. Sudah saatnya kita dewasa dalam beragama untuk lebih beradabnya sejarah kemanusiaan yang sudah terlalu banyak ternodai oleh tangan manusia melalui berbagai jalan-di antaranya agama. Saatnya kita menampilkan wajah agama yang lebih humanis, membumi sehingga ia bukanlah momok yang menakutkan bagi manusia, tentunya sekali lagi dengan ‘bantuan’ tangan manusia. Semoga![]
Blogger Comment
Facebook Comment