Cyber Sastra, Telaah Kritis

Oleh: Firdaus Putra A.


"Terdapat semakin banyak informasi,
dan semakin sedikit makna."
[Jean Baudrillard]

Cyber-sastra.net
Cyber-sastra.net adalah sebuah komunitas tempat ‘berkumpulnya’ sastrawan-sastrawan yang menggeluti bidangnya masing-masing. Di dalamnya banyak kita jumpaia aneka karya dari banyak orang, banyak pernjuru. Yang menjadi menarik adalah, bahwa saat ini karya sastra sedemikian mudahnya untuk didapat. Hanya dengan membuka satu situs di internet, maka kita akan mendapatkan banyak tulisan yang katanya nyastra itu.


Cyber-sastra.net lahir merupakan sebuah bentuk adaptasi ketika saat ini masyarakat telah memasuki masa digital society atau masyarakat digital. Kemampuan adaptasi ini tentunya dalam rangka melestarikan sastra agar tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Dengan kemudahannya, kecepatannya baik untuk mendapatkan atau mengirim sebuah karya, ruangan yang satu ini banyak dikunjungi oleh masyarakat. Dan pada titik inilah demokratisasi atas akses infromasi telah terjadi.

Ruangan inilah yang membedakan dengan kolom di sebuah koran atau majalah. Untuk hal ini Yuliar (2001: 136-137), mencatat koran adalah juga media informasi. Tetapi koran lebih berorentasi ke limited-audience. Masalah kita sebenarnya adalah membuat media informasi itu bisa dimanfaatkan secara lebih meluas. Secara optimis, ia menutup dengan sebuah harapan bahwa masa depan akan lebih diwarnai oleh liberalisasi dan demokratisasi.
Namun, setiap teknologi selalu memiliki efek yang tidak sederhana. Sehingga kita pun harus waspada, dalam perayaan budaya massa di era digital—menggunakan perangkat digital—celah atau cacat apa yang dimungkinkan muncul? Karena Ginddens (dalam Ritzer, 2004: ), menggambarkan bahwa modernitas—dengan teknologinya—bagaikan juggernaut yang melaju kencang sehingga kita sebagai penciptanya tak dapat mengendalikan si ‘panser raksasa’ itu.


Masyarakat Informasi, Masyarakat KekinianMenurut Yulia (2001: 58) ada tiga sudut pandang dalam membaca masyarakat informasi. Di antaaranya adalah, ekonomi, teknologis dan kultural. Dalam konteks ini, pembacaan akan dispesifikan hanya pada dua sudut yang terakhir. Dalam sudut tekonologis, Yuliar (2001: 59), mengungkapkan bahwa gagasan kunci dari perspektif ini adalah berbagai terobosan dalam pemrosesan, penyimpanan dan transmisi informasi telah membuka ruang bagi penerapan teknologi informasi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Selain itu, adalah adanya konvergensi telekomunikasi dan komputer. Dengan hal ini, teknologi pemrosesan dan penyimpanan informasi yang murah berakibat pada distribusi secara intensif.

Pada titik itu, distribusi karya sastra menjadi sedemikian cepat, mudah dan murahnya. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit untuk melakukan proses up-load data. Dan kurang dari satu menit untuk mengakses karya sastra tertentu. Kemudahan ini menjadikan sastra seperti produk instan atau seperti makanan siap saji yang dijual di banyak kedai makan.

Dalam sudut pandang lain, Baudrillard (2004: 150), memberikan komentar bahwa budaya pop jauh dari ‘perasaan estetis kita’. Pop adalah seni yang ‘cool’, ia tidak menuntut ekstasi estetis, juga tidak partisipasi afektif ataupun simbolis (keterlibatan yang dalam), tetapi semacam ‘keterlibatan abstrak’, keingintahuan kanak-kanak, sesuatu yang menggembirakan yang berasal dari penemuan baru. Dengan mencuplik komentar Baudrillard ini kita bisa melihat implikasi yang dibawa oleh Cyber-sastra.net. Implikasinya adalah setiap karya sastra yang sudah diproduksi, direproduksi serta didistribusi melalui ruang maya itu, karya sastra yang bersangkutan akan menjadi karya sastra yang pop. Dapat dijumpai di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Tetapi, yang menjadi ironis ketika karya sastra itu sudah sedemikian ‘membumi’ di masyarakat, karya tersebut tidak lagi mempunyai ekstasi estetis. Semacam medan magnet yang menarik pembancanya untuk tenggelam dalam alur ataupun semangat cerita.

Beralih kepada sudut pandang kedua, perspektif kultural memandang sebuah masyarakat yang telah dijejali oleh banyak informasi. Yuliar (2001: 63-64), mencatat bahwa penyusupan informasi dalam arena kehidupan keluarga diiringi oleh pertumbuhan lembaga-lembaga yang mendedikasikan diri guna menanamkan simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari. Banyak lemabaga yang berperean itu memberikan kepada kita makna-makna alternatif yang bisa diserap, ditolak atau ditafsirkan oleh kita, sembari menmabha kosakata bagi perbendaharaan simbol-simbol makna. Kebudayaan kontemporer kita dijejali secara luar biasa dengan informasi, sehingga mengahasilkan lautan simbol-simbol atau ytanda-tanda dalam kehidupan sehari-hari.

Masih menurutnya, namun paradoksnya, ledakan infromasi ini jugalah yang membawa kematian bagi simbol-simbol, terssilaukan oleh simbol-simbol di sekitar kita, mendandani diri kita denganb simbol-simbol, membuat kita tak mampu melepaskan diri dari simbol-simbol itu sehingga nerakibat ganjilny, runtuhnya makna itu saendiri. Dalam konteks Cyber-sastra.net dapat kita lihat, dalam waktu kurang dari sdatu jam, kita dapat membaca banuak karya sastra yang dipaparkan. Mulai dari yang tragika, komedi, romatik dan semacamnya, atau karya-karya serius seperti esai, kolom, kritik sastra. Semua ‘barang dagangan’ itu bercampur-baur dalam satu ruangan. Akhirnya, kita akan mengalami kesulitasn dalam pernyerapan nilai serta makan yang dikandung setiap karya. Satu dengan yang lain saling tumpanmg-tindih, berseliweran tak tenhtu arah. Ujungnya kita dibuat bimbang serta kacau dalam lautan karya sastra itu.


Efek jauh dari lautan informasi adalah seseorang dapat dengan bebas memaknai simbol-simbol yang ia temukan, atau dapatkan. Karena menurut Baudrillard (dalam Yuliar, 2001: 64-65), simbol-simbol berdatangan dari bebagai arah, dan begitu beragam, berubah cepat dan saling bertentangan, sehingga daya penegasan pesan-pesan yang terkjandungnya menjadi redup. Di sisi lain, para penerima simbol-simbol itu sangat kreatif, sadar diri dan reflektif, sedemikian sehingga simbol-simbol itu disambut dengan sekeptis dan sbelah mata. Oleh mereka, simbol-simbol tadi dengan mudah dibalik maknanya, ditafsirkan ulang dan disimpangkan dari makna asalnya, simbol-simbol menjadi kehilangan kredibiilatsnya. Pada saat inilah, masa di mana hyper realitiy akan bermula.


Ketika hyper realitiy dalam karya sastra terjadi, maka seseorang akan mencampuadukan citra-citra yang berbeda untuk menyajikan sesautu yang tanpa makna, untuk bersenang-senang da;lam parodi. Dalam masyarakat informasi de,mikian, kita memiliki sekumpulan makna-makna yang dikomunikasikan, namun tanpa makna.[]

Acuan
Baudrillard, Jean P. 2004. Masayrakat Konsumsi. Yogyajarta: Kreasi Wacana.
Yuliar, Sonny. 2001. Memotret Telematika Indonesia Menyongsoing Masyarakat Informasi Nusantara: Sebuah Wacana Sosiokultural tentang Teknologi Telekomunikasi dan Informasi di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment