Berbagi Tempat Tinggal

Oleh: Firdos Putra A.

Mulai beberapa minggu yang lalu kamarku terisi enam nyawa. Mau tak mau aku harus berbagi tempat tinggal dengannya. Meskipun kadang aku merasa risih, tempat privasiku menjadi berkurang. Apa lagi saat aku ingin istirahat, mereka menggangguku dengan suara gaduh. Lebih dari itu, aroma tak sedap pun sering mereka keluarkan.

Kemarin (3 November 2007) aku pindahkan mereka ke kamar kosong. Aku berikan selimut seadanya. Tapi, nyatanya pagi hari tadi mereka pindah lagi ke kamarku. Ah, betapa sulitnya perilaku mereka. Empat kucing kecil yang baru berukuran setelapak tanganku, dan satu ibu kucing. Pagi itu aku terbangun karena beberapa kali di atap kamarku si ibu kucing melompat dan mendarat di asbes. Bruk! Dua kali. Artinya, dua ekor anaknya sudah dimigrasikan lagi. Kembali ke habitatnya, kembali ke atap kamarku.

Aku tidak habis pikir, kenapa si ibu tidak mau menempati kamar kosong yang aku sediakan? Terbangun dari tidurku pagi tadi, aku merenung, apa yang ibu kucing pikirkan? Apa mungkin takut kalau anak-anaknya diganggu manusia ketika berada di bawah? Atau mungkin karena di bawah terlalu lembab? Mungkin dua alasan itu yang aku temukan. Secara naluriah, ibu kucing ingin mengamankan-menyamankan anak-anaknya dari lingkungan sekitar yang bising, ramai. Selain itu, kamar kosong yang ditinggalkan menyisakan aroma yang sama sekali tidak sedap. Sepertinya kelembaban udara tidak bisa membuang jauh-jauh aroma dari kecing, air besar mereka. Berbeda ketika di atas asbes. Kering, dan yang jelas angin selalu bertiup. Makanya, meskipun jaraknya tidak jauh dengan kamarku, baunya tidak terlalu menyengat. Dua alasan itu yang aku terima untuk membenarkan tindakanku berbagi tempat tinggal dengan mereka.
Toh percuma saja kalau aku pindahkan lagi. Pasti akan kembali ke atap kamarku lagi. Rasanya sulit untuk mengkomunikasikan apa-apa yang aku kehendaki kepada ibu kucing. Padahal kemarin malam si ibu sudah coba aku “sogok” dengan sepotong lumpia goreng. Eh, ia justru tidak memakannya.

Pagi tadi aku sempatkan mencari potongan lempeng kayu. Aku temukan lima potong lempeng di gudang. Aku bawa naik ke atas atap. Aku tata sedemikian rupa agar lempengan kayu itu bisa menjadi alas tempat tinggal mereka. Aku hanya khawatir kalau mereka tetap hidup di permukaan asbes, suatu ketika jeblos. Matilah mereka, dan aku rugi karena atapku rusak dan kamarku kotor.

Mungkin ini adalah jalan tengah antara aku dan mereka. Berbagi tempat tinggal dengan berbagai resiko. Minimalnya kamarku sedikit bau, apalagi ketika pintu dan jendela tertutup. Pengap dan penih aroma kucing. Maksimalnya aku terkena penyakit toxoplasma. Semoga saja yang terakhir ini tidak terjadi. Semoga Tuhan tahu kalau maksudku baik dan menjaga kesehatanku dari penyakit itu.

Toxoplasma merupakan penyakit yang merusak beberapa fungsi tubuh manusia. Biasanya yang terkena penyakit ini akan sulit mendapatkan keturunan. Bila mempunyai bayi, dimungkinkan bayi lahir tanpa tempurung kepala. Sepengetahuanku ada dua hewan sebagai pembawa (carier) bibit penyakit ini; kucing dan burung. Dan posisiku saat ini sebagai penjamu (host) yang rentan tertular.

Memang dari kecil aku senang memelihara kucing. Dan aku hapal, bagaimana kucing akan berpindah tempat tinggal sampai lima atau tujuh kali sampai anak mereka cukup besar untuk bisa makan dan minum sendiri. Hanya saja, saat ini kenapa atap kamarku yang menjadi sasaran mereka. Apa ibu kucing tahu kalau aku menyayangi mereka dan tidak tegaan ketika melihat mereka sengsara? Mungkin dia membaca sorot mataku. Sorot mata yang senantiasa melambai pada kucing, “hai pus, dah makan belum?”. Sering aku berbicara dengan mereka, seakan-akan mereka tahu apa yang aku bicarakan. Mereka menanggapi dengan mengeong. Entah itu aku tertawa, mereka menjawab dengan “ngeong-ngeong”. Atau saat aku geram, “ngeong-ngeong”. Juga saat aku menasehati mereka supaya jangan nakal, “ngeong-ngeong”. Aku rasa mereka tahu apa yang aku bicarakan.

Pagi ini aku siapkan tempat tinggal bagi mereka. Aku berikan toleransi kepada si ibu kucing. Aku maklumi, karena anak-anaknya masih tergantung hanya dengan ASI. Suatu tempo manakala mereka berempat sudah bisa makan dan minum sendiri, aku akan migrasikan mereka ke suatu tempat. Aku tidak ingin atapku jeblos, atau kamarku tidak lagi beraroma tubuh manusia. Aku juga ingin ruang privasiku kembali. Tidak terganggu dengan bunyi langkah kaki, kuku kaki menggaruk asbes, atau ketika si ibu kucing membesuk untuk sekedar memberi susu, bruk!
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :