Dangdut is Music My Country


Oleh: Firdaus Putra A.

Kali keduanya aku menonton film layar lebar Indonesia, “Mendadak Dangdut”. Kali pertama aku menontonnya di bisokop Rajawali 21 bersama pacar. Kali keduanya aku menontonnya di salah satu stasiun televisi swasta.

Ada yang menarik perhatianku, bukan kecantikan Titi Kamal, atau si Kipli yang melirih buah dada Titi Kamal. Tapi bagaimana eksplorasi filosofis antara musik pop dengan musik dangdut yang dilakokan oleh si Yati Asgar.

Dangdut adalah musik rakyat. Sebagai penembang dangdut, ia dituntut untuk menghibur para penontonnya. Minimalnya, penonton dapat melupakan sejenak beban hidupnya dengan berbagai masalah. Inilah yang membedakan musik dangdut dengan lainnya.

Pop, dia hanya mengekspresikan ke-aku-an penulis lirik atau penembangnya. Ekspresi dari individu yang bebas berkreasi. Tidak mempedulikan apakah masyarakat suka atau tidak. Apalagi rock, lebih-lebih yang ber-genre hard rock.

Meskipun sama-sama memberi kenikmatan, hiburan dan juga melenakkan, musik dangdut memberikan penghiburan secara kolektif. Sedangkan pop, rock hanya secara individual. Dangut adalah musik pinggiran. Dengan lirik yang juga sangat realis. Pop, rock adalah musik yang artikulatif.

Aku sangat kagum dengan penelusuran filosofis dua genre musik itu. Dulu aku tidak pernah tahu bahwa dangdut menyimpan nilai sosial yang begitu luar biasa. Tidak salah jika Project-P mencipta satu tembang dengan judul “Dangdut is Music My Country”.

Indonesia di kenal dengan paguyubannya. Tidak salah jika musik awal yang mengiringi masyarakat adalah dangdut. Apalagi dulu ketika budaya melayu masih cukup kental di beberapa wilayah. Musik dangdut atau dulu musik melayu ini merupakan hiburan sepanjang masa dan sejuta umat.

Aku tidak paham mulai sejak kapan musik pop masuk ke Indonesia. Yang jelas, aku yakin musik jenis ini berjiwa muda. Sebuah skuel usia ketika kita masih sangat greget untuk berekspresi, juga mengeksplorasi potensi diri. Meskipun dulu, pada masa Soekarno, musik pop dianggap sebagai musik yang menelenakkan jiwa. Tidak revolusioner. Maka dicap sebagai musik yang ngak-ngek-ngok, dan dihimbau untuk tidak mendendangkannya.

Sedangkan hari ini, aku yakin sedikit muda-mudi yang menyukai musik dangdut. Jika suka, mereka pun akan sembunyi-sembunyi ketika mendengarkan atau memutarnya. Takut dianggap kampungan atau tidak gaul. Seakan-akan musik dangdut adalah musik kelas bawah.

Meskipun gelombang besar mulai datang. Beberapa stasiun televisi mulai mengadakan berbagai acara musik yang bertema dangdut. Tidak ketinggalan kontes dangdut juga digelar di banyak tempat. Tapi, ada yang kurang dari kontes itu, tidak seperti Yati Asgar yang mengatakan bahwa ketika menyanyi, tuluskanlah hati untuk menghibur yang lain. Nampaknya nilai sosial itu yang saat ini tidak ada di beberapa kontes dangdut. Mereka menyanyi, meriah, atraktif tetapi miskin rasa, miskin makna. Selain mengejar juara, juga uang.

Bila memang musik dangdut adalah kampungan, apakah menjadi soal ketika kita lihat bahwa sejarah panjang Indonesia adalah sejarah panjang pertanian. Sebuah negeri yang sebenarnya berdiri dari kaki desa-desa yang membujur hijau dengan persawahan di mana-mana. Tengoklah, para petani hari ini masih sangat menggemari dangdut. Para buruh bangunan, buruh jahit masih hapal lirik dangdut daripada pop atau pun rock.

Sedangkan kita hari ini, adalah anak dari zaman peradaban yang lain. Masa di mana kebebasan menemukan pintu masuknya. Di mana individu adalah penentu takdirnya masing-masing. Masa di mana kesaling ketergantungan antar-unsur menjadi semakin nyata. Masa di mana kesenjangan juga semakin nyata. Sebuah masa yang saling bertali-kelindan antara janji manis modernisme dengan berbagai resiko modernitas yang tak terdamaikan.

Di antara dua genre itu, lahir genre ketiga, Matta Band yang menanjak dengan “Kamu Ketahuan”, nampaknya ingin mencoba mengawin-silangkan antara dangdut yang berkarakter pinggiran dengan pop yang ekspresif dan artikulatif. Sebuah usaha untuk membumikan dangdut di kalangan muda-mudi, atau membumikan pop di kalangan pekerja kerah biru. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment