Studi Kasus PEMIRA KMFE UNSOED
Oleh: Firdos Putra A.
I
Jargon demokrasi begitu rupa dipercaya oleh mahasiswa sebagai sistem yang par excelence. Sistem itu juga yang akhirnya dipilih oleh kawan-kawan mahasiswa untuk mengkreasi sistem pemerintahannya. Layaknya dalam demokrasi negara, pemerintahan mahasiswa juga tidak ketinggalan dengan melaksanakan hajat besar yang kita kenal dengan PEMIRA (Pemilihan Umum Raya), guna menentukan siapa yang pantas menduduki kursi pemerintahan.
Tidak sekedar mengimitasi prosedur suksesi kepemimpinan dalam negara, mekanisme pemungutan suara pun nyaris sama, yakni mahasiswa sebagai voters memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka berpikir bahwa mekanisme ini akan menjaga azas LUBER dan JURDIL seperti yang diterapkan negara dari dulu sampai sekarang. Alhasil, sampai saat ini banyak fakultas di UNSOED, yang menggunakan TPS sebagai mekanisme pemungutan suara.
Hanya sayangnya, ada masalah yang selalu mengganjal setiap PEMIRA digelar, yakni minimnya tingkat partisipasi publik yang menyalurkan suaranya di TPS. Sebagai gambaran, total mahasiswa Fakultas Ekonomi UNSOED lebih dari 4000 orang. Dan pengalaman membuktikan, hanya lebih dari 400 mahasiswa yang menyalurkan suaranya di TPS pada tahun 2006. Di FISIP pun, fakultas yang dianggap mahasiswanya kritis, pada tahun yang sama tidak kurang dari 700 mahasiswa menyalurkan suaranya. Padahal total mahasiswa FISIP lebih dari 2000 orang. Dan masih berlanjut pada PEMIRA BEM UNSOED, tercatat kurang dari 5% dari total mahasiswa UNSOED—yang mencapai 20.000 orang—menyalurkan suaranya. Sungguh ironis bukan?
II
Kejadian serupa selalu berulang. Dan sayangnya sedikit orang yang melakukan evaluasi terhadap sistem demokrasi (prosedural) itu. Sedikit kawan-kawan aktivis mahasiswa berpikir ulang tentang apa yang salah yang menjadikan partisipasi publik sedemikian rendah. Mungkin mereka terjebak dengan logika perebutan kekuasaan dan akhirnya mengesampingkan makna pemberdayaan mahasiswa sebagai raison d’etre adanya pemerintahan mahasiswa itu sendiri. Atau jangan-jangan justru mereka menikmati ketakterlibatan publik karena akan mempermudah kepentingannya tercapai. Semoga salah.
Sempat saya berpikir tentang legitimasi pemerintahan mahasiswa. Apakah legitimate bila partisipasi publik demikian rendah? Beberapa kawan aktivis malah menyalahkan kultur mahasiswa (voters) karena mereka apatis. Sedangkan saya berpikir lain, saya rasa sistem demokrasi prosedural kita lah yang tidak tepat.
Saya justru berpikir, jangan-jangan kita terjebak dengan gaya demokrasi prosedural negara yang menggunakan TPS sebagai media penyaluran aspirasi. Saya tidak berpikir rumit dengan menjelaskan bahwa mayoritas mahasiswa hari ini sedemikian apatis, hedon, glamor dan sebagainya. Karakter seperti itu dikonstruk oleh gaya hidup produk kapitalisme global. Saya pernah berpikir semacam itu, tetapi menurut saya faktor itu tidak terlalu signifikan. Saya justru berpikir jangan-jangan mayoritas mahasiswa yang tidak menyalurkan suaranya lebih karena persoalan psikologis.
Saya menduga bahwa absennya mereka dari TPS lebih disebabkan karena mereka malu untuk sekedar mendatangi TPS dan memberikan suaranya. Atau mereka kadung menganggap bahwa dunia ‘politik kampus’ adalah dunia di luar dirinya dan sama sekali tidak bersinggungan dengan dirinya. Mereka merasa sebagai bagian dari publik yang terpinggirkan dari jejaring wacana kampus, untuk itu ketidakterlibatan adalah hal yang wajar.
Jika asumsi saya benar, maka kawan-kawan aktivis, saya rasa tidak bijak mengklaim bahwa mereka apatis dan akhirnya tidak berpartisipasi dalam PEMIRA BEM. Saya rasa pernyataan semacam ini sangat naif dan justru mengukuhkan bahwa aktivis mahasiswa merupakan kaum elit yang tidak menjejak (baca juga tulisan saya tentang “Rethinking Apatisme Mahasiswa”).
III
Dulu di tahun 2006, ketika FISIP hendak melaksanakan PEMIRA BEM, saya mengusulkan untuk merubah mekanisme media pemungutan suara, dari TPS ke Goes to Class atau Jemput Bola. Sayangnya mekanisme ini ditolak dengan alasan Komisi Pemilihan Umum Raya (KPR) kekurangan orang. Padahal jika tidak salah ingat KPR waktu itu lebih dari lima orang. Dibantu juga oleh anggota Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) 2006. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk menolaknya.
Suatu ketika saya sampaikan gagasan semacam ini kepada rekan saya, Jajang Yanuar Habib. Beliau merupakan anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DMP) KMFE. Saya jelaskan kepada beliau bahwa esensi dari pemerintahan mahasiswa adalah pemberdayaan. Sedangkan realitas hari ini, pemerintahan justru menjauhi basis massanya. Lihatlah PEMIRA yang miskin pemilih tiap tahunnya. Saya tegaskan kepada beliau, jika pemerintahan mahasiswa ingin menjejak, maka rangkulah mahasiswa yang mayoritas itu sebagai basis riil perjuangan. Cara merangkul itu termasuk juga pada pilihan cara. Kemudian saya beberkan gagasan saya tentang mekanisme Goes to Class atau Jemput Bola. Dan nampaknya beliau memahaminya dengan baik.
Alhasil, saat diadakan PEMIRA BEM KMFE Sdr. Jajang yang bertindak sebagai panitia penyelenggara melakukan perubahan prosedur. Sdr. Jajang (baca: DPM KMFE) menetapkan bahwa mekanisme PEMIRA akan dilaksanakan dengan cara masuk ke kelas-kelas. DPM akan menjemput mahasiswa untuk menyalurkan suaranya di media yang telah disediakan. Cara ini lebih ditujukan pada angkatan 2005 – 2007 yang masih sering beraktivitas di kampus. Sedangkan angkatan 2003 – 2004 disediakan TPS sebagai gantinya.
Kemudian, dari percobaan mekanisme baru itu (campuran antara Jemput Bola dengan TPS), saya memperoleh kabar gembira bahwa partisipasi publik meningkat tajam. Hari ini suara yang masuk lebih dari 1000 kertas suara. Bedakan dengan tahun 2006 yang hanya lebih dari 400 kertas suara. Partisipasi publik meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dan perlu dicatat, bahwa cara ini (campuran antara Jemput Bola dengan TPS) dipraktekan oleh Sdr. Jajang dan kawan-kawannya yang berjumlah hanya lima orang. Bagaimana? Bukankah sebuah terobosan cara yang efektif?
IV
Belajar dari PEMIRA BEM KMFE saya kemudian berpikir, bahwa janganlah kita terlalu latah dengan mengekor gaya demokrasi (baca: PEMILU negara). Demokrasi mahasiswa sedikit-banyak berbeda dengan demokrasi negara. Saya memformulasikan bahwa demokrasi mahasiswa adalah demokrasi minimalis.
Artinya, kita harus memahami karakteristik mahasiswa sebagai basis massa atau voters untuk kemudian mengkontekstualisasikan cara atau pilihan metode yang tepat. Bagi saya demokrasi mahasiswa harusnya dilaksanakan sesederhana mungkin. Berbeda jauh dengan demokrasi negara yang disokong dengan berbagai fasilitas publik.
Menurut saya, tahap demokrasi mahasiswa sebenarnya masih dalam kerangka belajar. Dalam konteks itu jangan lah kita berharap dengan segala keterbatasan yang ada, menggunakan sistem yang canggih dan dan berhasil dengan optimal. Pengalaman KMFE menunjukan adanya signifikansi pilihan cara dengan partisipasi publik. Dari < 400 suara naik menjadi <1000 75="" akan="" banyak="" br="" cara="" dari="" dengan="" depan="" matang="" menembus="" mustahil="" panitia="" partisipasi="" penyelenggara="" persiapan="" populasi.="" publik="" sama="" suara.="" tahun="" tidak="" tingkat="" total="" yang="">
V
Saya mendengar bahwa KBM FISIP akan memulai hajatan besar di bulan Januari, yakni MUSUM dan mungkin dilanjutkan dengan PEMIRA BEM pada bulan Maret 2008. Belajar dari pengalaman KMFE, saya sarankan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan PEMIRA BEM untuk mengambil gambaran dari proses yang terjadi di KMFE.
Hari ini, nampaknya FISIP perlu belajar dengan fakultas lain. Juga dalam konteks PEMIRA. Dan saya rasa tidak perlu kita gengsi untuk menimba ilmu, toh adanya kalian (pemerintahan mahasiswa) bukan untuk diri kalian. Melainkan untuk seluruh mahasiswa FISIP. Siapa tahu dengan formula yang sama, tingkat partisipasi publik dapat didongkrak sampai menembus angka ribuan. Jika ini terjadi, perjuangan penegakan demokrasi kampus bisa dikata mulai tersemai.
Terakhir, saran saya untuk para pegiat kampus, janganlah kita berpikir secara konvensional. Buatlah terobosan-terobosan baru. Jangan takut dengan bayang-bayang tradisi. Bukankah sebenarnya perubahan adalah sebuah perombakan atas tradisi dengan tradisi yang lain? Dan hari ini saya membaca adanya satu terobosan menarik yang digulirkan oleh Teater SiAnak dengan iklan layanan masyarakatnya, “Matinya Si Bang-Jo?”. Sebuah praksis sosial yang berangkat dari kelokalan, kontekstual dan produktif bagi semua elemen, termasuk di dalamnya kita sendiri sebagai mahasiswa. Lantas kapan UKM, HMJ atau lembaga mahasiswa lainnya melakukan terobosan serupa? Dalam konteks yang sama, yakni pemberdayaan sosial (baca: mahasiswa-masyarakat).[]1000>
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar