A Frozen Time and A Question


Oleh: Firdos Putra A.

Sekelompok mahasiswa terlihat asyik sedang ngobrol santai sudut kantin. Memang hari itu begitu terik, kurang nyaman untuk melakukan aktivitas berat. Mereka tertawa dalam candaan yang entah aku tak pernah tahu apa itu.

Langit masih terlihat terang. Sinar matahari juga masih tetap menghujani alam dengan jutaan energi panas. Kampus terlihat lengang. Beberapa motor tertata rapi di tempat parkiran.

Aku masih setia dengan sebatang rokok yang menyala di sela-sela jariku. Aku mainkan rokok itu. Berputar-putar memasuki telapak tangan. Tidak sampai menyentuhnya. Es teh di mejaku sudah habis sedari tadi. Seperti yang lain, aku hanya numpang minum, numpang berteduh dari teriknya matahari. Tidak ada seseorang yang aku tunggu.

Aku masih sendiri dengan sekelumit pikiran yang mengawang-ngawang, tak jelas apa itu. Tatap mataku seringkali kosong, melihat entah kemana. Sesekali memandangi sekelompok mahasiswa yang masih asyik ngobrol. Tatap mataku berhenti, mengamati satu per satu wajah-wajah mereka. Pakaian yang mereka kenakan. Asesoris yang mereka tempelkan di tubuh.

Seorang mahasiswi menarik perhatianku. Bercelana pensil warna kuning. Terpadu dengan t-sirt warna merah. Terbalut dengan cardigan warna biru. Di tangannya Nokia seri N 70 tergenggam. Rambutnya lurus, menguntai sampai ke bahunya. Di atasnya tertempel bandana warna putih. Dari mulutnya terkepul asap rokok, putih ke abu-abuan.

Aku masih memperhatikannya. Sekarang aku justru memikirkannya. Atau lebih tepatnya membayangkannya. Ingin rasanya aku memasuki dan mencicipi gaya hidupnya. Atau minimalnya aku tahu bagaimana keadaan rumahnya. Bagaimana keluarganya. Kamarnya. Aku sungguh penasaran.

“Plak ... plak”, dua kali aku tepukkan tangan. Aku hampiri mahasiswi itu. Aku ambil tas tentengnya di atas meja. Ku buka-buka, kutemukan ID Card-nya. Tercatat Ranilla Kusuma Dewi, lahir Tasikmalaya, 23 April 1990. Di antara sela dompetnya, aku temukan kartu ATM BCA, seri Gold. Beberapa member card, La Tulipe Beauty Care, Aero Body Language. Juga kartu Visa yang mulai memudar warnanya.

Kutemukan juga satu buah buku agenda kegiatan. Aku buka perlahan-lahan. Di sela-sela halamannya, terselip tiket Garuda Airlines, Jakarta – Singapura yang sudah lewat beberapa hari yang lalu, 11 Februari. Aku buka halaman demi halaman. Satu coretan bertinta putih metalik menarik perhatianku. Aku baca perlahan-lahan ...

sebuah pertanyaan

udara dingin turun menggetar seluruh tubuh kita
langit kosong dan beku
sambil berjalan,
kita masing-masing menggenggam sebuah pertanyaan
yang tak akan terjawab meski sampai akhir zaman


Ternyata bait-bait puisi. Peristiwa apa yang tengah ia lalui? Membuat aku semakin penasaran. Di halaman berikutnya aku temukan foto laki-laki tampan. Wajahnya familiar dan seingatku sering muncul di layar televisi. Oh ya, aku baru ingat. Laki-laki itu adalah artis muda yang baru melejit karirnya. Ternyata dia ngefans dengan artis ini. Tapi tunggu, di bawahnya tertulis, “Jangan lupakan masa ketika kita berjalan di suatu senja di Kyoto”. Apa mungkin dia adalah kekasihnya? Ah, bairlah. Aku buka halaman-halaman berikutnya. Dan sampai selesai aku lihat dan baca isi buku agenda itu.

Aku masih penasaran. Belum juga aku temukan gambaran utuh bagaimana kehidupan Ranilla. Aku ambil HP yang digenggamnya. Kulepas perlahan-lahan jari jemarinya dari HP itu. Aku buka in-box message. Aku baca ... Beberapa SMS menarik perhatianku.

16/02/2012 11:31 PM
Nil gmn dah kejebol tuh BII? Kmrn temnku bisa mask BI. Tpi hny dua pintu.
Worm pesenanmu dah ada.
Sender: Lexy

16/02/2012 11:40 PM
Hebat kamu nil. Bagi-bagi dunk, satu pa dua juta aja.
Sender: Lexy

16/02/2012 11:46 PM
Thnk ya. Nil ati-ati make wormnya. Jgn lpa hapus root backdoor sblm keluar.
Sender: Lexy


Ehm ... mulai tahu aku bagaimana kehidupanya. Hebat, jenius sekali. Aku kirim satu pesan kosong ke Hpku, hanya untuk mengetahui nomornya. Aku letakkan kembali HP itu di genggaman jarinya. Kukorek-korek lagi tasnya. Siapa tahu masih ada yang terlewat. Tidak ada apa-apa, selain kotak bedak, dan alat make up lainnya. Aku tata seperti sedia kala. Serapi mungkin. Beberapa kali aku jepret dirinya dengan kamera digital.

Kembali ku tempat dudukku. Aku sulut satu batang rokok. “Plak ... plak”, dan kembali waktu berjalan. Dan Ranilla kembali melanjutkan ngobrolnya dengan mereka.

Aku kirim satu pesan, “Nil bisa kita ngobrol?”. Aku kirim. Tak berapa lama Hpnya berbunyi. Aku masih memperhatikannya, sampai waktu ia membuka pesan dan sepertinya membalas pesan itu. Ia tidak tahu. “Eh siapa ya?”, balasnya. Sengaja Hp aku silence. “Bukan siapa-siapa. Seseorang yang ingin mengenalmu?”, balasku tanpa basa-basi. Kembali Hpnya berbunyi menandakan pesanku diterima. “Oh. Ngobrol apa, kapan dan dimana?”, tanyanya dengan terbuka. “Tentang puisimu, nanti malam, kalau di kosmu?”, jawabku. “Apa, puisiku. Aku gak pernah nulis puisi kali ... Yang benar aja kamu”. Nampaknya ia tidak tahu puisi apa yang aku maksud. “Puisi di agendamu, Sebuah Pertanyaan”, jawabku terus terang. “Apa, di agendaku. Kamu baca-baca agendaku ya. Siapa sih kamu? Gak sopan banget seh!”.

Nampaknya ia mulai kesal, sadar kalau ruang privatnya aku susupi. “Maaf atas kelancanganku. Aku lebih tertarik mbahas puisimu daripada mbahas caraku membaca puisimu”, jawabku dengan innocent. Aku lihat wajahnya bersungut-sungut. Sewot. Teman di sebelahnya bertanya apa yang sedang terjadi. Dengan geram ia menjawab, “Gila gak Tin, ada orang SMS ma aku ngajakin kenalan. Eh iya malah minta ngobrolin puisi yang aku tulis. Padalah aku nulis puisi itu kan di buku agenda. Berarti dia buka-buka bku agendaku dong. Gak sopan banget neh orang. Kalau ketahuan, awas”. Aku hanya tersenyum kecil mendengar gerutunya.

Tanpa menghiraukan reaksinya, aku bangkit dari tempat dudukku. Melewati mejanya, aku lirik. Di dalam hati aku tertawa. Aku bayar pesananku tadi. Aku pulang.

Sepulang di kos, aku nyalakan komputerku. Koneksi satelit aku aktifkan. Aku lacak sinyal nomor Hpnya. Aku aktifkan layanan Global Vision. Nampak citraan bumi dalam bentuk tiga dimensi. Aku sinkronkan search engine melalui modul sinyal telepon. Dua menit aku tunggu. Aku temukan posisinya. Ku perbesar sampai 800 pixel, dengan skala 1:1.000.000. Ternyata di masih berada di kantin. Betah sekali si eneng ini.

Beberapa menit kemudian, dia berjalan keluar. Awalnya aku hanya bisa melihat atap kantin. Dan sekarang ia sudah bisa terlihat dari optik satelit. Ia dan teman-temannya masuk ke salah satu mobil di parkiran. Melajulah mobil itu. Sepuluh menit kemudian mobil itu berhenti. Tiga orang perempuan turun. Dia tidak. Mobil kembali melaju. Memasuki salah satu perumahan elit, Green Garden. Mobil itu masuk ke salah satu jalan perumahan, aku perbesar dan terbaca, “Jl. Flamboyan H.1”. Mobil itu berhenti di depan salah satu rumah. Ia pun keluar. Aku lihat nomor rumahnya, “F.34”. Aku catat dua informasi itu di note pad, “Green Garden, Jl. Flamboyan H.1, F.34”.

Ia masuk ke dalam rumah itu. Citraan satelit tidak mampu menangkap kondisi dalam rumah. Atap menghalangi semuanya. Lama aku tunggu, tidak ada aktivitas yang keluar dari rumah. Mungkin itu memang rumahnya. Aku SMS dia, “Nil, kamu lagi di rumah ya?”, tanyaku memastikan. Nampaknya ia masih sewot denganku, “Ya. Apa urusanmu. Dasar, ganggu aja kamu. Apa jangan-jangan kamu mbuntuti aku ya. Psiko lu ya!”.

Aku tinggalkan kosku. Ku arahkan motorku ke alamatnya. Seperempat jam perjalanan aku sampai di pintu gerbang Green Garden. Aku cari jalan Flamboyan. Tidak terlalu susah. Dua menit dari jalan dalam perumahan itu, aku lihat mobilnya parkir di garasi salah satu rumah. Benar, F.34. Tanpa ragu aku masuk. Aku tekan bel pintunya. Tidak berapa lama, ia keluar dengan mengenakan setelan t-sirt warna putih bergambar Gufi dan celana pendek warna biru. “Nyari siapa mas ya?”, tanyanya mendahului salamku. Di depan wajahnya, “Plak ... plak”. Waktu kembali berhenti.

Aku tinggalkan dia di muka pintu menghadap jalan raya. Aku masuki rumah besar itu. Ruang tamu tertata rapi. Sofa bersar dengan hiasan maniken warna coklat berpadu kain sulam kuning gading. Meja dengan kaca kristal terhias indah dengan bunga segar di atasnya. Satu lukisan berukuran besar menempel di dinding. Lukisan dengan gaya realisme, bercerita tentang kehidupan desa di masyarakat pesisir.

Aku berjalan ke ruang tengah. Televisi 27 inch, dengan model 5.1 sub wofer lengkap dan amplifire besar. Di ruang tengah tidak aku temukan meja-kursi atau sofa. Hanya karpet tebal dan beberapa bantal tertata di atasnya.

Aku masih berjalan ke sana-ke mari. Aku buka beberapa pintu. Ada satu kamar tidur yang tertata rapi. Aku buka almari baju. Kosong, hanya selimut dan handuk. Mungkin kamar tidur tamu.

Ku susuri anak tangga sampai lantai atas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar pintunya masih terbuka. Mungkin ini kamarnya. Aku masuk. Ku lihat Laptop masih menyala. Aku buka almari bajunya. Dan benar, segudang kaos, gaun, hem, sweater, dan berbagai macam pakain perempuan aneka motif. Tidak terlalu menarik.

Ku dekati rak buku di depan tempat tidur besarnya. Beberapa buku tentang program komputer. Beberapa novel berbahasa Inggris dan Jerman. Buku kuliah. Dan aku temukan sebuah album foto yang cukup besar, nampaknya album foto keluarga.

Ku bawa ke atas tempat tidur. Ku buka satu per satu halamannya. Ku perhatikan wajah-wajah dan aneka peristiwa di foto itu. Dia sedang berpelukan dengan artis yang pernah aku lihat sebelumnya, di bawah gempita cahaya kembang api. Terlihat menara Eifel menjulang tinggi sebagai latar mereka berfoto. Di sudut kanan bawah tercetak tanggal pengambilan foto 1/01/2012 12:14 AM.

Beberapa foto memperlihatkan dia sedang menerima tropi penghargaan di lomba cipa software nasional. Di beberapa lembar yang lain aku lihat foto masa kecilnya. Mulai dari bayi, belajar berjalan sampai masa kanak-kanaknya. Enam sampai tujuh foto. Tampak juga kehidupan keluarganya begitu hangat. Satu perayaan ulang tahun terlihat dengan jelas. Ibu dan ayahnya mengiringinya meniup lilin. Aku rasakan kehangatan dan kemeriahan itu.

Habis halaman foto itu aku buka. Aku letakkan. Kulihat beberapa keping CD di samping bantal. Aku putar di Laptop. Ternyata berisi tutorial “Seluk-beluk Cracker dan Hacker”. Ku ganti dengan CD yang lain. Ternyata CD game. Aku tinggalkan Laptop dan kamar itu. Aku turun.

Di dapur, aku lihat seorang perempuan setengah baya sedang memasak. Pembantu pikirku. Aku duduk di salah satu kursi makan. Aku perhatikan ke sekeliling. Semuanya serba lux dan higienis.

Aku merasa cukup. Aku berjalan ke arah depan rumah. Aku ambil satu buah hiasan dinding, satu buah hiasan keramik berupa anjing kecil. Hanya sebagai bukti aku pernah mampir ke rumahnya. Aku keluar. Tak sengaja menyenggol tubuhnya. Ku sesuaikan tubuhku berhadap-hadapan dengannya sebagaimana di awal tadi. Dan, “Plak ... plak”. Waktu kembali berjalan. “Ini rumahnya Pak Anton?”, tanyaku berpura-pura. “Oh, bukan. Mungkin salah alamat. Memangnya di mana alamatnya?”, dengan sopan. “Kalau tidak salah di Jalan Flamboyan, kalau gak salah no. 34”, selorohku menerangkan. “Mungkin nomornya bener, tapi bloknya kali yang salah. Kamu kayaknya satu kampus ya ma aku”. Aku hanya menganggukan kepala. Dan kemudian aku undur diri dari hadapannya. Ia masuk ke dalam rumah. Pintu pun tertutup.[]



___________
* Puisi “Sebuah Pertanyaan”, dikutip dari dari kumpulan puisi B. Irawan Massie, dalam tajuk “Lembaran Sawah Coklat” dalam Rumah Kecil Di Bawah Matahari, 1994.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment