Global Warm[n]ing Paska Bali Mandate


Oleh: Firdaus Putra A.

Jika tidak salah lebih dari lima tahun yang lalu kita sudah mengenal istilah ini. Beberapa hari terakhir istilah yang menyeramkan itu digunakan di beberapa media masa, cetak maupun elektronik selaras dengan berjalannya Climate Change Conference yang berlangsung di Bali beberapa hari yang lalu.

Poin penting dari konferensi internasional PBB tentang perubahan iklim tersebut yakni menyoal tentang perubahan iklim global yang dampaknya sangat merusak bagi ekosistem dunia. Dan lebih penting lagi, menindaklanjuti Protokol Kyoto yang isinya mendesak negara-negara maju untuk mengurasi emisi gas karbonnya sebagai limbah dari produksi atau konsumsi massal. Di pertemuan itu juga dibahas tentang dana adaptasi untuk negara-negara yang terkena imbas dari perubahan iklim, juga dana bagi pembangunan berkelanjutan yang dapat menghijaukan kembali hutan-hutan yang telah rusak karena ulah tangan manusia.

Di harian Kompas, kurang lebih satu minggu yang lalu, kita menyaksikan foto bagaimana es di kutub mencair dan meninggalkan bongkahan-bongkahan es raksasa. Dalam wawancara ekslusif di ANTV, Bianca Jagger, delegasi PBB, menyatakan bahwa perubahan iklim dunia sangat terasa di kawasan pantai Miami, Kanada, juga munculnya badai Catarina di kampung halamannya. Sedangkan Al Gore, Wakil Presiden Amerika Serikat secara berapi-api menyatakan bahwa perubahan iklim yang mengglobal ini haru kita tangani secara bersama. “Negara saya (red: Amerika) adalah salah satu negara yang harus bertanggungjawab. Tetapi, tidak hanya negara saya saja kemudian masalah perubahan iklim ini dapat teratasi”, serunya dalam pidato di depan konferensi tersebut.

Konferensi Perubahan Iklim di Bali yang menghasilkan Bali Mandate dapat disarikan dalam beberapa poin penting; bahwa negara-negara maju (Amerika, Eropa, Perancis Belanda) setuju untuk mengurangi emisi karbon dari produksinya. Dengan catatan, pada poin selanjutnya bahwa negara-negara berkembang pun harus secara sukarela melakukan proses semacam itu.

Memang benar, proses yang paling alot dalam konferensi itu adalah mendesak negara maju mengurangi emisi karbon, karena pengurangan emisi karbon mengartikan bahwa satu negara harus mengurangi produksinya atau mengurangi penggunaan sumber energi fosil untuk berpindah ke sumber energi yang terbarukan.

Meskipun melalui negosiasi serta pembicaraan yang alot, nampaknya Bali Mandate dapat menjadi semacam kesadaran baru bahwa hari ini kita (negara maju dan berkembang) hidup dalam dunia yang satu, Bumi yang satu. Untuk itu saling ketergantungan antara satu dengan yang lain merupakan faktor yang menentukan.

Lebih jauh, paska Bali Mandate, kita berharap semoga sikap egosentrisme negara-negara maju dapat dikikis secara perlahan. Bahwa tidak mungkin eksploitasi akan terjadi secara terus menerus dari negara maju ke negara berkembang, perubahan iklim dalam bentuknya global warming adalah global warning tersendiri yang telah menyentil mata hati kita semua.

Meskipun demikian, kita tetap harus mendampingi pelaksanaan Bali Mandate. Mengingat negara maju nampaknya masih belum terlalu tulus untuk menandatangi beberapa kesepakatan global tersebut. Tentunya hal ini tidak jauh dari persoalan ekonomi dan politik global di mana mereka memposisikan diri sebagai punggawa ekonomi dan politik dunia. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :