
Oleh: Firdos Putra A.
Aku membayangkan siang itu aku berjalan kaki dari Sidabowa sampai ke Patikraja. Hanya berjalan kaki, melepas rutinitas yang menjebakku dan seakan-akan membunuhku dengan waktu yang itu-itu saja, dengan aktivitas yang itu-itu juga.
Aku berjalan menyusuri tepi jalan. Tidak kuhiraukan berbagai macam kendaraan yang lalu lalang di tengah jalan raya. Pandanganku hanya tertuju pada padi yang menghijau di sawah, di samping kiriku. Menikmati waktu luang tanpa ada gangguan dari sekretarisku, agenda meeting, pertemuan dengan customer, malam amal atau seabrek seremonial yang benar-benar membuatku muak.
Aku benar-benar ingin menikmati ketidakbiasaan, sampai pakaian pun aku pilih yang benar-benar berbeda, kaos singlet warna putih seharga 20.000 ribuan. Dan tidak memakai sepatu seperti biasanya, hanya sandal jepit yang ku kenakan. Benar-benar di luar kebiasaanku, dengan segala kemewahan, kelengkapan fasilitas. Hari itu aku benar-benar tidak ingin diganggu.
Di tengah-tengah lahan persawahan aku melihat gubug kecil yang terbuat dari bambu. Aku susuri pematang sawah. Ingin rasanya aku menjadi bagian dari mereka. Bagian dari orang biasa. Masyarakat petani. Masyarakat asali Indonesia. Tidak sepertiku, yang entah berkewarganegaraan apa.
Hanya satu yang tidak bisa aku tinggalkan dari kebiasaan sehari-hari. Telepon selulerku. Mengingat kadang kala fluktuasi di dunia bisnis internasional berlangsung sangat cepat. Tanpa ponsel, dalam hitungan menit perusahaan akan bangkrut jika aku tidak mengeluarkan intruksi cepat. Apalagi saat ini, cadangan minyak internasional yang terombang-ambing karena laku sekumpulan spekulan internasional.
Hanya saja hari itu ponsel aku silence. Aku hanya mengenakan satu headset di telinga sebelah kiriku. Sedangkan ponsel, aku taruh di ikat pinggang celana pendekku. Dengan penampilanku yang tidak meyakinkan, aku pikir orang hanya akan menilai aku sedang mendengarkan musik dari MP3 Player, atau walkman. Aman. Tidak akan ada yang tiba-tiba menyergapku, mencopetku, merampokku atau membunuhku gara-gara uang.
Aku hanya membawa beberapa uang pecah 20.000 ribuan. Seingatku hanya dua lembar. Dompet sengaja aku tinggal. Segala macam kartu kredit aku tinggal. Juga ATM. Aku benar-benar ingin menggelandang, tanpa tujuan yang pasti.
Sampai juga aku di tengah-tengah persawahan. Aku masuk ke warung itu. Dua orang laki-laki cukup tua mempersilahkan aku duduk, “Monggo mas”, katanya dengan ramah. Mereka sedang menikmati kopi dan pisang goreng. Dari belakang gorden lusuh muncul ibu setengah baya. “Pesen apa nak?”, tanyanya padaku. “Makan bu, pake ayam goreng. Nasinya sedikit aja ya bu”, pintaku.
Tak berapa lama ayam goreng pesananku siap. Di depan meja yang memanjang aku lihat hanya ada dua atau tiga potong ayam. Maklum hanya menyediakan untuk petani-petani yang sedang menggarap lahan. Jadi lebih banyak menu; tempe-tahu goreng, ikan pindang, ikan asin dan berbagai macam oseng-oseng sayur. Sembari menikmati dada goreng yang sudah dingin, aku mencuri dengar obrolan dua laki-laki itu. Atau pantasnya dua bapak tua itu. Karena dilihat dari rambut di kepalanya yang sudah bertaburan uban di sana-sini, aku taksir beliau-beliau sudah memasuki usia 50-an.
Mereka bedua sedang mengeluhkan naiknya bensin dan solar. “Piye ya, siapapun presidennya tetap saja sama. Gak ada kemajuan. Enak dulu jamannya Soeharto”, celetuk salah satu dari mereka. “He eh”, jawab bapak yang diajak bicara singkat sembari menghisap rokok 76 di jarinya. Asap mengepul, putih ke abu-abuan. Melewati kami bertiga.
Angin bertiup semilir. Suasana menjadi semakin nyaman untuk beristirahat. Jarang aku rasakan hal semacam ini. Biasanya agar bisa istirahat dengan nyaman, aku harus menyalakan AC. Itu pun lama kelamaan dingin dan lembab. Kalau dimatikan, udara kamar panas kembali.
Tak terasa dada goreng sudah habis. Aku melahapnya dengan rakus. Seperti tidak pernah memakannya saja. Padahal ayam goreng menu yang terletak di list paling bawah kalau aku masuk ke resto-resto besar. Aku minta satu potong lagi tanpa nasi. Aku campur dengan oseng-oseng sayuran hijau, tak tahu sayur apa itu. Maklum aku sama sekali tidak pernah masak. Belanja pun tidak. Semuanya sudah disiapkan oleh para pembantuku dengan baik.
Dan tiba-tiba salah satu dari dua orang itu bertanya padaku, “Mas dari mana ya? Kayaknya tidak pernah lihat? Apa PPL dari pertanian ya?”, tanyanya menelisik dan memburuku. Kuhentikan sebentar makanku, “Oh tidak pak. Saya hanya kebetulan lewat. Dan perut lapar. Ya jadinya mampir”. Orang kedua langsung menyambutku, “Lha memangnya baru jalan dari mana mas?”. “Dari Sidabowa, jalan kaki tadi”.
Di tengah-tengah obrolan itu tiba-tiba ada telepon masuk. Aku terima dengan menekan ponselku yang dipinggang tanpa mereka tahu apa yang ku lakukan. “Ya ... Masak secepat itu. Ya udah siapkan tiketku. Make Garuda saja. Pakaianku, jangan lupa booking satu Suite President setiba si Singapura. Dari sana aku minta pesawat malam buat ke Inggrisnya. Aku mau mampir dulu ke teman. Aku masih di Jawa, Purwokerto. Iseng. Pingin santai. Suruh mereka jemput aku. Aku di warung makan. Di tengah-tengah sawah. Aktifkan aja GPS, lacak sinyalku. Ada lahan sawah luas kok. Bisa. Aku tunggu 30 menit lagi. Ya”. Sekretarisku menelponku. Ada sedikit gangguan di Inggris. Terkait dengan beberapa customer yang meminta jaminan keamanan produk.
“Bu bisa pesan pisang goreng?”, tanyaku pada si penjual. “Lha ini. Memangnya ma berapa mas?”, tanyanya bingung. “Sepuluh apa lima belas buah lagi bisa?”. “Tapi nunggu ya mas. Nggoreng dulu”. “Ya nggak papa”.
Tiba-tiba salah satu dari lelaki itu bicara ke ibu penjual. “Bu, ni orang kayaknya gak waras. Jangan-jangan ntar gak bayar lho. Masak critanya mau ke Singapura, ke Inggris. Tampangnya aja nggak nggenah kayak gitu”, celetuknya aga sedikit berbisik. Tapi aku mendengarnya dengan jelas. Hanya aku pura-pura tidak memperhatikannya. “Iya si. Aku juga mikir gitu pak. Jangan-jangan orang sedeng (gila). Tapi kalau bener-bener gak bayar, minta aja Hpnya. Dia kan bawa HP tu”. “Iya kalau HP, kalau cuma walkman piye jal?”. “Lha terus piye enake”, nampaknya si ibu mulai terpengaruh dan kebingungan.
“Maaf bu. Tenang saja saya bukan orang gila. Nanti saya bayar. Memangnya semuanya habis berapa?”, tanyaku memastikan. Kemudian si ibu menghitung semua yang aku makan. Dari ayam goreng, es teh, pisang goreng, kacang godog, jajan pasar dan dua batang rokok. Termasuk 15 pisang goreng yang aku pesan. Semuanya 56.000 rupiah. Sembari menyodorkan dua lembar 20.000-an ribu aku bilang, “Kurangnya nanti bu, nunggu teman saya datang. Setengah jam lagi”.
Wajah si ibu tambah terlihat cemas ketika mengetahui aku hanya membayar 40.000 rupiah. “Sampeyan itu gimana si mas. Kalau punya uang segini ya makannya jangan neko-neko. Awas nanti kalau temannya gak datang”. “Iya bu, jangan kuatir. Teman saya daro Cilacap, bentar lagi”.
Suasana warung menjadi tidak nyaman. Semuanya terdiam dengan penuh kecurigaan padaku. Aku hanya diam saja dan masih asyik menikmati sisa kacang godogku. Biarin, pikirku. Nanti mereka juga melihat sendiri. Dan aku tidak berbohong atau menipu.
Keheningan tiba-tiba berubah. Di luar terdengar suara seperti angin besar. Seperti badai. Daun pohon pisang terhempas kesana-kemari. Dua lelaki itu keluar untuk memeriksa. Dan, “Wuih, helikopter!”, serunya. Ponselku menerima panggilan masuk, “Ya bener, warung bambu. 50 meter dari posisimu. Dan ulurkan tali saja. Eh, tolong bawakan aku uang pecah ke sini”.
Satu orang dari heli turun. Dengan tegap dia berjalan ke arah warung tempaku makan. Penampilannya sangat meyakinkan. Jas hitam, lengkap dengan dasinya dan kacamata hitam. Benar memang, dia adalah salah satu asistenku. Atau tepatnya bodyguard-ku. Sampai di warung, dua orang bapak tadi menyapa, “Pak nyari siapa ya?”. “Oh enggak, njemput bos saya”, jawabnya dengan singkat dan langsung masuk ke warung.
“Mana uangnya?”, tanyaku pada Regi, si bodyguard. “Ini pak”, sembari mengeluarkan pecahan uang 100.000-an. “Bu, pisang gorengnya dah matang. Bungkus ya”. “Iya mas. Ne udah”. “Ni bu kurangan yang tadi. Makasih ya bu”, sambil menyodorkan uang ratusan ribu. “Duh mas kembaliannya gak ada”. “Ya udah buat ibu saja”. “Makasih ya mas. Lain kali mampir lagi kesini”. “Ya bu kalau sempat”, jawabku dengan sopan mengakhiri pembicaraan.
Si ibu keluar warung melepas kepergianku. Dua orang bapak itu juga mengawasi langkah kami menyusuri pematang sawah. Seakan-akan mereka tidak percaya apa yang sedang mereka lihat adalah nyata. Hanya beberapa meter dari pandangannya, mengambang helikopter yang menjemputku.
Aku masuk ke heli itu melalui tangga tali. Kemudian terbanglah heli dan membawaku langsung ke Semarang untuk bertolak ke Singapura.[]
3 comments :
Di tengah-tengah lahan persawahan aku melihat gubug kecil yang terbuat dari bambu. Aku susuri pematang sawah. Ingin rasanya aku menjadi bagian dari mereka. Bagian dari orang biasa. Masyarakat petani. Masyarakat asali Indonesia. Tidak sepertiku, yang entah berkewarganegaraan apa.
well thanks, kalimat di atas bisa bikin aku tersenyum ikhlas...
ceritanya inspiratif,
Bravo, wong gendeng...ha..ha...ha...
Fache
makasih dah mampir mas.
kadang-kadang imajinasi yang gila dibutuhkan saat kehidupan sudah sedemikian monoton dan menjenuhkan.
begitukah?
firdaus putra
wkwkwkwkkwkwkwkwkkwkwkwk
Posting Komentar