Idealisme, Memaknainya Secara Kontekstual:


Telaah Kritis terhadap Dana Sponsor dan Branding di Kampus
Oleh: Firdaus Putra A.

I
Coretan ini berangkat dari masalah yang cukup krusial di kampus saya. Masalah ini terkait dengan pembiayaan lembaga-lembaga mahasiswa, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau lembaga-lembaga sejenisnya. Artinya coretan ini tidak bisa dipahami secara lepas dari akar kesejarahannya.

Di kampus saya sedikitnya terdapat empat HMJ, sepuluh UKM, serta satu BEM. Artinya ada 15 lembaga mahasiswa yang harus dihidupi dengan sumber pembiayaan fakultas—Rencana Anggaran Belanja—RAB Fakultas. Ironisnya, fakultas hanya mendisposisikan dana kegiatan mahasiswa (untuk selanjutnya kita singkat sebagai DKM) sebesar kurang-lebih 40 juta untuk 15 lembaga selama satu tahun. Bisa dibayangkan, dengan perhitungan yang disederhanakan, maka selama satu tahun satu lembaga maksimal hanya bisa mengakses 2,6 juta rupiah. Yang artinya selama satu bulan hanya bisa menggunakan 216.000 rupiah.

Minimnya DKM ini digunakan fakultas sebagai salah satu alasan untuk membentuk organisasi Persatuan Orang tua Mahasiswa (POM). Yang artinya, untuk kesekiankalinya mahasiswa dituntut membayarkan sejumlah dana kepada fakultas atau universitas. Menurut saya, mahasiswa sudah cukup membayarkan kwajiban-kewajibannya, seperti SPP yang setiap tahun ajaran baru naik, tahun ini sebesar 600.000 rupiah. SPI yang nominalnya 150.000, Dana Pendamping, Biaya Buku Diktat dan berbagai macam biaya admistrasi yang secara akumulatif tidak sedikit. Lantas tidak mengherankan ketika mahasiswa tempat saya belajar menyatakan sikap “menolak organisasi POM, dan tidak mengakses DKM POM”, karena untuk kesekiankalinya membebani mahasiswa dan orang tua khususnya.

II
Di lain sisi, dengan minimnya DKM, lembaga mahasiswa menjadi kurang aktif, sedikit menyelenggarakan kegiatan-kegiatan mahasiswa. Padahal saya pahami lembaga mahasiswa sebagai lembaga publik (milik mahasiswa) harus melayani—dalam artian memberdayakan—mahasiswa dengan berbagai kegiatan yang dibutuhkan. Pada titik ini, geliat lembaga mahasiswa juga pemberdayaan mahasiswa tersedat karena minimnya DKM yang dialokasikan dalam RAB Fakultas.

Dengan keminiman dana itu, memang beberapa lembaga mahasiswa masih tetap eksis dengan caranya masing-masing. Ada sebagian lembaga yang mencari dana tambahan (di luar DKK RAB Fakultas) dengan cara menjual makanan ringan. Ada juga dengan cara konvensional, yakni menyebar proposal ke berbagai instansi, baik swasta maupun pemerintahan. Ada juga cara lain, yakni menggunakan model ticketing pada beberapa kegiatan tertentu, yang artinya menarik uang dari mahasiswa lagi. Namun, biasanya cost yang harus dikeluarkan lebih besar dari pada benefit yang diperoleh.

Anggota satu lembaga mahasiswa biasanya akan disibukkan bagaimana mencari dana tambahan untuk mendukung suatu kegiatan yang cukup besar. Mereka menjadi kurang fokus dalam mengerjakan kegiatan tersebut. Karena waktu mereka cukup tersita untuk menjadi ‘penjual kue’, menjadi ‘pengemis formal’ dan sebagainya. Meskipun secara fungsional aktivitas sampingan ini tetap akan bermanfaat bagi yang menjalankan, minimanya tertempa mentalnya dan soft skill lainnya. Hanya saja, jika ada cara lain yang lebih efisien, kenapa tidak?

Dulu, pernah salah satu HMJ menyelenggarakan Seminar Nasional. Tentunya dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Kekurangan dana mereka dapatkan dari sponsor tunggal, yakni perusahaan rokok. Paska kegiatan, kepanitiaan dan HMJ tersebut dipermasalahkan oleh lembaga mahasiswa yang lain, yakni menggunakan sponsor rokok dengan konsekuensi memasang beberapa spanduk sebagai branding.

Permasalahan di atas muncul karena beberapa tahun yang lalu—bisa dibilang sejarah gerakan mahasiswa—lembaga mahasiswa menolak adanya branding rokok tertentu. Bisa dipahami, karena sewaktu itu branding yang ada sifatnya menahun, yang melekat pada bangku, lapangan basket, mading dan berbagai atribut kegiatan mahasiswa. Sejarah ini yang kemudian juga membayang-bayangi mahasiswa kampus saya untuk mengakses sponsor serupa (rokok) atau produk lain yang menawarkan dana yang cukup besar.

Bisa di bilang, idealisme lembaga mahasiswa hari ini yakni menyatakan ‘haram’ terhadap sponsor rokok dengan berbagai branding-nya. Pun pada sponsor-sponsor besar lainnya yang tentu saja akan melakukan branding­-isasi secara massal di kampus.

III
Jujur, merunut sejarah serta berangkat dari perenungan yang mendalam tentang fungsi lembaga mahasiswa yang sangat strategis, saat ini saya meragukan idealisme semacam itu. Karena, menurut hemat saya, dengan idealisme tradisional (yang diwariskan secara turun-temurun sebagai sejarah kelam) semacam itu tidak mampu menjawab kebutuhan riil mahasiswa terkait dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya massal, kreatif serta kritis.

Apakah kita akan mengandalkan cara-cara konvensional dalam mencari dana tambahan? Jika bisa dilakukan—meskipun cost tidak sebanding dengan benefit—apakah akan mencukupi dengan satu kegiatan seperti, seminar bertaraf nasional, pelatihan, workshop dan sebagainya? Saya rasa tidak. Sedangkan menurut saya, mahasiswa umum mendambakan kegiatan yang menarik dengan biaya yang sedikit atau kalau mungkin gratis sepenuhnya. Hal semacam ini bisa dimaklumi dalam nalar ‘anak kos’ yang jatah per bulannya cukup untuk makan, jajan, dan membeli kebutuhan kuliah lainnya. Saya yakin, jika ada seminar atau pelatihan yang di buka untuk umum dan murah (mungkin gratis), maka pesertanya akan semakin banyak. Demikian logika pasar. Jika hal ini terjadi, pemberdayaan mahasiswa akan semakin mengakar dan massif.

Saya membaca bahwa lembaga-lembaga mahasiswa kampus saya terjebak pada idealisme tradisional tersebut. Tidak hanya terjebak, bahkan terkungkung pada sebuah value yang seharusnya dijadikan nilai pegangan yang substansial, justru berubah menjadi nilai yang menutup mata kita dan akhirnya menjadi semacam doktrin dengan konsekuensi ‘halal’ vis-a-vis ‘haram’. Sedangkan saya, memaknai idealisme tidak sesederhana itu. Tidak ‘hitam-putih’. Tidak juga oposisi biner yang selalu menegasikan yang lain.

Saya adalah salah satu mahasiswa yang secara kritis tidak berberat hati ketika lembaga mahasiswa mengakses sponsor dari perusahaan-perusahaan besar. Refleksi ini ingin saya bedakan dengan nalar pragmatis yang serba boleh atau permisif. Dalam nalar pragmatis, mengakses sponsor besar berselimut kepentingan laba atau sebatas prosedur untuk mensukseskan kegiatan. Sedangkan refleksi kritis, melakukan telisik filosofis juga praksis dari kemungkinan-kemungkinan yang ada ketika mengakses sponsor besar.

Seringkali juga saya temukan alasan bahwa penolakan sponsorhip tersebut berangkat dari penolakan terhadap sistem kapitalisme yang terepresentasikan dalam wujud perusahaan-perusahaan besar, apa lagi berkelas nasional. Saya cukup miris melihat idealisme ‘kaca mata kuda’ semacam ini. (Perdebatan tentang kapitalisme, lihat pandangan saya pada tulisan “Menyoal Kapitalisme: Sebuah Pandangan Sementara”)

IV
Saya ingin memulai ijtihad baru dengan menyatakan bahwa mari kita akses sponsorship perusahaan besar, agar kegiatan mahasiswa semakin menggeliat dan agar kepanitiaan tidak membuang energi besar dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Ijtihad ini saya refleksikan dengan fakta historis bahwa Umar ibn Khotob pernah tidak melaksanakan hukum potong tangan karena melihar konteks sosio-ekonomi saat itu belum mencukupi. Yakni ketika itu angka kemiskinan merangkak naik. Umar—pada konteks ini saya baca sebagai pejabat publik—pada saat itu meletakkan hukuman potong tangan secara dependen (tergantung) dengan pra-syarat sosio-ekonomi yang harus tercukupi terlebih dahulu. Saya yakin, mana kala dulu masyarakat di Madinah sudah cukup sejahtera, Umar akan melaksanakan hukuman tersebut secara adil.

Saya letakkan pemaknaan akses dana sponsor paralel dengan ijtihad Umar sewaktu itu. Saat ini, konteks sosio-ekonomi yang ada di kampus yakni DKM dari RAB Fakultas sangat minim. Pada sisi lain, lembaga mahasiswa menolak mengakses DKM dari RAB POM. Mahasiswa, khususnya panitian tersita waktunya untuk mengurus masalah kekurangan dana kegiatan. Di sisi lain, mahasiswa lebih sedang mengikuti kegiatan yang murah atau gratis. Konteks sosio-ekonomi semacam ini posisikan sebagai pra-syarat dari idealisme kritis yang saya tawarkan. Bisa jadi suatu tempo idealisme tersebut akan berubah kembali ketika fakultas mengalokasikan DKM dari RAB Fakultas cukup besar.

Umar melakukan proses ijtihad sebagaimana di atas dengan resiko ia bertentangan dengan dalil naqli Quran. Tetapi, saya yakin saat itu Umar tidak hanya berfikir tentang terlaksananya hukum potong tangan, lebih penting dari itu yakni bagaimana masyarakatnya sejahtera dan berkecukupan. Situasi yang Umar hadapi menurut saya adalah situasi yang darurat dan serba dilematis.

V
Tawaran memaknai idealisme secara kontekstual pernah saya komunikasikan dengan beberapa pengurus lembaga mahasiswa. Mereka masih menganggap bahwa hal tersebut tidak pantas untuk dilakukan. Toh, selama ini mereka bisa membuat kegiatan meskipun tanpa sponsor perusahaan besar. Saya berpendapat bahwa pandangan semacam ini terlalu konservatif dan tradisional sehingga tidak ada terobosan-terobosan baru di kampus terkait dengan kegiatan mahasiswa.

Jika benar hari ini mereka bisa membuat kegiatan meskipun tanpa sponsor perusahaan besar, itu pun hanya kegiatan yang sifatnya a la kadarnya. Bukan sebuah kegiatan besar yang dapat menyerap angka partisipasi mahasiswa lebih banyak. Atau juga ada sebagian lembaga mahasiswa yang menolak karena AD/ART mereka sudah menggariskan demikian. Bagi saya hal ini sangat ironis. Karena mereka melupakan bahwa adanya mereka yakni sebagai pelayan publik. Seharusnya mereka mau dan mampu ‘berkompromi’ dengan keinginan dan kebutuhan publik. Bukan lantas menegasikan publik sebagai basis pemberdayaannya, yang justru akan memenaragadingkan lembaga.

Kegiatan dalam skala besar yang didanai oleh sponsor besar menurut saya juga bisa dijadikan media pendidikan kritis tentang ideologi satu lembaga mahasiswa. Tentunya, pada titik ini perdebatan antara kuantitas dengan kualitas akan muncul. Menurut hemat saya, dalam rangka pemberdayaan mahasiswa, kuantitas lebih didahulukan. Pada gilirannya, melalui mekanisme seleksi alam (juga sosial, politik dan sebagainya)—sebenarnya saya tidak suka menggunakan konsep ini—kualitas akan dengan sendirinya tercapai.

Menabur banyak benih menurut saya lebih baik dari pada menabur sedikit benih. Dari banyak benih, kemungkinan yang sedikit dan berkualitas muncul akan semakin besar peluangnya. Berbicara kuantitas vis-a-vis kualitas seperti berjalan dalam logika deret hitung dan deret ukur. Menurut saya, kedua perspektif tersebut tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi. Seorang Mao kurang-lebih pernah berujar bahwa kuantitas lambat laun akan mengarah kepada kualitas melalui proses yang kritis nan kreatif.

Semoga tulisan ini dapat menjadi alternatif dari sekian banyak idealisme yang berceceran. Dan perlu kita ingat, bukankah jika benar akan memperolah dua pahala (saya maknai sebagai manfaat/benefit) dan jika salah akan memperoleh satu pahala. Demikian prinsip dasar ijtihad yang mengisyaratkan kepada kita, janganlah takut berijtihad meskipun itu harus melampaui pakem-pakem (tradisi atau sejarah) tempo dulu. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment