
Oleh: Firdaus Putra A.
Judul di atas sebenarnya kalimat yang saya petik dari sebuah papan yang dimaksudkan sebagai iklan layanan masyarakat. Iklan tersebut dipasang di satu batang pohon, hanya berjarak kurang dari satu meter dari tiang lampu traffic light, yang akrab disebut dengan ‘lampu bang-jo’ (red: dalam bahasa Jawa, maksudnya lampu abang-merah dan ijo-hijau).
Iklan yang bernuansa kritik sosial tersebut dipersembahkan oleh Teater SiAnak, FISIP. Sedangkan sasaran dari iklan tersebut yakni para pengguna jalan, khususnya pertigaan kampus FISIP dari arah Karangwangkal.
Memang benar, para pengguna jalan dari arah Karangwangkal seringkali menerabas, meskipun sudah jelas traffic light menunjukan warna merah. Biasanya mereka menerabas dengan cara berhenti di tengah-tengah pertigaan. Setelah dirasa aman, mereka akan menerabas ke kanan ke arah Baturraden dan ke kiri ke arah Kota.
Traffic light pada pertigaan itu sepenglihatan saya tidak pernah terganggu. Mati pun jarang. Hanya saja, mungkin para penggunanya yang sedikit terganggu. Saya pun heran, sebenarnya motif apa yang mendorong orang untuk menerabas, padahal jelas-jelas menyala merah. Apakah tidak bisa kita menunggu sejenak, kurang lebih 30 detik untuk menunggu nyala hijau?
Refleksi sosial atau kritik sosial yang dikeluarkan oleh Teater SiAnak menurut saya adalah tepat. Minimalnya mereka mengingatkan kepada kita bahwa di jalan raya sesama pengguna saling menggantungkan keamanan dan kenyamanan mereka pada yang lain. Saya sangat mengapresiasi tindakan tersebut sebagai wujud kepedulian sosial yang mendalam. Saya rasa bukan karena sikap latah, mengekor iklan komersil merk rokok tertentu.
Pernah juga dalam sebuah artikel, di Kompas, saya baca tulisan Zuly Qodir, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di opini tersebut beliau mempermasalahkan disiplin berlalu lintas masyarakat di Yogyakarta. Artinya, disiplin berlalu-lintas baik di Purwokerto pun di Yogyakarta cukup rendah. Yogyakarta kota yang terkenal sebagai kota pelajar, mungkin pelanggar lalu-lintas yang paling banyak adalah kalangan pelajar atau mahasiswa. Seperti juga pelanggaran lampu lalu-lintas di pertigaan kampus FISIP yang menurut saya mayoritas adalah mahasiswa.
Padahal tidak perlu mahasiswa, anak SD pun saya yakin paham tentang arti lampu lalu-lintas, merah bahwasannya kita harus berhenti, kuning kita harus cepat dan hati-hati, dan hijau kita boleh memacu kendaraan. Pernah juga seorang dosen STAIN Purwokerto, Naqiyah Mukhtar, berujar bahwa mematuhi rambu lalu-lintas merupakan bentuk perbuatan yang Islami. Lontaran itu muncul ketika mobil yang membawanya, beserta rombongan dosen lainnya, ingin menerabas lampu merah. Ia mengatakan dengan cukup sinis pada temannya (dosen satu almamater), “Apakah kita akan menjadi patuh hanya ketika di suatu hari muncul fiqih berlalu-lintas?”
Refleksi sosial yang digulirkan oleh Teater SiAnak di atas saya rasa merupakan sebuah praksis kemanusiaan yang sifatnya melokal dengan isu yang sangat membumi. Saya rasa ke depan Teater SiAnak perlu mengeluarkan iklan layanan masyarakat yang lain. Murah dan mengena. Proficiat untuk SiAnak! []
Blogger Comment
Facebook Comment