Membunuh Merah

Oleh: Firdaus Putra A.

Hari itu begitu merah. Semburat senja di ufuk Barat nampak memerah. Tidak seperti biasanya, kuning ke merah-merahan. Semua orang di kota Merah Silau cemas, was-was, khawatir kalau-kalau supernova datang pada hari itu. Sebuah akhir dari segala peristiwa dunia.

Orang mulai trauma dengan warna merah. Pengalaman beberapa minggu yang lalu begitu membekas. Bagaimana tidak, matahari surup dari langit dengan warnanya yang kemerah-merahan, seperti akan meledak. Semua warna merah menjadi haram untuk diperlihatkan, dipertontonkan. Seakan-akan warna merah adalah bencana, adalah kekacauan atau tragedi peradaban yang luar biasa besarnya.

Nama kota pun mereka ganti. Aspirasi masyarakat mulai berdatangan dari seluruh penjuru kota. Spanduk-spanduk di bentangkan. Gedung wakil rakyat penuh dengan teriakan anti-merah. Anggota dewan tak mampu meredam. Akhirnya pada hari yang dijanjikan, para wakil rakyat mengumumkan perubahan nama kota, Kuning Gading. Perda pun dikeluarkan sebagai legal-formal perubahan nama. Juga di dalamnya banyak pasal tentang pelarangan warna merah.

Perkantoran dan jalan raya dibersihkan dari warna merah. Gedung-gedung perkantoran dijauhkan dari warna merah. Dicat ulang, diganti dengan warna kuning atau lainnya. Warna merah pada traffict light diganti dengan warna hitam. Semua bentuk rambu larangan berganti warna hitam. Secara massal muncul gerakan ganyang merah.

Warung, toko, swalayan dan lainnya juga dibersihkan dari unsur merah. Tidak ada spanduk, banner promo berwarna merah. Semua pensil, cat warna, kertas, asesoris yang berwarna merah dibakar ditengah kota.

Pertanian pun tidak ketinggalan, tidak boleh menanam tomat merah, hanya kuning atau orange. Tidak boleh menanam cabe merah, hanya kuning atau hijau. Dan tidak boleh juga bagi para pembuat jajan menggunakan warna merah pada makanannya. Saus dilarang beredar, bukan karena higienitas, tetapi karena merah.

Tubuh pun masuk dalam aturan. Tidak boleh mengenakan pakaian warna merah. Tidak boleh memakai pemerah bibir. Tidak boleh kerokan ketika masuk angin, karena akan membekas merah. Juga tidak boleh melakukan ciuman pada kulit tubuh, karena akan membekas dengan cupangan merah.

Hari itu kota Kuning Gading dalam hitungan hari berubah. Merah mulai hilang dari peredaran. Termasuk di dalam kurikulum pendidikan. Warna merah tidak lagi diajarkan. Pelangi pun diajarkan tanpa warna merah di taman kanak-kanak. Pada sekolah dasar, bendera merah-putih diajarkan dengan cara berbeda, bendera kuning-putih. Kuning tanda riang gembira dan putih tetap berarti suci. Yang artinya keriang-gembiraan nan suci atau sakral. Di sekolah menengah, tidak ada kartu merah pada pertandingan sepak bola, tidak ada cincin warna merah pada resistor, tidak ada inframerah dalam pelajaran fisika. Di sekolah menengah atas, tidak diperkenalkan partai berwarna merah, atau juga planet Mars yang memancarkan warna merah di dini hari.

Warna merah benar-benar sedang dibunuh, dimakamkan bahkan dibuang jauh-jauh dari ingatan masyarakat. Merah adalah bencana, adalah keji, adalah berbahaya. Kehidupan menjadi serba kuning. Kuning adalah keriang-gembiraan. Melenakkan hati. Melenakkan nurani. Kota ingin bergembira dan melupakan kesedihan terhadap merah. Sedemikian rupa sehingga perda anti-merah menjadi pegangan semua unsur masyarakat.

Tidak ada lagi tes buta warna yang mengisyaratkan warna merah. Tidak ada lagi televisi berwarna. Juga tidak ada lagi ideologi merah dalam masyarakat. Kuning, kuning adalah kewajiban. Patriotisme. Merah adalah pengkhianat. Penabur bencana.

Sampai suatu ketika, masyarakat digegerkan dengan adanya kecelakaan di kantor pemasaran Red-A Cosmetic. Digruduklah kantor itu. Dicurigai merk dagang itulah yang menyebabkan kecelakaan terjadi. Direkturnya didesak untuk mengganti nama produk kosmetiknya, menjadi Yellow-A.

Namun di tempat yang sama, setelah mengganti nama, kecelakaan masih terjadi. Seorang karyawan gudang terjatuh dari lantai tiga. Kepalanya hancur membentur batako. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Dan darah berceceran di mana-mana. Warga pun gempar. Tidak diduganya bahwa darah karyawan itu berwarna merah.

Media massa meliput dengan rakus. Pertama kalinya selama empat bulan ditemukan warna merah untuk pertama kalinya. Semua tim diterjunkan, peneliti, akademisi, forensik, juga berbagai macam intelejen. Dan akhirnya seorang komisaris melapor ke atasanya, “Darah itu merah, Jenderal!”. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment