Muslim Muda dan Ikhtiar Menata Perubahan


Oleh: Firdos Putra A.

“Muslim muda adalah komunitas epistemis dimana darinya lahir gagasan-gagasan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah umat. Gagasan-gagasan yang ada tentunya harus mempertautkan antara teori dan aksi, yang membumi dan berpihak pada fakta kemanusiaan. Mereka adalah martir untuk mewujudkan kehidupan menjadi lebih mencukupi untuk kini dan di sini.”

I
Menulis ‘Muslim muda’ dengan mendasarkan pada kata ‘muslim’ yang disifati ‘muda’, saya ingin membedakannya dengan ‘pemuda Islam’. Secara mendasar menurut saya perbedaan itu terletak pada term pertama yang bersifat khusus dan yang terakhir adalah term yang bersifat umum. ‘Muslim muda’ saya definisikan sebagai konstruksi keberagamaan seseorang yang senantiasa muda-up to date. Dimana ajektif muda merujuk pada sifat dan/atau sikap kedinamisan, eksperimentatif, trial and error, berani mengambil resiko, energik dan sebagainya. Sikap keberagamaan semacam ini tidak terperiodisasi oleh usia, melainkan oleh langgam keberagamaan seseorang. Sebagai contoh, menurut saya Nurcholis Madjid (Alm.) adalah salah satu ‘Muslim muda’, seorang cendekiawan yang masih tetap memiliki greget untuk melakukan perubahan dalam tubuh Islam (ranah wacana) meskipun usianya relatif tua.

Sedangkan ‘pemuda Islam’, menurut saya term ini bersifat umum yang terbatasi oleh periodisasi usia seseorang. Kita memiliki banyak ‘pemuda Islam’, tetapi mungkin sedikit ‘Muslim muda’. Secara tajam, saya bedakan dengan term ‘Muslim tua’ dimana ajektif tua merujuk pada sifat dan/atau sikap konservatif, kolot, kaku, normatif, tidak berani mengambil resiko, mapan dan sebagainya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan dari banyaknya ‘pemuda Islam’ sebagian diantaranya adalah ‘Muslim tua’. Mengapa? Karena meskipun secara usia mereka relatif muda, tetapi secara pemikiran, praksis keberagamaan mengalami kejumudan, kemapanan, kaku dan seterusnya.
Demikian penelusuran term ‘Muslim muda’ yang akan mengkerangkakan keseluruhan gagasan dalam tulisan ini. Untuk kemudian tidak disalahpamahi.


II
Problem mendasar umat Islam yang memicu lahirnya klaim kebenaran antara satu ormas dengan ormas lainnya terletak pada persoalan penafsiran teks agama. Persoalan ini tidak hanya muncul pada saat ini, tetapi sejak dulu kala yang melahirkan konflik antar-aliran dalam Islam, seperti Jabbariyyah, Mu’tazilah-Qodariyah, Ahlussunnah, dan sebagainya. Konflik kian menjadi ramai, tatkala jejaring kuasa yang ada turut mem-back up satu penafsiran tertentu sehingga mematikan penafsiran yang lain. Dalam konteks Indonesia, beda penafsiran yang berujung pada konflik sudah beberapa kali masuk di head line media sebagai berita yang ironis, misalkan kasus Ahmadiyyah.

Selain memang penafsiran adalah wilayah yang sangat sulit—sehingga sesitif—turut campurnya kepentingan inidividu, golongan dan sebagainya menjadikan proses penafsiran semakin penuh dengan potensi konflik. Seperti temuan al-Zastrouw Ng.[1] pada penelitiannya tentang motif ekonomi-politik yang ada di tubuh Front Pembela Islam (FPI) khususnya pada kelas Habaib sebagai representasi kelas elit. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Habermas,[2] bahwa pengetahuan pada dasarnya erat kaitannya dengan kepentingan manusia. Hanya saja, kepentingan yang semacam apa yang akan mengantarkan pengetahuan sebagai praksis emansipatoris adalah hal lain yang harus kita lihat secara kritis. Tentu saja, seperti temuan al-Zastrouw pada FPI, penafsiran atas teks agama yang bias kepentingan ekonomi-politik terbukti tidak mempunyai potensi emansipatoris, yang ada justru tindak destruktif dari para anggotanya.

Masalahnya, agama (baca: Islam) yang sakral itu, hanya akan membumi ketika ‘disentuh’ oleh tangan manusia yang profan. Agama historis inilah yang seringkali membuat kita berada di depan simalakama. Lantas bagaimana seharusnya sikap kita ketika menyentuh (menafsirkan) agama?

Secara umum penafsiran terhadap teks agama terbagi menjadi dua model, yang tentunya menisbahkan juga dua sudut pandang; pertama penafsiran tekstual dimana sudut pandang yang digunakan—meminjam istilah Ulil Abshar—teosentrisme.[3] Penafsiran model ini memahami kebenaran teks melalui metode tersurat, makna eksplisit dari kandungan teks tersebut. Dan kecenderungannya adalah teks diletakkan di atas segala-galanya, di atas fakta kemanusiaan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Penafsiran model ini bersifat kaku karena terlalu terhipnotis oleh bunyi, ujaran teks itu sendiri. Teks dipahami sebagai sesuatu yang lepas dari kesejarahannya. Yang ada adalah memahami teks dengan menetralkannya dari konteks (asbabunnuzul – asbabulwurud) dimana teks itu diturunkan. Ironisme dari penafsiran model ini seperti yang kita lihat pada tragedi kemanusiaan dengan banyaknya fenomena bom bunuh diri (suicide bomb). Teks tentang jihad dipahami secara tekstual sehingga praksis jihad lahir dalam bentuk kekerasan yang fasistik dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan.

Pendekatan kedua, kontekstual, merupakan penafsiran teks dimana konteks (asbabunnuzul – asbabulwurud) turunnya dipahami sebagai kondisi yang menyelimuti dan bahkan memungkinkan teks tersebut lahir (conditio it possibility). Pada model ini, fakta kemanusiaan sebagai sejarah yang senantiasa menyelimuti penurunan teks mendapat porsi yang mencukupi. Penafsiran tidak hanya terpaku oleh bunyi suatu teks, tetapi dapat melakukan penelusuran ke dalamnya melalui metode ta’wil atau hermeutik. Kecenderungan sudut pandang dari penafsiran ini adalah antroposentrisme. Teks (baca: agama) tidak bisa dilepaskan dari fakta kemanusiaan yang konkret. Tidak lantas mengatasnamakan agama, nilai kemanusiaan dinomorsekiankan. Model penafsiran semacam ini melahirkan lingkaran hermeneutis yang mengandaikan dialektika teks dengan konteksnya. Dengan melihat konteks turunnya satu teks maka kita dapat mengetahui pada saat seperti apa teks tersebut berlaku dan tidak. Penafsiran model ini sampai sekarang dipandang oleh sebagian besar pemikir Islam sebagai penafsiran yang produktif bagi kemanusiaan juga peradaban.

III
Melalui lingkaran hermeneutis yang lahir dari proses penafsiran, proses aksi-refleksi dimungkinkan muncul sebagai bentuk dari praksis sosial satu teks tertentu. Untuk itu, pada ranah epistemologi, ikhtiar Muslim muda terhadap suatu perubahan di tingkatan umat dapat terjadi secara maksimal. Nurcholis Madjid adalah salah satu Muslim muda yang telah melakukan perubahan besar dengan jargon terkenalnya “Islam Yes, Partai Islam No”. Penelusuran panjang Nurcholis tentu saja melalui lingkaran hermeneutis yang rumit, yang akhirnya memberanikannya untuk mengambil satu kesimpulan bahwa sekularisasi—pemisahan ruang antara agama dengan kekuasaan—adalah lebih produktif daripada sebaliknya. Meskipun pada zamannya, Nurcholis sebenarnya berada pada posisi yang sulit ketika semangat untuk melakukan formalisasi Islam di pemerintahan begitu besar, salah satunya dari Masyumi.

Paska Nurcholis, banyak juga Muslim muda yang menggunakan bangun dasar epistemologi model ini, sebut saja; Jaringan Islam Liberal, Jaringan Islam Emansipatoris, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah, Center for Moderat Moslem, al-Maun Institute, Wahid Institute, tidak ketinggalan juga lingkar Paramadina dan seterusnya. Pertanyaan kemudian apakah ikhtiar mereka berjalan dengan mulus ketika secara epistemologis dianggap final—untuk sementara?

Umarudin Masdar dan Nurkholiq Ridwan[4] melakukan kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Jaringan Islam Liberal dan gagasan Nurcholis (khususnya pluralisme), sebagai gagasan yang elitis, melangit dan bias kelas. Gagasan yang dilahirkan oleh dua sentrum pemikiran itu menurut mereka belum mampu menyelesaikan masalah umat yang sangat urgen, yakni kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, powerless dan sebagainya. Menurut mereka, gagasan-gagasan dua sentrum itu hanya mungkin diakses dan mencukupi bagi kelas sosial menengah-atas. Bias kelas ini tentu saja perlu dicari penyelesaiannya agar ikhtiar untuk mewujudkan perubahan (progresif-emansipatoris) dapat berjalan secara optimal.

Nampaknya, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Masdar Farid Mas’udi dan lainnya, juga membaca kecenderungan yang kurang produktif itu. Mereka menawarkan satu gagasan yang secara umum dapat kita sebut sebagai—meminjam istilah Moeslim Abdurrahman—Islam yang memihak.[5] Epistemologi gagasan—bahkan gerakan—ini sama seperti di atas, yakni kontekstualisasi ajaran dan berpusat pada fakta kemanusiaan sebagai locus analisys. Hanya saja, nampaknya mereka sudah melakukan penelusuran terhadap skala prioritas dari masalah umat Islam di Indonesia. Isu besar yang mereka tawarkan adalah; kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan seterusnya.

Nampaknya kita harus memetakan landscape isu-masalah yang dihadapi oleh umat Islam, pertama isu toleransi, sekularisasi, pluralisme, HAM, demokrasi, dan sebagainya. Kedua, isu berkenaan dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan seterusnya. Pilihan isu yang ditawarkan oleh setiap Muslim muda melalui lembaganya masing-masing saya kira tidak bisa kita hukumi sebagai mana yang lebih baik. Karena masing-masing isu bergerak dengan modus, kelas sosial yang berbeda. Seperti isu pertama saya kira jauh lebih efektif untuk disemai di kelas sosial menengah-atas yang secara sosio-ekonomi sudah cukup mapan. Meskipun pada kasus; Sampit, Ambon dan sebagainya isu pertama sangat perlu kita semai sampai kepada grass root. Sedangkan isu yang kedua lebih tepatnya kita garap pada kelas sosial menengah-bawah.

Saya rasa kita harus menginsyafi bahwa setiap Muslim muda dengan lembaganya masing-masing, bukanlah the holding company yang bisa menggarap dua landscape isu besar di atas dalam tempo yang bersamaan. Untuk itu, sembari menyadari keterbatasan yang ada, kita perlu melakukan ‘pembagian kerja’ agar satu dengan lainnya tidak perlu mengklaim yang paling memperjuangkan umat. Pembagian kerja kultural ini saya andaikan seperti yang lahir pada masa awal Nahdlatul Ulama yang menggarap masyarakat desa, Muhammadiyyah yang menggarap masyarakat kota, dan Al-Irsyad yang menggarap kaum dagang keturunan Arab.

Meskipun ketiga ormas besar di atas sudah melakukan pembagian kerja berdasar locus-nya masing-masing, tetap saja konfik muncul di antara mereka. Saya membaca bahwa konflik yang ada sebenarnya lebih terjadi karena kurangnya komunikasi antar-ormas, khususnya pada level bawah. Untuk itu, kita perlu kembali mencari kalimatun showa agar jihad kita menyelesaikan masalah umat tidak menghadapi kendala yang kurang substansial ini. Kita perlu memformulasikan satu isu besar yang sifatnya memihak pada golongan tertindas; kaum miskin, minoritas, dan sebagainya. Dan perlu juga bagi kita untuk mengintegrasikan isu kontemporer terkait dengan konstelasi ekonomi-politik global, seperti globalisasi, neo-liberalisme, kesetaraan gender dan sebagainya.

Nampaknya ke depan ikhtiar yang harus kita lakukan adalah mensinergikan semua gerakan (berdasar perferensi isu) ke dalam satu agenda dan satu set-up besar. Kita perlu mengumpulkan berbagai elemen Muslim muda, tentunya juga bagi kalangan skripturalis-tekstualis untuk merumuskan strategi gerakan baru.[6] Hari ini, gerakan kita berjalan secara sporadis dan parsial. Efektivitas gerakan menjadi turun, dan tentunya perubahan berjalan secara lambat atau bahkan berjalan di tempat.

IV
Mengintegrasikan seluruh elemen merupakan pekerjaan yang berat. Bukan hanya kemauan, melainkan juga kendala-kendala obyektif[7] yang ada senantiasa menghambat kita. Nampaknya kita perlu melakukan—merujuk kepada Jurgen Habermas—dialog emansipatoris,[8] dimana pada saat tertentu kita perlu untuk melepaskan diri dari kepentingan golongan-sektarian kita dan menuju pada pembahasan menyangkut dengan problematika umat dalam arti seluas-luasnya.

Semoga International Conference ini adalah salah satu ikhtiar untuk menata perubahan yang akan kita tuju bersama. Lebih dari itu, semoga dialog lintas elemen ini dapat terjadi juga pada locus lokal. Mengingat lokal lah yang sebenarnya merupakan ujung tombak dari semua perubahan yang kita cita-citakan. Semoga. []

_______________
Catatan Kaki:
Lihat Gerakan Islam Simbolik
Lihat FB. Hardiman dalam Kritik Ideologi
Dalam artikelnya “Menghindari Bibliolatrisme”
Lihat Umarudin Masdar dalam Agama Kolonial dan Nurkholiq Ridwan dalam Pluralisme Borjuis Cak Nur
Salah satu gagasan tentang Islam yang memihak bias dibaca di Islam yang Memihak karangan Moeslim Abdurrahman.
Ikhtiar semacam ini sudah dimulai oleh Kelompok Kerja Rumah Kiri – Bandung yang berinisiatif mengkomunikasikan seluruh ormas mahasiswa (dengan berbagai latar ideologi) pada masing-masing kota dan membuat kegiatan bersama yakni kampanye anti-neoliberalisme yang dianggap sebagai sistem yang eksploitatif bagi umat manusia.
Seperti model pendekatan agama, isu yang mengglobal karena pesanan funding (salah satu kritik Umarudin Masdar kepada JIL dan semacamnya), klaim kebenaran setiap ormas, dan sebagainya.
Lihat Teori Tindakan Komunikatif Jilid I dan II karangan Habermas, atau Menuju Masyarakat Komunikatif karangan FB. Budihardiman.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment