Benazir Bhutto dan Sisi Gelap Demokrasi


Oleh: Firdaus Putra A.

Satu malam, saya terhenyak kaget ketika menonton satu tayangan yang memberitakan bahwa sore/malam tadi Benazir Bhutto tewas dalam pembunuhan. Saya sendiri tidak pernah mengenal lika-liku siapa sesungguhnya Benazir Bhutto. Hanya saja saya heran dengan dunia politik yang ternyata sungguh kejam.

Memang percobaan pembunuhan pejabat publik/aktivis partai/aktivis sosial telah banyak terjadi di banyak negara. Hanya saja, kenapa sampai hari ini cara semacam itu masih ada di masyarakat kita. Hari di mana kita selalu dengan tegas menolak kekerasan, pelanggaran HAM, dan mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.

Saya hanya bisa menarik benang merah, ternyata dunia politik memang sungguh kejam. Penghilangan nyawa seakan menjadi salah satu siasat untuk memuluskan kepentingan. Bagi orang sipil semacam saya, saya yakin hanya gumam emosi yang lahir dari tragedi di Pakistan itu. Kok bisa ya?

Saya rasa tidak perlu menjadi warga negara Pakistan untuk dapat merasakan tragedi besar tersebut. Sebagai manusia, tanpa melihat latar belakang apa pun saya yakin kita akan bersepakat bahwa penghilangan nyawa, apa lagi secara massal merupakan cara yang sama sekali tidak bijak.

Kehidupan politik hanya akan semakin parah. Saling curiga akan mewabah. Kepercayaan masyarakat akan menurun. Figur sebagai pengendali massa hilang, yang artinya kerawanan sosial akan ledakan emosi massa sangat mungkin terjadi. Pemerintahan yang ada mendapat noktah hitam dalam kepemimpinannya. Dan seterusnya. Saya rasa tidak ada impact yang produktif melalui cara kekerasan semacam itu.

Head line harian Kompas menulis “Selamat Jalan, Benazir Bhutto ... Komunitas Internasional Mengecam Penembakan dan Peledakan Bom di Pakistan”. Saya rasa tidak perlu komunitas internasional, saya pun yang bukan siapa-siapa, atas nama kemanusiaan mengecam keras tindakan tersebut. Tidak ada hal yang bisa saya terima dari logika pembunuhan, baik secara rasional maupun etis.

Meskipun kadang saya dapat memahami kenapa orang tega melakukan hal semacam itu. Misalkan saja Amrozi cs, dengan suicide bomb-nya. Bisa jadi karena aspirasi mereka selama ini tidak didengar melalui prosedur demokrasi resmi. Mereka menjadi frustrasi, dan akhirnya tindakan pun menjadi keluar batas kemanusiaan.

Atau, dalam landscape makro tragedi kemanusiaan tersebut merupakan sisi gelap demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang hari ini kita agung-agungkan, dengan berbagai mekanisme yang beradab dan humanis sebenarnya seringkali mengilusi. Mekanisme aspirasi hanyalah cerita di akhir minggu ketika pejabat publik kita sudah enggan dengan pekerjaan mereka. Pun, saluran aspirasi resmi hanya sebatas label untuk melakukan sensor kepada pihak-pihak yang dikehendaki untuk dikeluarkan dari arena permainan. Tidak ada yang sungguh-sungguh membuka kran demokrasi sebagai sebuah jalan menuju kehidupan yang lebih beradab. Demokrasi hanyalah cerita usang tentang kemajuan yang harus dibayar dengan cost yang mahal.

Atau memang, sebagai anak turun modernitas demokrasi dalam dirinya menyisakan resiko tinggi yang tidak mungkin tertangani. Katup penyelamat (safety valve) tidak pernah bekerja secara optimal. High risk lahir sebagai ledakan yang a-rasional dan a-humanis. Dalam konteks itulah saya memahami tragedi yang menimpa Benazir Bhutto. Tetapi sama sekali tidak untuk mentolelirnya atau memaafkannya. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :