Oleh: Firdos Putra A.
Sebenarnya saya tidak terlalu suka memakai frasa ‘apatisme mahasiswa’, karena ketika memakai frasa itu, seolah-olah saya berada pada posisi sebaliknya. Di mana ‘apatis’ itu buruk dan ‘aktivis’ itu baik. Untuk itu, saya akan mengganti term ‘apatis’ dengan ‘apolitis’. Konotasi selanjutnya ‘politis’ adalah pilihan politik seseorang dengan motif tertentu, dan ‘apolitis’ adalah pilihan politik yang lain dengan motif tertentu pula. Dengan menggunakan term ini, saya tidak perlu memasuki konstruksi kuasa yang menjerembabkan saya pada relasi elit-massa.
Politis dalam konteks ini saya maknai sebagai berpartisipasinya mahasiswa dalam agenda demokratisasi kampus. Apolitis saya maknai sebagai tidak berpartisipasinya mahasiswa dalam agenda demokratisasi kampus dengan alasan-alasan tertentu. Saya akan memberikan satu gambaran, mahasiswa yang politis—dalam makna positif—adalah mahasiswa yang berpartisipasi pada Pemilihan Umum Raya (PEMIRA) Presiden BEM. Dan sebaliknya, bagi mahasiswa yang apolitis mereka lebih memilih soal lain daripada harus datang ke TPS untuk memberikan suaranya.
Faktanya mahasiswa apolitis banyak kita temukan di tiap fakultas, minimalnya terlihat dari angka partisipasi publik yang rendah pada tiap PEMIRA. Demikian juga—proyeksi saya sementara—apa yang akan terjadi pada PEMIRA Presiden BEM UNSOED yang prosesnya sedang berjalan.
Saya akan memberi satu ilustrasi yang lain, dalam PEMILU Presiden RI. partisipasi masyarakat mencapai 78% di tahun 1999, dan Golongan Putih (Golput) hanya berkisar 23%. Bagi pemilih yang menyalurkan haknya dalam PEMILU 1999, mereka termasuk masyarakat yang politis. Sedangkan yang tidak menyalurkan haknya, mereka akan diklasifikasikan dalam Golput. Bagi mereka yang masuk dalam Golput, mereka tidak perlu kahwatir, karena paska Orde Baru Golput berkonotasi positif, yakni kritik terhadap partai dan pemerintah yang dilaksanakan melalui tidak berpartisipasinya mereka dalam PEMILU. Saya menggarisbawahi Golput sebagai protes, kritik, dan semacamnya kepada otoritas pemerintahan.
Bagaimana gambaran di kampus? Bilamana dari 4000 mahasiswa aktif FISIP hanya 800 orang yang menggunakan hak pilihnya—PEMIRA BEM 2006—maka tingkat partisipasi publik hanya berkisar 20%. Bila kita mengikuti skenario PEMILU 1999, maka sisanya yang 80% kita sebut dengan Golput.
Sekali lagi Golput berarti protes, kritik dan semacamnya. Artinya lebih dari 50% mahasiwa FISIP sedang mengkritik pemerintahan mahasiswa. Kritik ini terjadi secara pasif, mereka tidak perlu mengeluarkan sebuah surat terbuka, tempelan tulisan, surat pengaduan dan sebagainya, mereka hanya perlu diam dan tidak melakukan apa-apa.
Lantas mengapa mereka diam? Saya menduga karena pemerintahan mahasiswa—BEM salah satunya—sama sekali tidak dirasakan manfaatnya oleh mereka. Mari kita bandingkan dengan sikap mereka terhadap PEMILU 1999, penelitian di Jakarta menemukan angka keinginan untuk ikut berpartisipasi mahasiswa dalam PEMILU 1999 adalah 85%, sedangkan sisanya, 15% mahasiswa memilih tidak berpartisipasi. Mereka lebih percaya terhadap pemerintah—dalam arti yang sesungguhnya—karena saya yakin mereka merasakan layanan yang diberikan negara.
Sayangnya, ketika tingkat partisipasi mahasiswa dalam setiap PEMIRA rendah, Presiden BEM terpilih tetap dilantik atau dinyatakan legitimite. Ironi, karena ketika Presiden BEM dan kabinetnya dilantik artinya mereka mengamini pada rendahnya partisipasi politik yang sekali lagi sebagai bentuk protes itu. Seharusnya Presiden BEM terpilih menunda sebentar perjuangan parlemennya, untuk kemudian dilakukan PEMIRA ulang. Minimalnya angka partisipasi mencapai 60% dari total mahasiswa.
Bagaimana dengan PEMIRA BEM UNSOED yang prosesnya masih berjalan? Jika pemerintahan mahasiswa ingin memiliki posisi tawar, maka Presiden BEM UNSOED minimalnya dipilih oleh 60% dari total mahasiswa yang ada. Jika kurang, saya khawatir bahwa apatisme mahasiswa hanya dijadikan kedok untuk mempermulus langkah menuju kursi kekuasaan oleh beberapa kelompok tertentu.
Sekali lagi, kita perlu berfikir ulang mengapa mayoritas mahasiswa apolitis? Saya menduga karena lembaga yang kita kelola—BEM, UKM, HMJ, dll—kurang atau sama sekali tidak memikirkan nasib mereka. Mungkin kita terlalu egois untuk keluar dari nalar idealis kita, mencoba menengok keluar apa yang dibutuhkan oleh mayoritas itu. Pada hakikatnya, lembaga publik yang baik adalah lembaga publik yang melayani sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya konstituen atau publik. Berbeda dengan lembaga kita.
Lantas apa yang perlu kita lakukan? Usul konkret saya kepada pers kampus, BEM, HMJ atau siapapun itu, melakukan survai serius dengan agenda untuk mengetahui tentang lembaga mahasiswa yang bagaimana yang mereka butuhkan. Dari total populasi 4000 mahasiswa, minimalnya kita bisa mengambil 400-800 sampel. Demikian juga kita perlu mengetahui aspirasi mahasiswa UNSOED pada umumnya untuk mengetahui hal serupa. Bilamana total mahasiswa UNSOED adalah 10.000 mahasiswa, minimal kita bisa mengambil 2000-2500 sampel secara acak. Saya kira survai atau jajak pendapat yang demikian lebih penting dari pada PEMIRA BEM FISIP atau UNSOED itu sendiri. Dan sayangnya, selama hampir empat tahun saya belajar di kampus ini, saya tidak pernah melihat lembaga yang berangkat dari riset lapangan untuk mengetahui aspirasi riil konstituen.
Sebagai penutup saya ingin menegaskan, term apatis bagi saya kurang cocok untuk dilekatkan pada mayoritas mahasiswa yang enggan berpartisipasi dalam agenda demokratisasi kampus. Saya menawarkan penggunaan term apolitis secara optimis untuk membaca silence protest yang mereka lakukan. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar