Apa Aku Mengenalnya?

Sebuah Catatan Kecil
Oleh: Firdaus Putra A.

*
Pagi sampai siang hari tadi (28 Januari 2008) seluruh stasiun televisi secara langsung menyiarkan proses pemakaman almarhum Soeharto, mantan Presiden RI ke-2. Turut serta meramaikan, media cetak seolah tidak mau ketinggalan menyajikan informasi terkait almarhum. Seluruh lika-liku semasa hidupnya menjadi tulisan yang menguntai ribuan kata. Mulai dari karir militer, sampai masa saat almarhum menjabat menjadi Presiden RI.

Mengikuti nalar cover both side, beberapa orang diminta testimoninya terhadap almarhum. Ada yang mencibir terkait keotoriterannya selama menjabat. Ada pula yang menyanjungnya. Para tokoh nasional pun angkat bicara. Tidak ketinggalan masyarakat biasa. Terlepas dari sisi kontroversialnya, pemakaman almarhum disaksikan oleh jutaan pasang mata.

Pagi sampai siang tadi pun saya turut serta menyaksikan. Meskipun hanya melalui layar televisi. Prosesi “mengantar ke dunia lain” itu seakan menghipnotis masyarakat. Entah karena jasanya, kharismanya, benci terhadapnya atau sekedar mengisi waktu luang. Yang jelas, untuk beberapa saat, prosesi siang itu sejenak menghentikan aktivitas normal masyarakat.

Sebenarnya hal ini wajar. Wajar ketika almarhum merupakan salah satu pemimpin bangsa. Atau wajar pula ketika semenjak tanggal 4 Januari 2008 berita sakitnya almarhum sedemikian rupa menyihir media untuk menjadikannya sebagai head line di beberapa pemberitaan. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan sampai prosesi pemakaman tersebut menarik perhatian banyak orang. Entah sadar atau tidak.

**
Dulu, saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), suatu tempo dikabarkan Presiden Soeharto akan melewati jalan raya Wiradesa – Kajen. Kami, kurang lebih pukul 06.30 WIB, dipersiapkan berbaris ditepi jalan. Kami juga dibekali dengan bendera Merah Putih berukuran kecil yang dipasang di sebilah bambu. Saat itu semuanya mengenakan seragam Merah Putih. Saya masih ingat. Dan sayangnya rombongan Presiden dikabarkan menggunakan rute lain. Kami kecewa. Atau saat itu kami belum tahu apa artinya kecewa. Yang kami tahu paska perubahan rute, akhirnya belajar-mengajar dipulangkan lebih awal. Kami senang.

Secara langsung mungkin itu pengalaman saya dengan almarhum. Dan itu pun gagal. Selebihnya saya kenal melalui buku pelajaran; PSPB, PMP, Sejarah dan sebagainya. Saat itu saya mengenalnya sebagai sosok yang heroik. Pejuang untuk bangsa dan negara. Bapak Pembangunan yang telah berjasa besar terhadap negeri. Dan seterusnya. Saya masih ingat persis, bahwa saya pernah berpikir, “Apa jadinya negara ini tanpa Pak Harto?”. Pikiran ini muncul ketika Ibu Tien dikabarkan meninggal dunia.

Nampaknya cerita itu mulai berubah ketika saya memasuki SMP. Reformasi bergulir. Saat itu, saya pun kurang begitu paham apa itu reformasi. Juga kurang begitu paham terhadap tuntutan para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR RI. Baru setelah akhir SMP dan memasuki SMA, saya mulai bisa mencerap duduk masalah yang sebenarnya.

Dan benar, cerita itu berubah total. Di masa SD, saya begitu rupa menyanjungnya. Dan berubah ketika memasuki masa SMA. Meskipun pemahaman itu cukup terlambat. Tapi, itulah gambaran yang saya kenal dari almarhum, dari masa ke masa. Berubah, tidak tetap.

Ternyata pada tanggal 27 Januari 2008 beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Gambaran saya terhadap almarhum merupakan sisa kenangan di masa SMA. Saya lebih mengenalnya sebagai sosok yang otoriter, penjahat HAM, pemimpin bertangan besi dan semacamnya.

***
Melihatnya ketika terbaring di ranjang rumah sakit, saya hanya berharap, semoga beliau meninggal. Saat itu saya hanya merasa kasihan. Praktis, sebenarnya beliau hidup hanya melalui bantuan teknologi. Dan secara potensial, sama sekali tidak ada yang bisa diharapkan darinya sebagai seorang manusia. Bagi saya, beliau sudah “meninggal” mulai tanggal 4 Januari 2008. Mengupayakannya dengan berbagai teknologi, hanya akan mengulur atau menambah masa sakitnya.

Namun saya tidak pernah kasihan terhadap putra-putrinya. Ketika mereka memohon kepada pemerintah (Presiden SBY) agar mengampuni kesalahannya, saya justru mencibir. Ketika sekelompok orang menuntut agar pengadilan terhadap kasus-kasusnya diselesaikan, saya senang. Memang tidak hitam-putih.

Saya sedikit kecewa ketika media, baik cetak maupun elektronik, mem-blow up habis-habisan masa ketika almarhum di rawat. Beberapa sisi hanya melakukan romantisasi sejarah masa lalu. Masa di saat beliau menjabat. Saya pun, akan kecewa, bilamana media sama sekali tidak mem-blow up ketika almarhum di rawat di RSPP. Hanya sebuah kepantasan (decency) yang menjadikan semuanya tepat. Tidak kurang, tidak juga berlebih.

Ketika almarhum sakit, sampai meninggal, saya rasa sedikit orang yang secara langsung terkena dampaknya. Hanya beberapa orang tertentu, elit-elit negara, famili, dan para mantan pembantu kenegaraannya yang terkena dampaknya. Banyak di antara kawan saya yang mengikuti perkembangan ketika almarhum dirawat. Memang momen itu memiliki news value yang luar biasa. Tapi, saya hanya melihatnya seperti tayangan gosip. Tidak lebih.

Bukannya saya sedang “merendahkan” kisah yang merupakan bagian dari penggalan sejarah republik ini. Hanya saja, kita perlu menempatkannya secara proporsional. Kepergiannya pasti akan terekam dalam buku ajar sekolah. Tapi tidak lantas kita harus “membesar-besarkan” proses sejarah itu. Biarkan berjalan secara alamiah. Toh, kematian juga proses yang alamiah.

****
Malam tanggal 27 Januari 2008, seorang kawan mengirim pesan singkat, “Bendera setengah tiang adalah penghormatan untuk pejuang yang mempunyai jasa besar bagi bangsa. Saya rasa Soeharto tidak pantas mendapatkan itu. Dan saya tidak akan memberikan kehormatan itu. Bagaimana dengan Anda?”. Kawan tersebut berusia tiga tahun di bawah saya. Ketika saya SD, mungkin dia masih kanak-kanak. Dan ketika saya menginjak SMA, dia untuk kali pertamanya menginjak SMP. Sejarah yang kami terima hampir sama. Sejarah kelam tentang Soeharto.

Saya balas pesan itu, “Jika benar ia sejahat itu, pastilah kita—Indonesia—sudah hancur dari dulu. Sesedikit apapun, dia pernah berbuat baik. Untuk sedikit kebaikannya itu, tidak salah kalau kita memaafkannya. Sedang untuk banyak salahnya, adalah hal yang harus kita pertegas, usut tuntas kasus-kasusnya. Semoga dia dibalas oleh-Nya dengan balasan yang setimpal. Alhamdulillah dia meninggal.” Demikian saya membalas pesan tersebut yang juga dikirim ke beberapa kawan yang lain.

Saya tidak ingin meng-amnesia-kan diri pada sejarah. Juga tidak ingin terhanyut pada tragika sejarah yang dogmatis. Saya mencoba berada di antaranya. Di rentang masa ketika perubahan itu terjadi dan butuh waktu yang lama untuk memahaminya.

Untuk memahami sejarah panjang itu, tidak sedikit buku, tulisan, pun cerita saya dapat. Dan nampaknya ada kebenaran sudah jelas. Di samping almarhum pernah berjasa, almarhum juga melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya, menodai matra kemanusiaan, dengan berbagai macam caranya. Sampai titik ini, saya masih teguh untuk menuntut agar kasus-kasus yang disangkakan kepada almarhum dapat diproses melalui hukum. Tentunya agar saya, sebagai salah satu putra Indonesia, tidak amnesia, juga gagap terhadap sejarahnya. Meskipun saya kecewa, kenapa selama almarhum hidup, pengusutan kasus itu tidak pernah selesai.

*****
Jika kembali saya bertanya, “Apakah aku mengenal Soeharto?”. Saya tidak terlalu yakin untuk menjawabnya. Sudah sedikit cerita sejarah di negara ini yang bisa dipercaya. Saya pun pantas untuk percaya almarhum pernah berjasa kepada negeri. Dan juga sebaliknya.

Semoga dengan pengusutan tuntas kasus-kasusnya, saya akan semakin yakin ketika menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah hipotesis sejarah yang sejatinya harus dipecahkan. Gagal, gagap sejarah akan menimpa para generasi muda. Berhasil, proses mengambil pelajaran dari sejarah itu akan menjadi nilai yang sangat berharga bagi masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menapaki kehidupan.

Tidak ada salahnya sebagai sesama ciptaan Tuhan, kita mendoakan agar almarhum mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Wallahu a’lam bishshowab. Hanya Dia-lah yang Maha Tahu atas segala sesuatu. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :