
Oleh: Firdaus Putra A.
Ketika saya membaca majalah Solidaritas edisi Desember 2007 – Mei 2008, yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas FISIP UNSOED, saya menemukan beberapa masalah yang mengganjal. Di halaman sampul tertulis “Mengintip Pilkada dari Celah Regulasi”, judul ini mengisyaratkan tema utama dari majalah tersebut. Mungkin 60 – 70% beberapa tulisan menyoal Pilkada Banyumas dari berbagai sisi. Sisanya mengangkat tema lain yang ada di Banyumas. Majalah Solidaritas memang diterbitkan dalam rangka memotret isu masyarkat (Banyumas), berbeda dengan buletin Belik yang lebih mengarusutamakan masalah kampus atau pendidikan.
Dalam tulisan ini posisi saya jelas, yakni sebagai pembaca. Sebagai pembaca saya merasa cukup sulit untuk mencerna beberapa tulisan dalam rubrik Laporan Utama (dua buah judul), Laporan Khusus (dua buah judul) dan Wawancara (satu buah judul). Dan juga beberapa judul lain yang mengangkat masalah Banyumas atau kampus. Saya merasa bingung ketika membaca lima judul di atas. Semuanya ditulis melalui teknik reportase. Dan bisa dibayangkan, dalam tulisan nama informan atau narasumber berita pasti akan dicantumkan. Tetapi, persoalannya secara teknis menurut saya reporter terlalu menyebut banyak nama dalam tulisan itu. Satu paragraf berganti dengan nama sumber yang lain. Dan secara keseluruhan praktik ini terjadi hampir di semua tulisan.
Saya memahami bahwa dalam dunia jurnalisme terdapat adagium yang berbunyi, the fact is sacred atau fakta merupakan hal yang sangat penting (sakral). Tetapi, tidak lantas semua hal yang berhubungan dengan fakta, penyebutan nama, harus semuanya disebut. Yang ada, alih-alih dalam rangka menunjukan valid tidaknya berita, justru pembaca merasa bingung dan tulisan cenderung kaku.
Pada titik tersebut, sebagai pembaca saya mempermasalahkan teknik jurnalisme, khususnya pada masalah penulisan, yang menurut saya perlu dikembangkan kembali. Kepada LPM Solidaritas saya sarankan untuk membuat sebuah pelatihan penulisan yang sifatnya kontinyu—tiap minggu atau dua minggu sekali—agar para awak persnya dapat meramu fakta menjadi berita secara bernas dan mengalir.
Khusus pada rubrik Wawancara, sebagai pembaca saya melihat bahwa wawancara tersebut kurang tergarap dengan baik. Lihatlah pertanyaan reporter yang secara esensial meloncat-loncat. Kurang sistematis dan kurang menuju sasaran. Hal ini juga menyangkut teknis jurnalisme khususnya masalah wawancara dengan tokoh ahli (konteks majalah Solidaritas yakni I Ketut Putra E, MA, Ph.D selaku Direktur Pasca Sarjana S-2 Ilmu Politik UGM) di mana reporter terlihat kurang menguasai materi wawancara. Pada titik ini, LPM Solidaritas juga harus melakukan pelatihan yang serius.
Untuk membandingkan teknik jurnalisme di atas, cobalah para awak LPM Solidaritas lihat gaya penulisan Radar Banyumas, Suara Merdeka atau Kompas atau majalah Tempo dan sebagainya. Dalam sebuah laporan utama, berapa kali mereka mengutip nama. Dan berapa banyak nama kunci mereka gunakan sebagai awal mula berita. Saya rasa sedikit. Tidak lebih dari tiga atau empat kali atau orang.
Masalah kedua, yakni jurnalisme teknis. Beberapa kali saya membaca produk LPM, juga selain LPM Solidaritas, saya menduga bahwa kawan-kawan Persma masih pada tahap jurnalisme teknis. Artinya tulisan masih sebatas hasil liputan lapangan dan kurang tekeksplorasi dengan baik.
Contoh dari praktik jurnalisme teknis ini di Laporan Utama dan Khusus, liputan atau reportase lapangan masih sangat banyak. Adanya pihak lain, misal akademisi dan KPU, juga belum mampu menggambarkan tema utama yang diangkat. Karena sebatas jurnalisme teknis, majalah Solidaritas edisi kali ini saya anggap hanya sebatas mentaut-tautkan pendapat dari banyak sumber. Sebagai sebuah majalah—dengan persiapan yang panjang—berita yang seperti itu saya rasa kurang menjual. Koran lokal sudah memuat berita itu dengan frekwensi yang lebih banyak. Alhasil, uraian di majalah seakan-akan mengumpulkan lantas menyimpulkan uraian dari koran lokal.
Keterjebakan pada jurnalisme teknis ini juga terlihat pada keterkaitan semua tulisan dengan tema sebagai pengikat utama, “Mengintip Pilkada dari Celah Regulasi”. Kita tahu bahwa regulasi merupakan sistem hukum, kalau kita mengutip Topatimasang, ada tiga analisis yang dapat digunakan; bad action, bad culture, and bad system. Sedangkan saya lebih melihat majalah tersebut hanya berbicara seputar bad action. Lingkup culture dan system kurang tergarap dan tereskplorasi dengan baik.
Saya melihat persoalan keterjebakan fokus hanya kepada bad action, karena ruh yang ada hanya sebatas pada jurnalisme teknis. Tidak sampai pada indepth jurnalisme atau lebih. Padahal, untuk sekelas majalah, seharusnya beberapa poin di atas bisa ditampilkan. Bagaimana dengan para pelaku lapangan, dengan hasil tindakan atau aktivitasnya, dan dengan sistem hukumnya itu sendiri.
Catatan yang lain, beberapa tulisan yang cukup menarik yakni “Fenomena Golongan Putih” oleh Ahmad Sabiq selaku akademisi, “Pendidikan Politik; Antara Kibul dan Mobilisasi” oleh Muhammad Nurrohmi selaku wartawan dan beberapa tulisan di luar tema yang lainnya. Ada juga catatan yang penting untuk rubrik Resensi Buku. Buku “Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?”, buku tentang AIDS dan jurnalisme empati ini apa keterkaitannya dengan tema utama? Atau jika memakai standar kebaruan (up to date), buku tersebut terbit tahun 2002. Menurut saya, memilih buku itu sebagai bahan resensi kurang menggigit terkait dengan squel waktu atau konteks tema majalah. Sedangkan buku “Fakta Terselubung di Balik Media Barat”, masih sedikit mencukupi terkait dengan isu global dan terbitan akhir tahun 2006.
Poin penting pendapat saya yakni pada masalah teknis jurnalisme yang belum tergarap dengan baik. Dan keterjebakan kawan-kawan hanya sebatas jurnalisme teknis yang berbuntut pada kurang eksploratifnya majalah edisi kali ini. Semoga kritik ini bisa menjadi umpan balik bagi LPM Solidaritas. Untuk kekurangannya, saya mohon maaf. Terlepas dari segala kritik, kepada LPM Solidaritas, selamat atas penerbitan majalahnya. Semoga bermanfaat. []
0 comments :
Posting Komentar