“Budaya Banjir”


Oleh: Firdaus Putra A.

Terhitung dari hari Jumat (1 Februari) pekan lalu, hujan mengguyur Ibu Kota – Jakarta dengan deras. Tidak salah lagi, banjirpun datang sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada yang berbeda, selain konon katanya, banjir kali ini lebih disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, begitu penuturan Pemprov Jakarta, Fauzie Bowo.

Seperti sudah menjadi tradisi, untuk beberapa saat, pada beberapa titik vital Jakarta mengalami kelumpuhan. Yang paling terlihat jelas yakni lalu lintas penerbangan pada Bandara Soekarno-Hatta, sebuah bandara bertaraf internasional. Pesawat terbang tidak bisa landing dan/atau take off. Ironis.

Tapi lebih menyengsarakan lagi bagi masyarakat miskin. Banjir yang datang tiap tahun harus menjadi “musibah tahunan” yang mengganggu. Penanganan berupa bantuan makanan, tenda tempat berteduh dan seterusnya masih kurang. Sedikitnya masalah itu yang terekam ketika beberapa media televisi swasta mendatangi tempat pengungsian.

Tak habis pikir, berapa milyar dana yang sebenarnya Pemprov Jakarta alokasikan untuk menangani “musibah tahunan” ini. Harusnya Pemprov cukup ahli. Karena banjir bukan hanya sekali datang. Tapi setiap akhir dan awal tahun dipastikan datang.

Secara visioner, banjir sebenarnya hasil dari sistem kebijakan tata ruang kota dan kebijakan lain—pembangunan gedung yang menyalahi amdal—yang tidak tepat. Secara sistemik banjir merupakan konsekuensi dari kesalahan tersebut.

Ironisnya, kadang kambing hitam lebih diarahkan pada warga yang menghuni bantaran sungai. Konon katanya, sampah dari limbah rumah tangga membuat sungai menjadi dangkal. Tidak ada usaha secara radikal untuk menelisik akar masalah. Pembangunan gedung-gedung perkantoran, perumahan mewah, mall dan sebagainya, praktis menutup penampang tanah sehingga tidak bisa lagi menyerap air hujan. Atau, pembalakan hutan di kawasan puncak kemudian membangunnya dengan vila-vila, sarana rekreasi yang lain, juga membuat tiap tahun Jakarta mendapat “kiriman banjir” dari Kota Hujan Bogor.

Siapa yang paling dirugikan? Secara sederhana dapat kita sebuat semua warga yang kawasan tinggalnya terkena banjir. Tapi, lebih memprihatinkan dampak banjir kalangan masyarakat menengah ke bawah. Ketika perabotan rumah; televisi, kursi, lemari dan pakaian, kendaraan bermotor rusak, maka mereka harus memulai hidup dari titik nol. Tidak ada tabungan di bank. Investasi jangka pendek sering kali hanya dibendakan berupa perabotan rumah tangga tersebut.

Tentunya berbeda ketika banjir mengenai kalangan masyarakat menengah ke atas. Menganggu memang, aktivitas sehari-hari terganggu; pekerjaan terhambat ketika listrik padam, mobilitas ke kantor menjadi sulit, dan mascam masalah lainnya. Yang membedakan, paska banjir, mereka tidak perlu memulai hidupnya dari titik nol. Saving dana senantiasa aman di bank. Kendaraan atau rusaknya mobil akan diganti oleh perusahaan asuransi. Mereka tidak perlu mencari tempat untuk mengungsi. Seringkali rumah mereka sudah didesain sedemikian rupa guna mengantisipasi banjir, yakni dengan membangunnya secara vertikal dengan beton yang kokoh. Atau, seumpama rumah menjadi tidak layak huni, mereka bisa membuka account di hotel atau losmen untuk beberapa waktu tertentu. Sesulit-sulitnya mereka, banjir tidak akan membuat semuanya terhenti dan mendepak mereka ke titik nol.

Sayangnya, potret buram Ibu Kota Jakarta dengan banjirnya sampai hari ini masih terdengar keras. Tidak ada kemajuan penanganan dari satu pemerintahan (gubernur) satu dengan yang lain. Pergantian kepemimpinan tidak merubah masalah mendasar Ibu Kota—yakni minimnya lahan hunian. Yang ada justru Jakarta nampak sudah memiliki “budaya banjir”. Bisa saja kita berseloroh, suatu tempo, ketika Ibu Kota Jakarta tidak mengalami banjir, masyarakat pasti akan merasakan sesuatu yang mengganjal, aneh, dan sebagainya. Justru suatu tempo mereka akan merindukan banjir dengan berbagai lika-liku persoalannya. Kesadaran semacam ini berarti telah melahirkan “budaya banjir” bagi Ibu Kota Jakarta. Banjir tidak lagi dipandang sebagai “musibah tahunan”, kesalahan manajemen, kecacatan sistem pembangunan fisik, dan sebagainya. Tetapi banjir lebih akan dipandang sebagai kewajaran bahkan keharusan. Tanpa banjir, Jakarta tidak akan nampak menjadi Jakarta yang kita kenal.

Gambaran di atas mungkin hanya akan mampir di benak imajiner kita ketika sedang bercanda. Namun, gambaran di atas bisa saja menjadi benar, mana kala tidak ada perubahan yang terjadi secara mendasar di pusat pemerintahan. “Budaya banjir” tidak mustahil muncul, ketika Pemprov tidak mengoptimalkan kebijakannya, dan di sisi lain, masyarakat adaptif terhadap banjir tersebut.

Ironis, tapi memang itulah yang terjadi di negeri ini. Ibu Kota yang semrawut. Ibu Kota yang karut marut. Dan Ibu Kota yang tidak berdaya. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :