Mengkultuskan Soeharto
Oleh: Firdaus Putra A.
SMPN 5 Purwokerto menyelenggarakan lomba melukis dan membuat puisi untuk Selasa (29 Januari 2008), tujuan mengenal Bapak Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Kompas edisi Jawa Tengah, Rabu 30 Januari 2008.
Satu paragraf di atas dapat kita lihat di head line Kompas Edisi Jawa Tengah. Sebuah momen untuk mengenang sosok Presiden RI ke-2 yang meninggal 27 Januari 2008. Kegiatan tersebut ironisnya digelar oleh institusi pendidikan. Menjadi lebih ironis ketika tujuan dari kegiatan untuk ‘mengenal’ almarhum. Apakah misi tersebut akan sampai pada siswa-siswinya? Atau justru akan semakin mengkaburkan sejarah Indonesia ketika almarhum memimpin?
Saya heran kenapa proses mengenal dijabarkan melalui kegiatan melukis dan membuat puisi? Bukankah itu lebih mengarah pada kenangan. Atau lebih tepatnya lagi dalam rangka mengkultuskan almarhum. Saya khawatir, ada semacam usaha sistematis dalam rangka ‘memutihkan’ nama almarhum.
Pemutihan nama ini melalui rekayasa sejarah. Siswa-siswi secara sengaja atau tidak sedang dicuci otaknya, diarahkan, diinternalisasikan agar lebih mengetahui jasa almarhum. Padahal, fakta historis, almarhum selain berjasa juga mempunyai masalah yang sampai hari ini belun tuntas. Tentunya kegiatan tersebut sama sekali tidak cover both side, tidak obyektif dan bias kuasa.
Institusi pendidikan, dalam konteks ini, meminjam analisis Althusser untuk kesekian kalinya dijadikan Ideological State Apparatus (ISA). Sekolah merupakan perpanjangan tangan dari kelas berkuasa yang dalam konteks ini adalah pemerintah. Terlepas dari kegiatan tersebut murni inisiatif sekolah (baca: Kepala Sekolah) atau ‘pesanan’ dari pihak lain, adalah tidak tepat. Akan lebih tepat jika misi mengenal almarhum dikonkretkan dalam bentuk membuat karangan ilmiah, semacam esai atau artikel yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif.
Lebih jauh, saya khawatir bahwa kegiatan tersebut merupakan refleksi dari kesadaran sebagian para pendidik kita, yakni guru. Dapat dipahami jika kita melihat rentang waktu di mana mereka dibesarkan. Sebagain para pendidik yang ada hari ini, terutama senior, merupakan anak zaman dari Orde Baru. Dan benar, njunjung dhuwur, mendhem jero masih membekas sekali pada kesadaran mereka.
Perlu kiranya pembacaan obyektif atas sejarah republik ini. Salah satunya juga membaca sepak terjang almarhum selama memimpin. Menghormati setelah kepergian almarhum adalah hal lain. Penghormatan ini merupakan hal yang wajar. Tetapi mengkultuskan almarhum, merupakan masalah yang sangat berbahaya.
Masa SMP merupakan masa di mana anak didik masih kurang mampu mencerap dan memahami sejarah secara utuh. Dengan membuat lomba melukis dan membaca puisi, hanya akan menodai kekurangtahuan dan keluguan mereka sebagai para penerus bangsa.
Akan lebih baik bilamana para pendidik, dalam konteks ini para guru SMPN 5 Purwokerto, melakukan penghormatan yang sewajarnya terhadap almarhum. Tidak perlu lantas mengenang secara berlarut yang justru akan terjebak pada pengkultusan.
Janganlah para pendidik latah dan mengekor gaya media akhir-akhir ini. Pemberitaan mereka terlalu membesar-besarkan dan kurang obyektif. Kita harus ingat, posisi media, guru sangat strategis. Keduanya sama, yakni sebagai agen sosial. Melebih-lebihkan hanya akan membuat dosa sejarah baru.
Ada satu adagium atau maqolah yang perlu kita resapi bersama, “Sebaik-baiknya perkara adalah di tengah-tengahnya”. Adagium ini praktis bertolak dengan “Njunjung dhuwur, mendhem jero”. Jika proses ini masih diteruskan, tidak salah lagi bahwa kita masih sangat feodal. Lebih dari itu, kita telah melakukan dosa yang akan membuat para generasi muda gagap sejarah.
Semoga melalui tulisan ini, kegiatan-kegiatan yang mengarah pada praktik pengkultusan terhadap almarhum dapat dihentikan. Lebih baik jika kita dukung pemerintah agar secepatnya melakukan pengusutan terhadap kasus-kasus yang menimpa almarhum. []
0 comments :
Posting Komentar