Nalar Post-Ideologis
Oleh: Firdaus Putra Aditama
Ideologi, sebuah term yang acap kali sulit untuk diungkapkan. Namun mudah untuk dikenali dan diidentifikasi. Tidak jarang kita mengatakan, Si A berideologi sosialis, Si B berideologi liberal dan seterusnya. Dan seringkali pembicaraan ideologi mengantarkan kita pada pembicaraan politik. Atau minimalnya sebuah diskusi tentang harapan ideal suatu masyarakat atau zaman.
Memang benar, ideologi tidak jauh dari hal-hal tersebut. Dan juga benar, bahwa satu sisi kita memandang ideologi—apapun itu—secara optimis. Dan pada sisi lain secara pesimis atau peyoratif. Perdebatan ideologi sendiri dari awal mulanya memang sudah penuh dengan noktah hitam, putih pun yang buram.
Bagi sebagian ahli memandang ideologi secara pesimis. Seperti yang dilakukan oleh Romo Haryatmoko, bahwa ideologi seringkali bersifat doktriner, lamban, tidak kritis, disimulasi, dan cenderung distortif. Sedangkan sebagian praktisi, memandang ideologi secara positif. Lebih jauh, mereka membutuhkan ideologi untuk mengikat kolektivitas menjadi sebuah gerakan yang terarah untuk meraih tujuan tertentu.
Tidak dapat kita hindari, fakta di lapangan menunjukan bahwa ideologi seringkali mengkotak-kotakan kolektif. Mempolarisasi gerakan satu dengan yang lain. Membuat garis demarkasi yang tegas antara satu organisasi dengan lainnya. Fenomena ini juga sangat mudah kita lihat pada gerakan mahasiswa.
Ada satu teori yang dapat menjelaskan polarisasi ideologi secara baik, “Potongan Gunting”. Biasanya, satu organisasi dengan yang lain, akan bertemu di titik potong kepentingan. Selebihnya, mereka akan kembali berpisah ke arah yang berlainan. Mirip sebuah hasil potongan gunting.
Masalahnya, pertemuan tersebut lebih bersifat taktis daripada sebuah keinginan yang tulus untuk bekerjasama atau sinergi. Atau memang, ideologi yang satu dengan yang lain, sebenarnya saling bertubrukan. Tidak ada yang langgeng dari pertemuan model semacam ini.
Pada dasarnya ideologi merupakan pilihan untuk berpolitik. Sehingga tidak heran jika adagium dalam dunia politik pun muncul, “Tak ada kawan/musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Adagium ini relevan untuk kita gunakan dalam membaca landscape gerakan mahasiswa.
Ideologi, bagi elit gerakan, merupakan sebuah amunisi yang mujarab untuk melakukan gerakan. Dengan ideologi, anggota atau simpatisan dapat digerakkan ke manapun sang pemimpin kehendaki. Dengan ideologi juga, anggota atau simpatisan, yang berada pada level bawah, menerimanya dengan sukarela terhadap penundukan tersebut. Justru, mengkritik ideologi organisasi akan berdampak buruk bagi dirinya.
Tidak salah jika ideologi dalam kerangka ini kita tafsirkan sebagai mekanisme bekerjanya hegemoni. Gramsci, jauh hari sudah mengingatkan kepada kita, “tidak ada satu rezim yang berkuasa tanpa mengoperasionalkan ideologi tertentu”. Proses semacam ini merupakan proses penundukan sukarela (consent) bukan berdasar penggunaan kekerasan atau kekuasaan, melainkan lebih menggunakan klaim moral, intelektual atau agama.
Analisis Gramsci lebih jauh dikembangkan oleh Althusser, bahwa negara—atau kelas berkuasa—akan menginternalisasikan ideologinya melalui Ideological State Apparatus (ISA) yang bekerja melalui banyak pintu. Kita andaikan bahwa organisasi mahasiswa layaknya negara yang mengatur atau memimpin warganya. Apa yang akan dilakukan? Dan apa yang akan terjadi?
Pilihan yang rasional jatuh ketika mereka melakukan proses kooptasi kesadaran individu kepada ideologi yang menjadi landasan gerak organisasi. Keindividualitasan menjadi hilang atau tersamar. Tidak ada individu riil, dalam artian apresiasi terhadap pemikiran, ide, gagasan dan sebagainya. Individu atau anggota organisasi tertentu akan berada di bawah klaim kolektif. Individu menjadi lebur. Dan pada titik ini, biasanya individu yang bersangkutan akan menerimanya sebagai kewajaran berorganisasi. Justru, semakin ‘hilang’ dirinya, semakin kuat ia berorganisasi. Klaim loyalitas pun muncul dalam rangka mengkompensasi peleburan tersebut.
Selanjutnya, peleburan individu akan menghasilkan energi gerak yang besar. Dapat kita lihat sebuah aksi massa yang begitu luar biasa mampu menggerakan orang per orang. Itulah kemampuan ideologi yang dapat kita lihat secara kasat mata. Massa aksi nampak seperti robot yang mau diarahkan ke mana saja oleh elit organisasi. Sebagai individu, mereka melepaskan kediriannya dan melebur dalam atmosfir kolektif yang ideologis.
Pada titik itu, sebenarnya ideologi lebih terlihat sebagai mekanisme yang positif. Integrasi menjadi mungkin, dan gerakan untuk mewujudkan tujuan tertentu menjadi semakin mudah. Tetapi, kemudahan untuk menundukan individu di bawah klaim kolektivitas harus dibayar dengan runtuhnya social cost yang tidak murah.
Hubungan antara satu organisasi dengan yang lain menjadi kian kaku. Hubungan antara satu anggota atau individu yang berorganisasi berbeda menjadi terhambat. Seringkali mereka menjadi penuh prasangka buruk. Dan seringkali keterbukaan, ketulusan menjadi sesuatu yang sulit untuk dicapai. Ideologi membuat satu organisasi atau individu menjadi tersekat secara sosial.
Ideologi semacam ini lebih menampakan wajah dominatifnya. Minimalnya, melalui mekanisme ideologis sinergi gerakan antaroraganisasi yang berbeda menjadi tipis. Lebih jauh, kepercayaan sosial atau social trust menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk digagas. Satu organisasi dengan yang lain saling menjegal dan saling membusukan. Proses ini bisa kita lihat ketika momen penerimaan anggota atau kader baru. Bagaimana masing-masing organisasi akan mengunggulkan dirinya dan berusaha secara halus maupun kasat mata menjatuhkan organisasi yang lain.
Kecenderungan yang kontraproduktif ini dapat disiasati jika masing-masing organisasi melakukan kritik ideologi. Artinya, tidak berusaha mendekonstruksi apalagi sampai pada titik penghancuran ideologi lembaga. Yang diperlukan adalah sikap evaluatif dan reflektif terhadap ideologinya masing-masing.
Justru melalui kritik ideologi, satu ideologi tertentu akan mampu menyempurnakan dirinya. Ketidakmampuan atau ketidakmauan melakukan kritik ideologi hanya akan membuat ideologi menjadi beku. Padahal, realitas terus bergerak secara dinamis dan bebas. Bisa jadi, ideologi terdahulu tidak mampu menjawab kebutuhan realitas hari ini.
Pada level bawah, kritik ideologi akan membawa atmosfir keterbukaan organisasi berikut pada anggota atau kadernya. Motif untuk terus mencari kesempurnaan ideologi akan senantiasa mengalir dalam urat nadi pergerakan atau perjuangan.
Kritik ideologi tidak mensyaratkan pelepasan ideologi tertentu. Yang dibutuhkan adalah melakukan usaha distansiasi atau penjarakan terhadap ideologi tertentu. Konsep distansiasi diperkenalkan oleh Paul Ricoeur sebagai salah satu jembatan berpikir kritis. Pada tahap penjarakan, organisasi atau anggota dapat melihat kelemahan-kelemahan mendasar yang diidap organisasinya secara obyektif. Tidak ada selimut ideologi yang menutupi proses evaluasi atau refleksi tersebut. Secara sederhana, melalui kritik ideologi, kita tidak akan lagi menemukan ungkapan, “Wrong or right, it is my organization”. Ungkapan, “Salah atau benar, inilah organisasiku”, hanya merupakan bentuk fanatisme buta. Bukan sebuah sikap setia terhadap organisasi.
Paska melakukan kritik ideologi, organisasi atau anggota akan mendapatkan perspektif baru yang lebih luas dan komprehensif. Tidak lagi terjebak pada klaim sempit organisasi. Pada titik ini, kesadaran post-ideologis sebenarnya sudah mulai mewujud. Post-ideologis, bukan berarti melepaskan ideologi secara penuh. Melainkan sebuah kesadaran tentang kemampuan untuk melintasi batas ideologinya masing-masing.
Organisasi yang post-ideologis tetap membutuhkan ideologi sebagai nilai pemersatu. Hanya saja, kesadaran post-ideologi akan membawa kepada sebuah kearifan dan kebijakan dalam bersikap. Kesadaran ini akan memunculkan bahwa antara satu organisasi dengan yang lain tidak perlu saling berkonfrontasi. Justru yang diperlukan adalah sikap saling memahami ideologi organisasi lain dan menghargainya.
Kesadaran post-ideologis tidak bisa kita artikan sebagai ketercerabutan akar ideologis (ideological uprooting). Melainkan sebuah sikap melampaui ideologi-ideologi yang ada. Pelampauan ini tentunya mensyaratkan pada komitmen yang sifatnya lebih umum atau universal. Sebuah visi yang diyakini dapat diterima oleh semua organisasi, apapun ideologinya.
Sesampainya pada titik post-ideologi, sinergitas serta kepercayaan sosial akan menjadi mudah untuk dipupuk. Prasangka menjadi kian menipis. Keterbukaan menjadi hal yang wajar. Kekuataan menjadi kian bertambah. Dan yang pasti, semangat pergerakan atau perjuangan akan semakin menemukan energinya. []
0 comments :
Posting Komentar