
Oleh: Firdaus Putra A.[1]
Agama adalah untuk manusia, bukan Tuhan.
Sehingga agama harus membumi, untuk kini dan di sini;
Bukan melangit, untuk lusa dan di sana.
(sepertinya bijak)
Avant phropos
Dalam beberapa bulan terakhir kita dibuat heran dengan banyak berita
yang mennyuguhkan berbagai macam bencana. Bukan hanya bencana alam saja seperti
banjir yang setiap tahunnya sudah menjadi tradisi. Atau tanah longsor akibat
pembukaan, penebangan hutan yang semena-mena. Tetapi, bencana yang saya maksud
adalah bencana kemanusiaan. Bencana yang setiap hari, bahkan setiap saat mampir
di sekitar kita, bahkan mungkin di keluarga kita sendiri.
Kemiskinan, busung lapar, gizi buruk, atau makan nasi aking yang
sebenarnya tidak laik makan, dan seterusnya. Bencana kemanusiaan yang selalu
menghinggapi negara di belahan Dunia Ketiga. Ketaktersediaan air bersih[2],
minimnya pelayanan kesehatan, atau pun angka pengangguran yang semakin meningkat
selaras dengan angka kemiskinan yang terus merangkak. Segudang masalah yang
disediakan negeri ini yang mungkin tidak akan habis untuk kita teliti, kaji.
Tetapi, sungguh ironis ketika bencana yang saya maksud di atas terjadi di
tengah-tengah negara, yang konon katanya agraris. Bukankah ironis ketika di
Karawang sebagai penghasil beras sebagian masyarakatnya justru mengkonsumsi nasi
aking (nasi sisa, yang dikeringkan kemudian diolah lagi untuk dimakan).
Segudang masalah di atas termanifestasikan ketika setiap hari kita
saksikan tayangan berita kriminal selalu saja menemukan akar masalah yang sama.
Seorang pencuri, jambret, maling yang tertangkap karena membutuhkan uang untuk
memberi makan anak-istrinya. Saya rasa hal ini sangat berhubungan, antara
kemiskinan dan kriminalitas. Tidak salah jika Muhammad SAW memberi semacam
warning light bahwa kaadal faqru an yakuuna kufran, yang kurang-lebih bahwa
kemiskinan seseorang akan menjadikan ia kafir (bertindak menyimpang dari
ketentuan agama). Teks itu nampaknya sudah cukup teruji kebenarannya sebagai
postulat agama.
Tetapi apakah agama hanya akan berhenti saja pada titik pemberi
legitimasi, bahwa ini benar, itu salah? Atau agama mampu memberikan semacam
solusi alih-alih ilusi atas bencana kemanusiaan itu?
Agama, ilusi atau solusi?
Orang seperti maling, jambret, tukang palak adalah kelompok yang
seringkali mendapat dua kali lipat punishment. Bayangkan saja, mereka sudah
secara ekonomi tidak berpunya, dan harus rela (terpaksa) menerima laknat dari
Tuhan. Jadi, bukan lagi fakir-miskin tetapi kafir-miskin. Dan di sisi yang lain,
tidak sedikit juga orang-orang yang hidup pas-pasan; kuli bangunan, petani yang
setiap tahun merugi, nelayan yang dijanjikan mendapat subsidi solar, tetapi
hanya janji kosong, buruh pabrik yang setiap bulannya harus masih kekurangan,
dan selalu berfikir ketika kontrak kerjanya habis3 atau kuli gendong yang
meletakan nasibnya pada orang-orang yang menyuruhnya, dan masih banyak ikon
lainnya.
Pada kelompok yang tersebut di akhir itu, ketika mereka telah jengah
dengan ritual kehidupan yang menindas, memaksa, mencekam mereka mecari semacam
perlindungan kepada agama. Berbeda dengan kelompok yang pertama, yang selalu
saja diancam oleh agama. Ketika kelompok yang terakhir pergi beribadah, dan
setiap kali juga para ustadz, kyai atau lainnya memberinya semacam peneduh di
kala kepanasan menghadapi matahari kehidupan. Dengan gampangnya para ustadz,
kyai atau lainnya itu4 memberi semacam taushiyyah, nasehat agar kita selalu
bersabar, bertawakal, dan berserah diri kepada Tuhan. Sulitnya mencari nafkah
adalah cobaan Tuhan, dan jika kita menghadapinya dengan penuh pasrah, maka Tuhan
akan menggantinya dengan Surga?!
Dengan segala taushiyyah, nasehat yang menyejukan itu masyarakat sedang digiring
untuk hidup di dunia lain—meminjam bahasa Munir Mulkhan, other wordly. Hidup
untuk Surga di sana, yang akan kita dapatkan kelak di akhirat, mungkin semacam
itu. Jika agama hanya termaknai sebatas dosa-pahala, Surga-Neraka maka agama
sejatinya telah kehilangan semangat awalnya. Semangat pembebasan, bukankah para
Rasul selalu berada di tengah-tengah orang miskin, tertindas bukan sebaliknya.
Atau jika agama tetap dimaknai hanya dalam kerangka ‘ubudiyyah an sich maka
agama telah menjadi ilusi, tercerabut dari akar kemanusiaan, maka buanglah
agama!
Lalu, bagaimana agama agar tampil sebagai solusi bahkan membumi di
tengah-tengah umatnya? Dalam tradisi Kristiani mungkin kita mengenal bagaimana
manusia harus menidirikan Surga Bapa di bumi ini5, yakni dengan jalan mendatangi
alamat-alamat Tuhan Allah yang ada di bumi. Alamat-alamat tersebut adalah orang
fakir-miskin, pengamen jalanan, pengemis, kaum miskin kota dan seterusnya.
Dengan mendatangi alamat-alamat Tuhan Allah itu, maka manusia akan menemukan
Surga Bapa yang sejatinya.
Atau dalam tradisi Islam terdapat suatu hikayat, bagaimana seorang
pelacur dimasukan Tuhan ke Surga lantaran memberi makan anjing, dan seorang
‘abbid6 justru dimasukan-Nya ke Neraka lantaran ia tidak saleh terhadap tetangga
di sebelahnya yang kelaparan. Semangat yang ingin diperlihatkan dari hikayat
ini, bahwa sekali-kali agam bukanlah semata masalah keakhiratan, atau
dosa-pahala semata. Tetapi agama juga adalah persoalan bagaimana seseorang mampu
menjadi pelindung, pengayom bagi saudara-saudaranya yang tertindas, terdzalimi
dan seterusnya7. Karena memang seperti itulah tugas agama yang sesungguhnya,
diturunkan guna menjadi rahmatan lil ‘alaamin, artinya agama ditujukan untuk
manusia, alam semesta agar hidup serta kehidupan di dunianya menjadi semakin
sejahtera. Jika agama belum menjadi rahmatan lil ‘alaamin maka kita perlu
menanya apa yang masih belum tepat?
Hikayat di atas dipertegas oleh Tuhan secara langsung melalui Teks
Quran, dalam surat Al-Maun kita temukan inti sari yang kurang-lebih,
“Berdustalah mereka yang hanya menikmati bersembahyang, namun melupakan nasib
orang-orang yang tersingkirkan dan menderita secara sosial”. Lalu dari titik
manakah kita memulai ‘menyeret’ agama yang saat ini kelewat melangit?
Semacam penutup
Jika dulu agama kita gambarkan, pahami hanya sebatas ritual an sich,
maka saatnyalah merubah paradigma agama dari teologi yang melangit menjadi
teologi yang membumi. Bahwa verifikasi atas ibadah kita kepada Tuhan adalah
melalui jalan kemanusiaan. Ibadah kita tidak hanya untuk yang di atas, karena
sekali lagi Tuhan tidak membutuhkan ibadah kita. Dan sekali-kali ia tidak akan
rugi jika seluruh umat-Nya membangkang darinya. Artinya, ibadah baik ‘ubudiyyah
lebih-lebih mu’amalah haruslah berdimensi sosial. Dalam dimensi sosial inilah
ibadah kita menemukan pijakannya di bumi. Dan di bumi inilah pijakan
permasalahan yang paling riil untuk kita jawab, selesaikan. Bukankah Kitab suci
tidak lain berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab,
selesaikan?!
Perubahan paradigma ini akan mengarahkan kita pada sikap
keberagamaan yang profetis. Artinya sikap keberagamaan seperti yang para nabi
jalani, yakni beragama di tengah-tengah umat yang membutuhkan solusi atas
masalah-masalah riil kehidupan bukan sebuah ilusi tentang dosa-pahala,
Neraka-Surga. Sikap keberagamaan yang profetis ini seringkali terhalangi oleh
forma-forma agama yang membelengu dan mengikat kita untuk menemukan esensi atau
semangat agama yang sebenarnya. Patut kita cermati apa yang disampaikan oleh
Munir Mulkhan, bahwa mungkin menyakitkan melihat praktik keagamaan yang
menyumbang pemiskinan (proletarisasi) .... ketika rakyat jatuh miskin dan mati
kelaparan, pemimpin sibuk dengan kuasa dan surganya sendiri.
Secercah harapan, semoga berangkat dari titik inilah kita akan mengoreksi diri
tentang bagaimana sikap keberagamaan kita selama ini, adakah diri kita egois
hanya befikir tentang pahala agar kita dapat dimasukkan ke dalam Surga-Nya, atau
kita mampu keluar dari keegoisan diri dengan memandang bahwa rahmatan lil
‘alaamin adalah ketika kita mau memberi pengayoman, perlindungan, bantuan dan
sebagainya kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan. Wallahu a’lam
bishshawaab []
_________
Footnote:
[1] Ka.Div. Jaringan Lembaga LS-Profetika, juga terlibat dalam GARPU (Gerakan
Aliansi Rakyat untuk Penghapusan Utang).
[2] Diperparah dengan adanya kebijakan negara tentang privatisasi sumber daya
air, sehingga air sebagai hajat hidup orang banyak saat ini telah
diperjual-belikan, ingat pasal 33 UUD 1945.
3 Karena kebijakan labour market flexibility hasil dikte IMF lewat LoI-nya
kepada pemerintah Indonesia.
4 Lebih kentara lagi kita temukan pada bermunculannya da’i-da’i media yang
selalu saja sama, berbicara tentang dosa-pahala, neraka-surga. Padahal masalah
riil masyarakat adalah kemiskinan, pengangguran dan seterusnya.
5 Romo J. Sunarka SJ, dalam “Tafakur Bersama; Agamawan Menyoal Kemiskinan”,
Baturaden pada 2 Maret 2006.
6 Orang yang gemar beribadah, ritual an sich.
7 Dalam hal ini Moeslim Andurrahman memberi istilah baru, the new mustadl’afuun.
_________
Note:
Saya justru lupa kalau pernah menulis judul di atas. Tulisan ini saya temukan secara kebetulan ketika search melalui google search engine. Terima kasih untuk seseorang yang pernah mengarsipkannya. Dulu saya tulis di tahun 2006.
0 comments :
Posting Komentar