Ikhtiar Marajut Asa
Oleh: Firdaus Putra A.
Kemarin malam (31 Februari 2008), saya mendapat undangan syukuran beberapa kawan yang udah lulus. Syukuran seperti ini memang sudah menjadi tradisi di angkatan saya. Sedikitnya lima kawan akan di wisuda bulan Maret mendatang. Dan sedikitnya 35 kawan sudah diwisuda tahun-tahun sebelumnya. Praktis, dari 80-an orang, tersisa 45 orang yang sibuk dengan skripsi.
Tidak ada kata yang lebih baik untuk mengapresiasi kelulusan mereka, “Selamat atas kelulusannya. Semoga harapanmu paska kuliah cepat terwujud”. Kelulusan sepenggal cerita sejarah mahasiswa. Ia bukan lagi mahasiswa. Ia sudah menyandang gelar sarjana. Momen ini tercipta melalui proses yang panjang. Tidak sedikit biaya dikeluarkan. Dan banyak mental emosional harus disediakan. Momen penyematan tali pada topi toga merupakan momen yang sangat dinantikan. Setimpal dengan jerih payah yang sudah dikeluarkan.
Sepeninggalnya mereka dari dunia kampus, mereka akan memasuki dunia riil kehidupan. Dunia di mana untuk kali pertamanya mereka harus membuktikan diri. Ya, minimalnya melalui kerja. Pembuktian ini alih-alih sebagai kebutuhan, justru lebih sebagai tuntutan sosial. Seorang sarjana (fresh graduate) yang tidak mendapat pekerjaan, akan diomong masyarakat. Keluar dari pintu kampus, masuk ke pintu masyarakat, akan lebih banyak lagi energi psikologis terserap.
Bagi mereka yang secara sosio-ekonomi mapan, mungkin tidak terlalu berpikir tentang “mencari pekerjaan”. Melalui jaringan orang tua, koneksi di satu instansi akan mudah di dapat. Atau dengan sedikit “uang pelicin”, semuanya akan mudah. Selain itu, mudah juga bagi mereka yang mempunyai talenta. Mempunyai kepribadian yang bagus. Rasa percaya diri yang tinggi. Mampu bekerja dalam team work. Mereka-mereka itu akan mudah diterima di pasar kerja.
Namun, bagi mereka yang biasa-biasa saja, tidak perlu berkecil hati. Karena dunia kerja tidak semudah menyusun hipotesis di atas kertas. IPK tinggi bukan jaminan. Banyak sertifikat kegiatan juga tidak menjamin. Seringkali mereka yang biasa-biasa saja memiliki nilai lebih yang lain; ulet, jujur, pekerja keras dan seterusnya.
Hari ini lima kawan tersebut akan mengadu nasib. Mereka akan berkompetisi dengan para sarjana dari bidang studi atau perguruan tinggi lain. Dunia yang “benar-benar kejam” akan secara riil mereka rasakan. Bagaimana model market labour flexibility (MLF) menuntut mereka agar mempunyai daya saing yang tinggi. Tidak jauh dengan hukum rimba, “Siapa yang kuat, dialah yang menang”. Sistem out shourching atau kontrak, juga akan menuntut mereka terus berpikir dan berusaha. Alih-alih hal ini merupakan proses penindasan terhadap pekerja. Jika kita ingat, kebijakan MLF atau karyawan kontrak merupakan dikte dari IMF dengan LoI-nya. Di dunia luar sana, kalian akan dekat dengan apa yang namanya kapitalisme global. Kalian akan merasakannya dalam sistem penerimaan pegawai. Dia jauh, tetapi sebenarnya sangat dekat.
Lima kawan tersebut saya yakin sudah lulus mata kuliah Teori Kritik Sosial, Sosiologi Ekonomi, atau Pemberdayaan Masyarakat. Apa-apa yang terjadi di dunia kerja, sebenarnya sudah terekam dalam beberapa mata kuliah yang mereka pelajari. Untunglah mereka mahasiswa Sosiologi, sebelum masuk ke arena pertandingan, mereka sudah diberikan tameng. Sayangnya mereka tidak pernah diberikan pedang. Sedangkan para sarjana yang lain, khususnya para ahli madya, mereka mempunyai perlengkapan yang lengkap. Amunisi, pedang dan sebagainya. Para sarjana sosial mau tidak mau harus mencari sendiri pedang serta amunisi-amunisi yang dibutuhkan.
Saya tidak bermaksud membuat pesimis. Perlu bagi kita untuk melakukan refleksi yang mendalam. Kawan-kawan sarjana, hidup ke depan di tangan Anda. Namun, pilihan-pilihan hidup tidak pernah secara bebas dapat Anda pilih. Ingatlah, ada yang namanya sistem atau struktur. Merekalah yang menyediakan pilihan-pilihan tersebut.
Jika Anda memilih menjadi karyawan perusahaan, ingatlah bahwa Anda merupakan sekrup kecil dari sebuah mesin produksi raksasa. Ingatlah bahwa Anda hanyalah bawahan dari struktur hirarkhis tata kerja perusahaan. Jika Anda kuat, maka Anda akan bertahan. Jika tidak, maka Anda harus keluar.
Atau perlu bagi Anda mencari alternatif yang lain. Wirausaha. Anda akan menjadi Tuan bagi diri sendiri. Tidak perlu mengikuti logika sistem yang mencekik dan mendikte. Sayangnya, untuk menjadi wirausaha, Anda membutuhkan modal yang tidak sedikit. Tapi, Anda akan merasa bebas.
Pilihan ketiga, jadilah pekerja sosial. Di sini mungkin Anda tidak akan memperoleh penghasilan sesuai yang diharapkan. Namun, kerja-kerja Anda akan terkompensasi dalam bentuk kepuasaan ketika Anda menolong sesama. Atau, jika Anda masih percaya Tuhan, Anda akan mendapat balasan dari-Nya di akhirat kelak.
Pilihan keempat, jadilah pekerja seni. Sama sekali tidak terikat kontrak. Tidak terikat waktu kerja. Tidak terikat dengan majikan atau bos tertentu. Namun, penghasilan Anda juga sama sekali tidak terikat. Semuanya akan terkompensasi dengan Anda mendapatkan kebebasan untuk berapresiasi atau mengaktualisasikan diri.
Pilihan kelima, pulanglah ke desa. Garap sawah atau ladangmu. Itu lebih konkret dari pada yang lain. Sembari menjadi petani, Anda bisa menjadi guru ngaji atau guru bagi anak-anak putus sekolah. Anda akan menjadi pahlawan bagi desa Anda. Anda akan dicintai masyarakat.
Setiap orang mempunyai minat dan bakat tertentu. Tidak perlu untuk memaksakan memilih jenis pekerjaan yang tidak kita senangi. Bekerja tanpa soul sama artinya kita menjadi robot. Janganlah memilih pekerjaan semacam ini. Kita hanya akan membodohi dan menodai harkat martabat diri kita sendiri.
Jika suatu tempo Anda masih nganggur, jawablah dengan percaya diri, “Saya masih ikhtiar”. Kawan-kawan sarjana, Proficiat! []
0 comments :
Posting Komentar